“Gin?” panggil Yura setelah beberapa saat menunggu. Rasa penasarannya tak bisa ditahan lagi. Sejak kemarin, kepalanya penuh dengan beragam hipotesa. Dilihat dari harta dan aset mewah yang dimiliki, tentu saja Gin bukanlah seorang pekerja kantoran biasa. Sudah pasti ia memiliki jabatan atau kedudukan tinggi di sebuah perusahaan yang besar. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin tahu, dan mengenal suaminya lebih dekat saja. Apakah mungkin mereka bekerja di perusahaan yang sama? “Siapa yang menyuruhmu bertanya?”Yura menggeleng tetapi gerakannya tertahan dengan tangan Gin yang kekar.“Teman yang kau temui tadi sore?” tuntutnya lagi.“Ti—tidak! Erna tidak tahu apapun tentang kita. Aku ..., ha—hanya bermaksud ingin tahu sa—”“You don't need to!”Yura meneguk ludahnya kasar. Dia sesaat teringat dengan wanti-wanti yang diberikan Arkatama padanya, jika Gin tak suka ranah pribadinya terusik, sekecil apapun itu, bahkan masalah pekerjaan. Dan itu sudah tertuang dalam perjanjian mereka sebelumnya.
"Pria itu ke mana saja, sih? Mengapa malah hilang saat dibutuhkan seperti ini?" Sepanjang pagi, Yura memeriksa ponselnya lebih dari empat kali. Namun, tak ada balasan dari Gin. Padahal, pria itu biasanya selalu membalas cepat. Mungkinkah masih marah setelah kejadian semalam? Pertanyaan yang terlintas tiba-tiba membuat Yura khawatir. [Gin.] [Aku butuh jawabanmu.] Yura mengirimkan dua pesan baru, semoga saja, kali ini segera terbaca. Masalahnya, jika Gin tak memberi jawaban pagi ini, Yura tak bisa mengkonfirmasi kepada pimpinannya bisa ikut atau tidak. Takutnya, sang atasan sudah mengira bahwa dirinya terlanjur bisa, tetapi Gin tiba-tiba tidak mengijinkannya. Pasti itu akan membuatnya pusing tujuh keliling untuk mencari ganti. Masih untung jika Arya bersedia dicarikan pengganti, akan tetapi sifatnya yang gampang-gampang susah membuat Yura harus ekstra sabar. Bersamaan dengan itu, Telephone pararel di samping meja berdering. Pada hitungan kedua, Yura segera meninggalkan pekerja
"Jangan-jangan dia memang sengaja mendiamkanku? Apa benaran marah soal semalam?" gumam Yura tanpa sadar.Arya memberikan tenggat waktu padanya sampai sore ini. Jika tak ada jawaban, maka dengan atau tanpa persetujuan ia dianggap bisa pergi bersama Arya. Jadi, Yura kini menyugar rambut dengan frustasi.Sepertinya, Yura harus mengambil cara lain untuk menghubungi Gin. Ia harap kali ini berhasil. Sayangnya, panggilan Yura justru ditolak! Yura hendak menekan ikon panggilan kembali, tetapi bersamaan dengan itu sebuah pesan dikirimkan oleh Gin. [Don’t disturb! Aku sedang meeting.] Akhirnya pria itu membalas juga. "Oh, Rupanya sedang meeting, pantas tidak secepat biasanya." Yura membatin. Cukup lega, walau tak puas dengan jawaban itu. Tak ingin kehilangan momen, Yura segera memberinya umpan balik. [Maaf jika mengganggu, tapi tolong jawab pesanku.] Hanya butuh satu detik, rangkaian kalimat Yura terkirim. Semoga saja Gin masih sempat membacanya. Ia tidak sanggup lagi mencari alasan j
Yura masih memikirkan ucapan pengacara "suaminya" itu.Bahkan, dia sampai lupa kalau Gin pulang. Buru-buru Yura memakan penutup mata, hingga lupa mematikan kompor yang sedang memanaskan sup.“Kenapa tidak menungguku di kamar, hm?” “Ah iya, maaf penampilanku buruk. Aku belum sempat siap-siap. Tetapi tenang saja, a—aku sudah mandi,” ujar wanita itu ketika Gin berada tepat di belakang tubuhnya.Tidak masalah sebenarnya. Gin tak pernah keberatan wanita itu berada dimana, asalkan menggunakan penutup mata. Tetapi ada satu hal yang menganggu pemandangannya. Penampilan wanita itu membuat Gin menahan napas sejenak.Yura menggunakan gaun tidur berwarna hitam dengan bagian dada yang rendah, tetapi rambutnya terikat asal, bibirnya bahkan terlihat masih pucat dan kering.Hawa panas dalam tubuh Gin bergejolak. Ada sesuatu yang mengaung dan ingin segera menerkam tubuh berbalut kain satin hitam itu sesegera mungkin. Namun, sayangnya, Gin harus mengubur dalam-dalam keinginannya, selama Yura masih b
Beberapa hari kemudian .... Yura menyibak kain tirai berwarna putih. Usai membersihkan diri, ia ingin mencari udara segar, melepas lelah yang sejak siang ia tahan. Rahangnya hampir jatuh ke lantai tatkala melihat pemandangan indah yang disuguhkan hotel bintang lima ini. “Aku sudah sampai di sini, Mas. Masih ingatkah kamu tentang tempat ini? Tempat yang pernah kita jadikan tujuan untuk ulang tahun pernikahan kita yang kedua.” Yura terkekeh pelan dalam gumamnya.“Dan ini sudah tahun ke-5 kita menikah, apa kamu tidak ingin bangun dan menyusulku ke mari?” bisiknya pada angin yang bertiup kencang. Setelah menikah, Yura telah mengumpulkan beberapa uang berharap bisa ke tempat ini bersama sang suami—sebagai perayaan ulang tahun pernikahan—tetapi harapnya sirna dan rencananya gagal setelah Rama terbaring koma. Uang itu turut raib untuk biaya pengobatan rumah sakit. Yura pikir, tak akan ada lagi kesempatan untuk pergi mengunjungi tempat ini. Hingga, entah bagaimana rencana semesta,
Selera makan Yura mendadak lenyap. Bahkan, sepiring fettucini di hadapannya dibiarkan mendingin dilahap angin. Sesekali memandangi sosok pria di hadapannya yang sedang menyantap menu berjuluk Spicy Lobster Tails miliknya dengan tenang. Setiap hari bertegur sapa, tetapi malam ini Yura bisa mengamati dengan leluasa. “Gunakan pelembap bibir dan urai rambutmu! Saya tunggu di depan lift!” Setelah berhari-hari, mengapa baru menyadari bahwa nada bicara mereka mirip? Cara mereka menekankan sesuatu pada sebuah kalimat juga persis. Selain itu, Gin tak suka rambutnya diikat, berantakan apalagi basah, dan Arya juga demikian. Usia mereka sama, meski Yura tak bisa memastikan berapa tepatnya. Namun, apakah beberapa hal persamaan mereka cukup akurat untuk membuktikan dugaannya? Mungkin hanya kebetulan, berulang kali Yura menekankan dirinya sendiri. Lagipula, pimpinannya itu sudah memiliki istri, bukan? Hal ini jelas berbeda dengan Gin yang mengaku masih single. "Kita datang ke sini untuk
Dua manik hitam mereka beradu pandang. Beberapa saat dua insan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun, Yura yang lebih dulu tersadar, lalu spontan terkekeh dengan celotehan Arya yang memintanya menganggap agenda kali ini sebagai honeymoon. “Ada yang lucu dengan kalimat saya?” tanya Arya dengan kedua alis saling bertaut. “Bapak dan saya ini kan bukan suami istri, tidak mungkin jika saya menganggap ini sebagai honeymoon,” jawab Yura dengan masih tertawa kecil. Perempuan itu lalu bangkit dari tidurnya dan duduk bersila, sepasang tangannya menjulur ke belakang sebagai sandaran. “Lagipula, meskipun saya di tempat wisata, kenyataannya saya masih bekerja bersama Bapak.” “Bukan begitu maksud saya, maksudnya—” Arya mendadak kehilangan kosa kata. Pria berkaos putih itu merasa telah kelolosan mengucapkan sesuatu. Tubuhnya hampir bangkit dari tidur, tetapi tertahan ketika Yura menoleh ke arahnya. Wanita itu tersenyum tulus. “Saya tahu maksudnya hanya bercanda, tapi serius saya ing
TRING!Dering alarm yang di pasang pada ponsel meraung bersahutan dengan debur ombak di luar kamar. Dengan mata yang masih terpejam, Yura menggerakkan tangannya mencari sumber kebisingan. Baru pukul lima pagi. Masih ada beberapa menit untuk memperpanjang durasi tidurnya. Hanya saja, aktivitas berat yang ia lakukan dengan Gin semalam kembali membuat tulang-tulangnya bergemertakan. "Hah! Ya ampun!"Matanya kini bisa melihat dengan bebas, tak ada lagi kain membelit kepalanya. Yura lantas menyingkap selimut guna melihat tubuhnya sendiri. Tidak ada yang berubah, semua pakaian yang ia gunakan tidak ada satupun yang terlepas.Yura kembali memutar ingatannya. Masih terekam jelas bagaimana Gin mencumbu dan menggaulinya. Yura ingat betul lelaki itu menyusulnya ke tempat ini. Mereka bercinta dengan penuh gairah. Biasanya, usai melewati malam yang panas, lelaki itu akan meninggalkan Yura dengan keadaan tanpa busana. Namun, kali ini tidak demikian. Tempat tidur yang ia gunakan bahkan tampak