Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah kiasan yang tepat disematkan untuk Hana. Setelah berjuang dan bertaruh nyawa untuk melahirkan, Hana harus kehilangan anak semata wayangnya. Satu tahun lamanya Hana menyembuhkan luka hatinya. Tapi, ternyata luka itu kembali mengangga ketika Adam pulang bersama perempuan yang tengah hamil besar. Bagaimana nasib rumah tangga Hana dan Adam setelah kehadiran perempuan itu?
View MoreTok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membangunkan Hana di malam hari. Hana memang tidur lebih awal dari biasanya karena dia kelelahan bekerja. Saat melirik ke arah jam dinding, jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" gumam Hana sambil menyingkap selimut yang menutup tubuhnya. Hana sedang berada di rumah seorang diri karena Adam sedang bekerja di luar kota satu minggu untuk urusan bisnis barunya.
Terlihat sosok laki-laki yang sangat dia kenal dibalik pintu. "Lho bukannya itu Mas Adam?" gumam Hana yang mengintip dari balik tirai.
Hana Salsabila menikah dengan Adam dua tahun lamanya. Malang nasib Hana, setelah melahirkan, Hana mengalami komplikasi yang menyebabkan dokter terpaksa memotong salah satu saluran tuba falopi milik Hana.
Harapan Hana untuk hamil lagi pun semakin kecil dengan satu tuba falopi. Tapi, hal itu tidak lantas membuat Hana terpuruk terus menerus karena ada anak yang harus dia besarkan.
Kanaya. Nama anak perempuan Hana dan Adam yang pertama. Namun sayang, di usia Kanaya yang menginjak enam bulan, dia meninggal dunia karena sakit.
Butuh waktu satu tahun lamanya Hana mengikhlaskan kepergian Kanaya. Apalagi dia sekarang hanya punya satu tuba falopi. Pikirannya tambah kacau dan Hana sering sekali melamun.
Perempuan yang hanya punya satu tuba falopi bukan tidak bisa hamil, hanya saja kemungkinannya jauh berkurang dibandingkan dengan yang memiliki kedua tuba falopi.
Sebelum membuka pintu, Hana menyalakan lampu yang memang sudah dimatikan dan juga memakai jilbab untuk menutupi auratnya.
Adam berdiri di depan pintu sambil sesekali melihat ke arah mobilnya yang terparkir di halaman rumah.
Suara anak kunci diputar terdengar dan Adam menunggu dengan cemas. Wajah Adam begitu berbeda dengan biasanya. Namun, Hana tetap sama memberikan seulas senyum kepada suami yang sudah tidak tahun menemaninya itu.
"Mas Adam?" Hana langsung menghambur ke pelukan Adam. Dia begitu rindu akan sosok suaminya itu.
"Han, aku mau bicara," kata Adam sambil melepaskan pelukan Hana.
Hana terkejut karena sikap Adam berbeda sekali. Adam seakan takut ada orang yang melihat mereka. Padahal mereka suami istri. Bahkan dia tidak memanggilnya dengan sebutan sayang seperti biasanya.
"Ada apa, Mas? Kenapa Mas bicaranya tidak seperti biasa?"
Hana mendongakkan kepalanya dan menatap mata Adam yang tengah tegang. Adam langsung memalingkan wajahnya ketika Hana menatapnya. Dan tentu saja hal itu membuat Hana bertanya-tanya.
"Tunggu di sini sebentar!" kata Adam.
Hana menatap Adam yang berjalan ke sisi kiri mobil milik suaminya dan membuka pintunya. Setelah mobil dibuka, turunlah seorang perempuan muda dengan perut yang besar seperti sedang hamil.
Adam menuntun perempuan muda itu dengan sangat hati-hati. Terlihat sekali Adam begitu perhatian pada perempuan yang Hana sendiri tidak tahu siapa. Dia cemburu melihat keduanya terlihat dekat.
Dada Hana serasa terhimpit oleh batu yang sangat besar. Rasanya sakit sekali melihat Adam begitu perhatian pada perempuan lain. Tapi, Hana menahan diri karena belum tahu siapa sebenarnya perempuan itu.
