“Kau tampak pucat pagi ini, apa kau belum sarapan?” Narendra mengamati wajah Yura yang berbeda dari biasanya. Kendati wanita itu acap kali berpenampilan tanpa riasan, tetapi ia tahu betul bahwa pucat ini bukanlah karena tidak mengenakan make up. Sebelumnya mereka bertegur sapa di sebuah koridor lantai satu, dan karena tujuan yang sama yaitu ruangan Presdir, Yura tak bisa menghindar darinya. Ingin beralasan ke kamar mandi, tetapi ia masih trauma dengan para penggosip yang ada di sana. Lebih baik ia tak tahu daripada harus menusuk hatinya sendiri dengan mendengar cercaan mereka. “Aku sudah sarapan, kok. Mungkin lip cream-ku pudar saja. Sampai di atas aku retouch lagi,” jawab Yura dengan sebuah senyum yang mengembang terpaksa. Secepat mungkin Yura menaiki tangga, berharap segera tiba di lantai tiga. “Serius, Ra? Kalau kau sakit lebih baik izin saja, jangan dipaksakan, takutnya malah semakin parah,” usul pria itu. Yura lantas mengulas senyum tipis. “Percayalah, aku baik-baik saja, Na
Arya Girindra tidak pernah main-main dengan kalimatnya. Setiap hal yang ia putuskan tidak pernah ada yang gagal untuk direalisasikan, semua harus berprogres saat itu juga, termasuk memindahkan ruangannya dengan Yura di lantai lima. Saat ini, pria itu sibuk menerima tamu, sementara Yura dibantu beberapa staf lainnya sedang mengemas dan memindahkan barang ke ruangan yang baru.Awal-awal bergabung dengan perusahaan ini, Yura beberapa kali pernah mengunjungi lantai lima. Kala itu, Satwika Group masih di bawah kepemimpinan Adhiwira Satwika, ayah kandung Arya. Lalu, beberapa bulan kemudian, ia mendengar kabar jika beliau memilih pensiun dengan alasan kesehatan. Sejak itu, semua tugas dan tanggung jawabnya dilimpahkan kepada Arya yang menjabat sebagai Direktur Operasional.Dan kini, Yura masih belum percaya jika ia akan menempati sebuah ruangan paling mewah di perusahaan ini. Mimpi apakah ia semalam? Haruskah ini disebut dengan hukuman?“Lagi-lagi kamu mencari masalah!”Yura tiba-tiba di
"Arrgh..."Sejak tadi kepala Yura terasa berat seperti diberi beban puluhan kilo. Disusul dengan rasa mual dan rasa nyeri yang datang bersamaan. Ia sudah berusaha menggelontor air mineral sebanyak mungkin agar tidak tumbang. Sayang, ia memilih opsi yang tak tepat. Air itu justru semakin membuatnya kembung dan mual. Derit pintu terdengar, tanda seseorang telah keluar dari ruangan. Yura segera bangkit berdiri untuk menyambut. Benar saja, bertepatan saat Yura menegakkan badan, Arya telah sampai di hadapannya. Dia datang hanya dengan segumpal raut datar pada wajahnya dan ponsel pintar berwarna hitam. Kemeja kerja sudah terlihat berantakan. Kancing yang terbuka di bagian atas dan lengan digulung sesiku, didukung dengan semerbak wangi yang seakan tak pernah pudar. “Selamat Pagi, Pak,” sapanya tatkala Arya tak kunjung melanjutkan langkah. Arya menjawab dengan anggukan. Dua manik hitamnya bergerak ke atas dan ke bawah memindai penampilan perempuan di hadapannya. Sejurus kemudian melem
Bugh!Tubuh Yura melorot ke dasar lantai. Kakinya bagai tak bertulang saat ia telah berhasil tiba di kamar mandi. Sungguh, Yura tidak menyangka jika menaiki elevator akan seburuk ini. Lain halnya dengan Arya yang merasa sama sekali tidak keberatan. Justru, untuk pertama kalinya ia menemukan sebuah senyum di wajah lelaki itu meski sangat tipis. Yura mencoba bangkit setelah merasa dirinya baik. Dengan langkah gemetar, menghampiri wastafel dan menyalakan keran. Ia membasuh wajah beberapa kali. Berharap air dingin itu meredakan rasa paniknya sebelum ia kembali ke meja kerja. “Bu Yura?” Panggilan dari luar bilik membuat Yura bergegas mematikan keran dan mengeringkan wajahnya dengan beberapa lembar tisu. Saat membuka pintu, ia menemukan seorang pria berseragam keamanan sedang berdiri di depan meja kerjanya. Satu tangan membawa paper bag berwarna cokelat, satu tangan yang lain sedang memegang ponselnya. “Maaf, Bapak mencari saya?” tanya Yura begitu sampai di hadapan lelaki itu. “Tad
[Jadi mengajakku pergi ke cafe? Aku tidak lembur hari ini.]Yura menatap pesan dari Erna. Sebenarnya sore ini bisa-bisa saja ia keluar. Pimpinannya sudah mengatakan tidak lembur karena harus melakukan medical check up di rumah sakit malam ini. Namun, yang menjadi masalah adalah Gin. Bagaimana cara Yura meminta izin? Jika tidak mengatakan padanya, lelaki itu pasti akan tahu apa yang Yura lakukan dan menuntut penjelasan setelahnya. Kira-kira alasan apa yang tepat? [Jadi. Tunggu aku di lobby bawah. Aku akan pulang setelah Pak Arya pergi.] Pada akhirnya Yura membalas demikian. Dia lantas mencari nama Gin pada ponselnya dan mengirim sebuah pesan. [Gin, setelah pulang bekerja aku pergi ke cafe sebentar.] Pesan terkirim. Semoga saja Gin tidak mengeluarkan sifat otoriternya kali ini. Tak sampai satu menit, sang Tuan memberikan jawaban. [Dengan siapa?] tanyanya. [Bersama Erna, temanku. Aku sudah lama tidak bertemu dan mengobrol bersamanya.] Balasan Yura terkirim bersamaan dengan hel
“Yura, aku rasa pesanan ini terlalu banyak, mereka tidak salah meja, kan?” Erna bingung saat sepiring Papardele Bollognaise dan satu porsi Tenderloin Tip Steak mendarat di hadapannya. Tak hanya itu, Fillet Mignon yang menjadi menu paling mahal di tempat ini juga sepiring Wedges Fries semakin membuatnya tak mengedipkan mata. Sebelumnya Yura mengajak ke cafe yang sering mereka kunjungi, tetapi tiba-tiba saja berganti haluan untuk mengunjungi sebuah restoran yang cukup dekat dengan kantor. Dan, tibalah mereka di tempat ini, restoran mewah bagi kalangan menengah atas. Semua daging premium di tempat ini menggunakan wagyu full blood alias sapi darah murni yang kualitasnya terbaik dari yang terbaik. “Tidak, Erna. Aku sengaja memesan semuanya. Anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih karena selama ini kau sering mentraktirku,” jawab Yura seraya menerbitkan sebuah senyum tanpa beban. “Ra, ini semua—” “Jangan khawatir, uangku cukup,” katanya lagi seakan tahu apa yang bergumul di kepal
“Itu .... Tuan Gin yang kau maksud?” Erna turut mendadak tegang setelah tak sengaja membaca nama sang pemanggil. Dua wanita itu sama-sama meletakkan alat makannya dan saling menatap. Yura sendiri terlihat menghirup napas panjang beberapa kali. “Sebentar, aku angkat teleponnya dulu.” Yura bangkit dari tempat duduknya dan segera menjauh dari bangku. Sedikit mencari ruang privasi untuk bicara. Sekalipun saat ini suasana resto sedang lengang. Waktu baru berjalan setengah jam, tapi mengapa Gin sudah menelponnya? Terlebih bertepatan dengan persetujuan Erna untuk membantunya. Itu benar-benar membuatnya khawatir. “Ada apa, Gin?” Yura mendekatkan gawai di telinga usai megusap ikon hijau di layar. [“Just reminder, you have thirty minutes left.”] Kalimat itu diucapkan dengan nada yang rendah, tetapi entah kenapa justru terdengar layaknya sebuah sirine peringatan. “Ya—ya! Aku mengingatnya. Kami hanya tinggal menunggu minuman datang dan menghabiskan makanan. Setelah itu, kami akan pulang
“Gin?” panggil Yura setelah beberapa saat menunggu. Rasa penasarannya tak bisa ditahan lagi. Sejak kemarin, kepalanya penuh dengan beragam hipotesa. Dilihat dari harta dan aset mewah yang dimiliki, tentu saja Gin bukanlah seorang pekerja kantoran biasa. Sudah pasti ia memiliki jabatan atau kedudukan tinggi di sebuah perusahaan yang besar. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin tahu, dan mengenal suaminya lebih dekat saja. Apakah mungkin mereka bekerja di perusahaan yang sama? “Siapa yang menyuruhmu bertanya?”Yura menggeleng tetapi gerakannya tertahan dengan tangan Gin yang kekar.“Teman yang kau temui tadi sore?” tuntutnya lagi.“Ti—tidak! Erna tidak tahu apapun tentang kita. Aku ..., ha—hanya bermaksud ingin tahu sa—”“You don't need to!”Yura meneguk ludahnya kasar. Dia sesaat teringat dengan wanti-wanti yang diberikan Arkatama padanya, jika Gin tak suka ranah pribadinya terusik, sekecil apapun itu, bahkan masalah pekerjaan. Dan itu sudah tertuang dalam perjanjian mereka sebelumnya.