PYAAARRR
Sebuah gelas kaca jatuh dan serpihannya berantakan di lantai. Dan Alya pun terkena serpihan kaca itu.
"AAWW!" teriak Alya sangat kencang.
Karena terkejut mendengar teriak Alya, Hana langsung menghampirinya dan ternyata kaki Alya berdarah terkena pecahan kaca. Di waktu yang sama, Adam juga buru-buru menghampiri Alya.
"Kamu kenapa, Al?" tanya Adam sambil menuntun Alya ke kursi.
Dengan sangat hati-hati, Adam membersihkan luka dan mengobatinya. Hal itu pun di saksikan oleh Hana. Jangan tanya lagi bagaimana sakitnya.
"Kenapa bisa jadi begini, sih, Al? Kamu butuh apa?" tanya Adam lagi setelah selesai memberi obat pada luka Alya.
"Alya minta tolong Mbak Hana buatkan susu, Mas. Tapi, dia menolaknya. Jadilah aku buat sendiri. Aku gak sengaja menyenggol gelas itu, Mas," jelas Alya sambil menangis. Alya berpura-pura di depan Adam.
"Apa benar kamu gak mau buatkan susu untuk Alya, Han?" tanya Adam yang masih memakai sarung dan peci.
Seperti biasanya, selesai sholat subuh, Adam akan membaca Al-Qur'an. Itu dilakukan sejak dirinya menikah dengan Hana.
"Aku bukan pembantu yang bisa dia suruh, Mas. Dia bisa kok buat sendiri," jawab Hana tegas.
"Kasihan Alya, Han. Toh itu juga bukan pekerjaan yang berat, kan? Tolonglah ..." pinta Adam lagi.
Tentu saja Alya merasa menang. Dalam hatinya, dia tertawa senang. "Inilah barulah awal, Mbak Hana. Aku akan buat lebih dari ini!" ucap Alya dalam hati.
"Jika itu memang pekerjaan mudah, tentu saja dia bisa melakukannya sendiri!" Hana meletakkan piring di atas meja dan berlalu masuk ke dalam kamar.
Mulai sekarang, Hana tidak akan terlalu memikirkan madunya itu. Jika memang Adam kekeh mempertahankan hubungannya dengan Alya, bukan salah Hana juga jika dia akan berubah sikapnya.
Daripada memikirkan hal yang tidak penting, Hana menyiapkan keperluannya mengajar. Tentu saja keperluan Adam juga masih tetap dia siapkan. Karena bagaimanapun juga, dia masih istri sah Adam dan mempunyai kewajiban melayani suaminya itu.
Saat Hana keluar dari kamar, dia sudah berpakaian rapi dan siap berangkat. Terlihat jelas di matanya jika Adam begitu perhatian kepada Alya.
Bahkan untuk sarapan pun, Adam menyuapi Alya dengan telaten. Hal yang dulu juga pernah dilakukan Adam saat Hana hamil. Lagi dan lagi, hati Hana tergores luka karena harus menyaksikan semua itu.
Istri kedua Adam yang datang begitu saja ke rumah tangganya, membuat senyum Hana tak terlihat lagi. Untuk menarik sedikit bibirnya saja dia tak mampu.
"Kamu mau berangkat, Han? Tumben pagi-pagi sekali," tegur Adam saat dia melihat Hana hendak keluar rumah dengan pakaian rapi.
"Iya. Tak sanggup berlama-lama di rumah yang sudah bukan rumah lagi bagiku," balas Hana dengan ungkapan menohok.
"Bicara apa kamu, Han?" kata Adam sedikit lebih keras.
Tanpa mempedulikan pertanyaan Adam, Hana keluar begitu saja tanpa mencium punggung tangan suaminya seperti biasanya.
Saat ada di depan rumah, Hana berpapasan dengan Bi Imah yang biasa membantu pekerjaan rumahnya saat dia pergi mengajar.
"Lho tumben mau berangkat, Bu?" tanya Bi Imah heran.
"Iya, Bi. Ada rapat dengan kepala yayasan pagi ini. Bi, tolong nanti siapkan makan siang Bapak terlebih dulu, ya. Tadi saya gak sempat masak untuk makan siang. Gak apa-apa, kan, Bi?" kata Hana yang memaksakan diri untuk tersenyum di hadapan Bi Imah.
Ya, pagi ini kebetulan Hana juga ada rapat dengan yayasan karena akan ada pergantian kepala yayasan yang baru. Jawaban Hana pada Adam tadi tak sepenuhnya salah. Kedatangan Alya memang membuatnya tak nyaman lagi di rumah.