"Ayo masuk dulu, Han!" ajak Adam setelah melepaskan tangan perempuan itu ketika sampai di teras rumah.
Hana mengangguk dan masuk terlebih dahulu, kemudian disusul oleh suami dan perempuan itu. Mereka bertiga duduk di ruang tamu dengan posisi Hana duduk sendiri. Sedangkan perempuan itu dengan percaya dirinya duduk disebelah Adam tanpa mempedulikan ada Hana di sana.
"Bisa tolong buatkan minum dulu, Han. Kasihan Alya kehausan," ucap Adam memberi perintah.
"Baik, Mas," jawab Hana. Hana sama sekali tidak menolak permintaan Adam karena memang kewajiban tuan rumah menyuguhkan minuman saat ada tamu yang datang.
Hana kembali dengan dua cangkir teh hangat. Dia meletakkan satu gelas dengan sangat hati-hati di atas meja. Tapi, saat hendak meletakan gelas yang kedua, Alya dengan sengaja menyenggol tangan Hana sehingga teh hangat itu tumpah mengenai tangan Alya.
"Aduh panas!" pekik Alya sembari memegang tangannya. Dia mengibaskan tangannya yang terasa panas.
"Hana! Bisa pelan-pelan sedikit tidak? Nanti kalau Alya kenapa-kenapa, apa kamu mau tanggung jawab?" bentak Adam secara spontan.
Untuk pertama kalinya, Adam membentak Hana dan itu di depan orang asing. Sakit? Tentu saja itu yang Hana rasakan saat ini.
Mata Hana memerah dan berkaca-kaca. Dia sama sekali tidak percaya kalau Adam membentaknya. Adam yang sadar akan kesalahannya mencoba minta maaf.
"Maaf, Hana ... Mas tidak bermaksud membentakmu," ujar Adam dengan nada suara seperti biasanya.
"Maaf, Mas, tapi tadi dia yang menyenggol Hana duluan," ucap Hana membela diri.
"Bohong itu, Sayang. Gak usah fitnah, Mbak!" sahut Alya dengan pandangan sinisnya.
"Sayang? Kamu memanggil suamiku dengan sebutan sayang? Siapa kamu?" kata Hana lantang.
Hana bukanlah istri yang hanya diam ketika merasa ada yang salah. Dia berani memberontak jika itu diperlukan.
"Dia siapa, Mas?" Tatapan Hana kembali tertuju kepada Adam.
Mendengar pertanyaan Hana, Adam diam dan tak mampu menjawab. Lidahnya seakan kelu untuk mengucapkan sebuah kata.
"Kenapa diam, Mas? Katakan dia siapa, Mas?!" Hana bertanya kembali dengan hati yang sudah berbalut emosi.
Istri mana yang tidak emosi ketika ada perempuan hamil memanggil suaminya dengan sebutan sayang?
"Perlu aku yang menjawabnya, kah, Mas Adam?" kata Alya dengan santainya sembari mengelus perutnya yang buncit.
"Biar aku saja, Al." Kepala Adam terangkat dan menatap Hana sendu.
"Baiklah." Terbit sebuah senyuman sinis di bibir Alya.
Adam bangkit dan pindah tempat duduk. Dia duduk tepat disamping Hana. Adam menggenggam kedua tangan Hana dengan erat dan matanya menatap tajam mata Hana. Hana diam dan bersiap mendengarkan penjelasan suaminya, karena itulah yang dia tunggu.
"Hana ... Sayang, tolong dengarkan aku sekali saja dan jangan potong dulu ucapanku. Oke?" ucap Adam sebelum memberitahukan semuanya.
Hana tetap diam tak bergeming. Mata Hana juga terus menatap laki-laki berkulit putih itu tanpa berkedip. Hana tahu pasti terjadi sesuatu pada mereka berdua. Tapi Hana sabar sampai suaminya sendiri yang memberitahukan kepadanya.
"Aku harap kamu ikhlas menerimanya, Han. Dia Alya, istri keduaku dan anak yang dikandung Alya itu adalah bakal calon anakku."
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments