"Jangan-jangan dia ada skandal dengan Pak Arya?"“Oh, my God! Benar juga. Itu bisa jadi! Tidak mungkin dia bisa sampai di tahap ini jika tidak memiliki hubungan dengan Pak Arya.” Langkah kaki Yura terhenti persis di depan kamar mandi kantor. Keinginan untuk masuk ke dalam bilik diurungkan setelah mendengar kalimat yang bergema hingga luar ruangan. Telinganya lantas menajam, penasaran dengan topik yang sedang dibicarakan. Siapa yang memiliki skandal dengan bosnya? Jika saat ini memutuskan untuk bertemu dengan Erna dan bertanya padanya, mungkin wanita itu sudah tahu lebih dulu. Tetapi sudah satu minggu Yura bekerja terpisah dengannya, sehingga jarang sekali bisa bertemu dengan sahabatnya itu. Erna bekerja di lantai bawah, sementara dirinya di lantai tiga. Itu semakin menciptakan jarak antar keduanya. "Iya, kan? Awalnya aku tidak percaya. Apa sih kehebatan dia sampai bos besar mau dengannya? Secara, fisiknya saja tak menarik! Tubuhnya kurus macam orang penyakitan, mukanya kucal sepe
"Dari mana?" Arya menyambut dingin Yura yang baru saja menapaki lantai ruangannya/ Pria itu duduk di atas sofa sembari memeriksa beberapa dokumen tanpa melihat ke arahnya. Seperti biasa, tidak menjual ekspresi apa-apa. . "Maaf, Pak Arya, tadi saya ke kamar mandi sebentar,” jawab Yura setelah sampai di hadapannya. “Ke kamar mandi atau pacaran. Saya melihat kamu bermesraan dengan pria lain?” todongnya tanpa basa-basi. Sementara Yura menahan napasnya beberapa detik. "Kamu tidak ingat jabatan ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki kesalahan?" Sepuluh menit yang lalu lelaki itu tiba di kantor. Yura bahkan tahu seluruh agendanya, mulai dari pukul berapa dia datang, dan apa saja yang akan Arya lakukan. Namun, bukannya melihat Yura berdiri menyambutnya di depan ruangan, ia malah mendapati sekretaris barunya itu sedang asik bermesraan dengan Narendra di lantai dua? “Sepertinya Bapak salah paham dengan kejadian ini, saya hanya menyapa Pak Narendra sebentar karena kebetulan ka
"Berapa kali saya ingatkan kamu untuk stand by sepuluh menit sebelum Bapak datang? Hari ini saya kena tegur karena dianggap tidak bisa memberi arahan!" Alih-alih mengonfirmasi pengacara Tuan Gin itu, Yura kini malah diomeli Bu Rika. Tampaknya, wanita itu tak terima sebab nama baik yang dijaga selama ini turut terseret dengan kesalahan yang dibuat oleh sekretaris baru pimpinannya. Padahal, ini hanya perkara datang lebih awal dari biasanya saja, bukan pekerjaan berat semacam angkut galon dari lantai satu ke lantai lima atau menagih piutang yang berbulan-bulan tak kunjung dilunasi!Lagi-lagi, Yura menundukkan kepala seraya meremas jemari. Toh, bukankah semua atasan tidak suka dibantah?Mereka hanya mau bawahannya mengaku salah sekalipun tak melakukannya—terkadang. Namun, sepertinya respon Yura tidak sesuai dengan keinginan Bu Rika..... "Yura kamu ini kalau diajak bicara bisa tidak merespon sedikit? Jangan hanya diam saja!" tuntutnya lagi setelah meremas udara di samping tubuhnya.
"Sebenarnya siapakah Tuan Gin? Mengapa pria itu seperti berada dekat dengannya?" Yura bertanya dalam hati. Begitulah pertanyaan yang sejak tadi berlarian di kepala Yura, lebih tepatnya setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Gin. Ucapan selamat makan saat Yura menyantap makanannya membuatnya kembali membuat hipotesa yang sama. Mungkinkah Gin juga bekerja di perusahaan ini? Atau mungkin saja mata-mata di sekitarnya? Entah apa yang dimau, ia sendiri sampai saat ini belum bisa mengerti. Posesif yang terlalu besar juga sikap yang terkadang tak bisa ditebak membuat Yura harus ekstra sabar menghadapinya. Kendati saat Gin berlaku demikian tak dipungkiri ia merasa diperhatikan, dicintai, dan dianggap layaknya seorang istri. “Ra! Yura!” Teriakan itu membuat Yura tersadar. Gumpalan nasi yang telah dikunyahnya, langsung ditelan begitu mendapati seorang wanita berkemeja putih berdiri di hadapannya membawa sebuah bendelan kertas dan pouch kecil berwarna hitam. "Erna?" Entah sejak kapan
“Ka—kapan kau bertemu ibu mertuaku? Lalu, mengapa ibu berkata begitu?” “Beberapa hari lalu saat aku mengantar suamiku untuk cek darah di rumah sakit.” Erna mengurai dua tangan kemudian menyeret kursi di hadapan meja dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku menyempatkan diri untuk berkunjung berharap bisa menemukanmu di sana karena di kantor kita tidak pernah bertemu setelah kau diangkat menjadi sekretaris Pak Arya. Tapi ternyata aku hanya berjumpa dengan ibu mertuamu dan beliau berkata begitu saat bertanya keberadaanmu,” sambungnya masih dengan tatapan lekatnya. Kepala Yura mendadak pening. Jawaban pertanyaan beberapa saat lalu belum terpikirkan di kepala, dan kini ia dikejutkan dengan pernyataan Erna. Mengapa Katrina malah berkata demikiam? Kendati memang benar Yura menjual diri untuk mendapatkan uang, tetapi bukankah lebih baik tidak menyebarkannya kepada orang lain? Setidaknya, menjaga nama baik Yura sebagai menantunya. Erna mungkin dekat dengannya dan seandainya Yura jujur, s
“Tuan Gin memberi saya semua data tentang Anda, termasuk masa lalu Anda.” Deg!“Gin tahu semua tentang saya?” Satu anggukan Arkatama berikan. “Apapun yang Anda lakukan Tuan Gin pasti tahu termasuk saat bertemu dengan Pak Narendra tadi. Jadi sebaiknya Bu Yura menjaga jarak dengan pria lain dan menaati saja peraturan yang beliau buat." “Gin membuat peraturan semaunya sendiri tanpa berunding dengan saya, Pak Arka.” Yura menghela napas kemudian menggerakkan tangannya untuk memijat pelipisnya yang terasa pening. “Mengganti ponsel dan nomor saya sesuka hati, membatasi interaksi saya dengan rekan kerja, dengan keluarga. Lalu kunjungan saya ke rumah sakit!” “Bayaran yang Anda terima sudah dangat besar setiap bulannya. Wajar bila Tuan Gin melakukannya. Semua demi kebaikan bersama. Dan, seperti yang saya katakan sebelumnya jika anda sekarang berperan sebagai istri Tuan Gin, maka sudah seharusnya anda mengabdikan waktu dan perhatian anda kepada beliau. Bukan orang lain.” Mendengar jawaban
Keran air pada wastafel dibuka. Yura segera membasuh wajah usai menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa air. Sepulang dari rumah sakit tadi, kepalanya mendadak pening, lambungnya mual. Perut bagian bawah juga terasa nyeri membuatnya berulang kali mendesis dan meremasnya. Semuanya menjadi satu kala memasuki periode datang bulan. Usai mengeringkan tangan, Yura beranjak dari kamar mandi. Wanita itu memilih membaringkan dirinya ke tempat tidur. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding, jarumnya telah menunjuk angka delapan."Ke mana pria itu? Mungkinkah masih bekerja?" tanyanya dalam hati.Entahlah, akhir-akhir ini Gin tak pulang tepat waktu, terkadang sampai tengah malam seperti beberapa waktu yang lalu. Entah apa yang tengah dikerjakan lelaki itu, setiap pulang terlambat Gin tak pernah mengirim pesan kepadanya. Bahkan sudah ke empat kalinya Yura memeriksa ponsel, tetapi tak ada satu pun kabar yang diterimanya.Drrt!Sebuah pesan dari nomor tak dikenal belum terbaca sejak siang. [Yur
“Silakan, Tuan.” Arkatama meletakkan satu kaleng bir bersuhu rendah di hadapan Gin yang baru tiba dengan tampang berantakan.Manik hitam pekat yang sanggup menenggelamkan hati para wanita itu seakan tak bosan menatap ribuan tinta digital, sementara bibirnya sibuk menghisap tabung rokok elektrik dalam-dalam lalu menyemburkan asapnya ke udara. “Sudah larut malam, apakah Tuan tidak ingin kembali ke unit?” tanya pengacara itu memberanikan diri. “Kau mengusirku?” sahut Gin tanpa menoleh ke arah lawan bicara, dua netranya masih setia mengeja kalimat demi kalimat pada sebuah laporan dalam gawainya. Seulas senyum terbit di bibir Arkatama. Inilah yang membuat banyak orang segan pada seorang Gin, jawaban singkat dengan nada datar begitu saja terkadang sudah membuat banyak orang melempar jarak. “Saya tidak bermaksud demikian. Hanya mengingatkan, sebaiknya Tuan segera beristirahat dan mungkin saja Yura sedang menunggu saat ini.” Gin melirik ke arah penunjuk waktu pada layar berukuran 11
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth