“Tuan Gin memberi saya semua data tentang Anda, termasuk masa lalu Anda.” Deg!“Gin tahu semua tentang saya?” Satu anggukan Arkatama berikan. “Apapun yang Anda lakukan Tuan Gin pasti tahu termasuk saat bertemu dengan Pak Narendra tadi. Jadi sebaiknya Bu Yura menjaga jarak dengan pria lain dan menaati saja peraturan yang beliau buat." “Gin membuat peraturan semaunya sendiri tanpa berunding dengan saya, Pak Arka.” Yura menghela napas kemudian menggerakkan tangannya untuk memijat pelipisnya yang terasa pening. “Mengganti ponsel dan nomor saya sesuka hati, membatasi interaksi saya dengan rekan kerja, dengan keluarga. Lalu kunjungan saya ke rumah sakit!” “Bayaran yang Anda terima sudah dangat besar setiap bulannya. Wajar bila Tuan Gin melakukannya. Semua demi kebaikan bersama. Dan, seperti yang saya katakan sebelumnya jika anda sekarang berperan sebagai istri Tuan Gin, maka sudah seharusnya anda mengabdikan waktu dan perhatian anda kepada beliau. Bukan orang lain.” Mendengar jawaban
Keran air pada wastafel dibuka. Yura segera membasuh wajah usai menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa air. Sepulang dari rumah sakit tadi, kepalanya mendadak pening, lambungnya mual. Perut bagian bawah juga terasa nyeri membuatnya berulang kali mendesis dan meremasnya. Semuanya menjadi satu kala memasuki periode datang bulan. Usai mengeringkan tangan, Yura beranjak dari kamar mandi. Wanita itu memilih membaringkan dirinya ke tempat tidur. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding, jarumnya telah menunjuk angka delapan."Ke mana pria itu? Mungkinkah masih bekerja?" tanyanya dalam hati.Entahlah, akhir-akhir ini Gin tak pulang tepat waktu, terkadang sampai tengah malam seperti beberapa waktu yang lalu. Entah apa yang tengah dikerjakan lelaki itu, setiap pulang terlambat Gin tak pernah mengirim pesan kepadanya. Bahkan sudah ke empat kalinya Yura memeriksa ponsel, tetapi tak ada satu pun kabar yang diterimanya.Drrt!Sebuah pesan dari nomor tak dikenal belum terbaca sejak siang. [Yur
“Silakan, Tuan.” Arkatama meletakkan satu kaleng bir bersuhu rendah di hadapan Gin yang baru tiba dengan tampang berantakan.Manik hitam pekat yang sanggup menenggelamkan hati para wanita itu seakan tak bosan menatap ribuan tinta digital, sementara bibirnya sibuk menghisap tabung rokok elektrik dalam-dalam lalu menyemburkan asapnya ke udara. “Sudah larut malam, apakah Tuan tidak ingin kembali ke unit?” tanya pengacara itu memberanikan diri. “Kau mengusirku?” sahut Gin tanpa menoleh ke arah lawan bicara, dua netranya masih setia mengeja kalimat demi kalimat pada sebuah laporan dalam gawainya. Seulas senyum terbit di bibir Arkatama. Inilah yang membuat banyak orang segan pada seorang Gin, jawaban singkat dengan nada datar begitu saja terkadang sudah membuat banyak orang melempar jarak. “Saya tidak bermaksud demikian. Hanya mengingatkan, sebaiknya Tuan segera beristirahat dan mungkin saja Yura sedang menunggu saat ini.” Gin melirik ke arah penunjuk waktu pada layar berukuran 11
Di tengah kamar mewah, Yura masih meringkuk di atas ranjang. Sesekali meremas perut dan mengigit bibirnya bersamaan kala senggugut datang menyerang. Setiap bulan, Yura memilih menyerah dengan analgesik ketika kompres hangat tak jua meredakan nyeri. Namun, untuk malam ini jangankan obat, kompres air hangat saja ia tak bisa mengambilnya. Kedua mata masih tertutup dengan kain, membuatnya tak bebas bergerak juga melihat keadaan sekitar. Hanya bisa mendengar detak jam dinding juga suara pendiingin ruangan. Tiba-tiba saja pintu di ruangan ini berderit. Derap langkah tegap semakin jelas mengarah kepadanya, tak perlu diragukan sosok itu adalah Tuan Gin. Pria itu turut membaringkan tubuhnya di sisi ranjang yang kosong. Yura merasakan pergerakan itu. “Tidurlah, Ini sudah pagi,” katanya seolah tahu bahwa Yura belum memejamkan mata. Kali ini intonasinya terdengar jauh lebih rendah dari percakapan mereka sebelumnya. Sejenak hening menguasai. Gin mencoba untuk lelap, tetapi baru beberapa
“Kau tampak pucat pagi ini, apa kau belum sarapan?” Narendra mengamati wajah Yura yang berbeda dari biasanya. Kendati wanita itu acap kali berpenampilan tanpa riasan, tetapi ia tahu betul bahwa pucat ini bukanlah karena tidak mengenakan make up. Sebelumnya mereka bertegur sapa di sebuah koridor lantai satu, dan karena tujuan yang sama yaitu ruangan Presdir, Yura tak bisa menghindar darinya. Ingin beralasan ke kamar mandi, tetapi ia masih trauma dengan para penggosip yang ada di sana. Lebih baik ia tak tahu daripada harus menusuk hatinya sendiri dengan mendengar cercaan mereka. “Aku sudah sarapan, kok. Mungkin lip cream-ku pudar saja. Sampai di atas aku retouch lagi,” jawab Yura dengan sebuah senyum yang mengembang terpaksa. Secepat mungkin Yura menaiki tangga, berharap segera tiba di lantai tiga. “Serius, Ra? Kalau kau sakit lebih baik izin saja, jangan dipaksakan, takutnya malah semakin parah,” usul pria itu. Yura lantas mengulas senyum tipis. “Percayalah, aku baik-baik saja, Na
Arya Girindra tidak pernah main-main dengan kalimatnya. Setiap hal yang ia putuskan tidak pernah ada yang gagal untuk direalisasikan, semua harus berprogres saat itu juga, termasuk memindahkan ruangannya dengan Yura di lantai lima. Saat ini, pria itu sibuk menerima tamu, sementara Yura dibantu beberapa staf lainnya sedang mengemas dan memindahkan barang ke ruangan yang baru.Awal-awal bergabung dengan perusahaan ini, Yura beberapa kali pernah mengunjungi lantai lima. Kala itu, Satwika Group masih di bawah kepemimpinan Adhiwira Satwika, ayah kandung Arya. Lalu, beberapa bulan kemudian, ia mendengar kabar jika beliau memilih pensiun dengan alasan kesehatan. Sejak itu, semua tugas dan tanggung jawabnya dilimpahkan kepada Arya yang menjabat sebagai Direktur Operasional.Dan kini, Yura masih belum percaya jika ia akan menempati sebuah ruangan paling mewah di perusahaan ini. Mimpi apakah ia semalam? Haruskah ini disebut dengan hukuman?“Lagi-lagi kamu mencari masalah!”Yura tiba-tiba di
"Arrgh..."Sejak tadi kepala Yura terasa berat seperti diberi beban puluhan kilo. Disusul dengan rasa mual dan rasa nyeri yang datang bersamaan. Ia sudah berusaha menggelontor air mineral sebanyak mungkin agar tidak tumbang. Sayang, ia memilih opsi yang tak tepat. Air itu justru semakin membuatnya kembung dan mual. Derit pintu terdengar, tanda seseorang telah keluar dari ruangan. Yura segera bangkit berdiri untuk menyambut. Benar saja, bertepatan saat Yura menegakkan badan, Arya telah sampai di hadapannya. Dia datang hanya dengan segumpal raut datar pada wajahnya dan ponsel pintar berwarna hitam. Kemeja kerja sudah terlihat berantakan. Kancing yang terbuka di bagian atas dan lengan digulung sesiku, didukung dengan semerbak wangi yang seakan tak pernah pudar. “Selamat Pagi, Pak,” sapanya tatkala Arya tak kunjung melanjutkan langkah. Arya menjawab dengan anggukan. Dua manik hitamnya bergerak ke atas dan ke bawah memindai penampilan perempuan di hadapannya. Sejurus kemudian melem
Bugh!Tubuh Yura melorot ke dasar lantai. Kakinya bagai tak bertulang saat ia telah berhasil tiba di kamar mandi. Sungguh, Yura tidak menyangka jika menaiki elevator akan seburuk ini. Lain halnya dengan Arya yang merasa sama sekali tidak keberatan. Justru, untuk pertama kalinya ia menemukan sebuah senyum di wajah lelaki itu meski sangat tipis. Yura mencoba bangkit setelah merasa dirinya baik. Dengan langkah gemetar, menghampiri wastafel dan menyalakan keran. Ia membasuh wajah beberapa kali. Berharap air dingin itu meredakan rasa paniknya sebelum ia kembali ke meja kerja. “Bu Yura?” Panggilan dari luar bilik membuat Yura bergegas mematikan keran dan mengeringkan wajahnya dengan beberapa lembar tisu. Saat membuka pintu, ia menemukan seorang pria berseragam keamanan sedang berdiri di depan meja kerjanya. Satu tangan membawa paper bag berwarna cokelat, satu tangan yang lain sedang memegang ponselnya. “Maaf, Bapak mencari saya?” tanya Yura begitu sampai di hadapan lelaki itu. “Tad