"Baik, Bu. Hati-hati di jalan, Bu." Hana mengangguk pelan dan segera pergi menggunakan sepeda motor kesayangannya.
Jarak PAUD tempatnya mengajar tidaklah terlalu jauh dari rumah. Dia di kota Surabaya merantau. Sedangkan orang tuanya ada di Malang. Sebisa mungkin, Hana akan menyembunyikan kondisinya rumah tangganya karena tidak mau membebani orang tuanya yang sudah berusia lanjut.
Tiiiinnnnnn!!! Suara klakson mobil mengagetkan Hana. Dia oleng ke kiri dan jatuh dari motornya.
"Astaghfirullah al'adzim!" ucap Hana bersamaan saat dia terjatuh.
Akibat tidak fokus karena memikirkan rumah tangganya, Hana hampir saja celaka. Dia segera bangun ketika pengendara mobil itu keluar dan menghampirinya.
"Maaf, Mbak, kamu gak apa-apa, kan?" kata laki-laki gagah dan tampan yang baru saja turun dari mobil yang hampir menabraknya.
"Gak apa-apa, Mas. Maaf ... Saya yang salah karena kurang konsentrasi," jawab Hana sambil membungkuk untuk meminta maaf.
Saat itu Hana belum melihat wajah dari laki-laki itu secara jelas karena sejak awal dia sudah merasa salah dan kepalanya terus menunduk.
***
"Jadi telat, deh, aku. Semoga acaranya belum mulai," gerutu Hana yang buru-buru masuk ke dalam ruangan rapat.
"Permisi!" Suara Hana membuat seisi ruangan menoleh ke arahnya.
Ternyata semua guru dan kepala sekolah lama sudah datang. Tapi acara belum mulai dan Hana tak tahu sebabnya.
"Maaf, Pak, saya terlambat karena ada sedikit insiden tadi," ucap Hana menjelaskan.
"Gak apa-apa, Bu Hana. Kami juga masih menunggu Pak Marvin yang belum datang juga. Silahkan langsung duduk, Bu!" sahut Kepala Sekolah yang bernama Pak Burhan itu.
"Terima kasih, Pak."
Hana mencari tempat duduk yang kosong dan langsung duduk. Tangannya masih sedikit gemetar karena terjatuh tadi.
"Kamu kenapa, Han?" tanya Luna yang merupakan sahabatnya di sana. Luna juga menjadi pengajar di yayasan itu.
Yayasan tempat Hana mengajar termasuk yayasan yang bonafit di daerah itu. Maka tidak heran jika siswa-siswi PAUD-TK nya juga sudah banyak.
"Tadi aku jatuh, Lun, karena gak fokus hampir keserempet mobil," jawab Hana sambil membenarkan posisi duduknya.
"Ya Allah, Han! Ups ..." Seketika Luna sadar kalau mereka tengah berada di ruang rapat.
Teriakannya tadi mendapatkan perhatian dari semua yang hadir. Sehingga Luna berulang kali meminta maaf karena sudah membuat gaduh.
"Luna ... Luna, ada-ada saja kamu ini. Gak usah lebay gitu napa? Aku itu gak apa-apa. Jadi perhatian, kan, kamu," sindir Hana sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Baru saja mulut Luna hendak bicara, masuklah laki-laki gagah dan tampan ke dalam ruangan. Mata Luna tak lepas dari laki-laki itu karena memang posisinya tepat sekali menghadap ke laki-laki itu.
"Han ... Hana! Tampan sekali laki-laki itu. Siapa, ya, dia? Apa dia pengajar baru di sini?" kata Luna pelan sambil menyenggol tangan Hana yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Apa, sih, kamu, Lun?!" gerutu Hana yang memang lagi fokus dengan pesan masuk yang dia terima.
"Lihatlah ke depan, Han!" pinta Luna dengan suara pelan tapi penuh penekanan.
Hana pun menuruti perkataan Luna. Dia pun juga ikut terpesona dengan laki-laki yang baru saja datang itu. Tapi ...
"Astaghfirullah al'adzim!" gumam Hana ketika sadar kalau dia istri orang lain.
"Maafkan saya datang terlambat, Pak Burhan. Tadi ada sedikit insiden di jalan," ucap laki-laki itu.
"Tak apa-apa, Pak. Mari silahkan duduk!" jawab Pak Burhan penuh hormat.
Hana dan Luna saling berpandangan melihat sikap Pak Burhan yang seperti itu. Dalam hati mereka penuh tanya, apakah laki-laki itu yang akan menggantikan Pak Burhan?
Laki-laki tampan dan gagah itu duduk bersebelahan dengan Pak Burhan. Acara pun segera dimulai setelah kedatangan laki-laki itu. Saat di tengah acara, tiba-tiba Luna menyenggol lengan Hana."Han! Hana ..." ucap Luna lirih. "Ada apa, sih, Lun? Dengerin tuh Pak Burhan lagi bicara," sahut Hana lirih juga. Dia tengah menyimak isi pidato Pak Burhan yang berisi perpisahan. "Laki-laki itu sejak tadi melihatmu terus. Kamu gak merasa apa?" ucap Luna sambil melirik ke arah laki-laki yang ternyata mereka tunggu yaitu Pak Marvin. "Gak usah ngaco kamu, Lun. Mana? Gak ada tuh!" Ketika Hana mencoba melihat Pak Marvin, laki-laki itu membuang muka dan sepertinya salah tingkah. "Iya beneran, Han. Aku dari tadi perhatikan dia. Jangan-jangan naksir kamu, Han?" terka Luna."Ehm ... ehm ..." Pak Burhan berdehem sambil memperhatikan Luna dan Hana. "Apa yang ingin Ibu Luna dan Ibu Hana sampaikan? Sejak tadi saya perhatikan mengobrol terus," ucap Pak Burhan. Hana dan Luna m*ti gaya. Mereka saling berpand
"Anak ini belum dijemput, ya, Bu? Sudah sore menjelang maghrib, lho, ini, Bu," ujar Marvin yang saat itu hendak pulang. Hana memandangi langit yang sudah mulai senja. Dan benar saja, hari sudah mulai sedikit gelap dan dia belum pulang juga."Iya, Pak. Sebentar saya coba hubungi mamanya Sela. Tadi Beliau bilang kalau memang terlambat," kata Hana. "Ya Allah ... ponselku mati. Gimana ini?" gumam Hana yang baru sadar. "Ada apa, Bu Hana? Ada masalahkah?" tanya Marvin yang melihat Hana kebingungan. "Ponsel saya baterainy habis, Pak. Padahal nomor dari Mama Sela ini ada di sana. Biar saya bawa pulang dulu saja Sela, Pak. Nanti biar saya kabari mamanya kalau sampai di rumah.""Bu Hana tahu alamat rumah anak ini? Kalau tahu, biar saya antar saja. Gimana?" Marvin menawarkan bantuan. "Tahu, Pak. Tapi, apa tidak merepotkan, Pak?" balas Hana."Gak mau, Bu Gulu, Cela takut," rengek Sela tiba-tiba. Wajar saja jika Sela takut. Marvin baru pertama kali ke yayasan itu dan anak-anak belum banyak y
"Hana?! Benar, kah, itu kamu, Bu Hana?" Hana menoleh ke arah belakang. Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih di sana. Hana pun sama terkejutnya dengan laki-laki itu. Tak disangka, mereka bertemu lagi di masjid. "Pak Marvin? Kenapa bisa ada di sini, Pak?" celetuk Hana yang mulai berdiri dari duduknya. "Harusnya saya yang tanya kenapa Bu Hana masih ada di sini? Anak yang tadi sudah diantar pulang?" tanya balik Marvin. Ketampanannya makin terpancar karena dia memakai peci. "Sudah, Pak. Ini saya mampir untuk sholat maghrib dulu," jawab Hana sopan. Mereka berdua berdiri agak berjauhan. Tak pantas rasanya jika ada orang yang melihat karena bisa timbul fitnah. "Lalu, kenapa Bu Hana tidak langsung pulang? Ini sudah mau masuk waktu sholat isya' lho." Marvin melihat jam yang melingkar di tangannya. "Itu anu, Pak, saya —" Hana kelihatan gugup sekali menjawab pertanyaan dari Marvin.Apakah dia harus jujur kalau dia takut pulang karena ada orang yang mengikutinya? Ju
Adam berkacak pinggang saat Hana masuk ke dalam rumah. Terlihat sekali amarah di wajah suami Hana itu. "Benar kataku, 'kan, Mas, kalau Mbak Hana itu pasti lagi main sama laki-laki. Sampai-sampai, HP-nya aja gak aktif," celetuk Alya memancing kemelut.Hana tak mengerti maksud ucapan dari Alya. Jadi, dia tak menunjukkan sikap apapun. Bahkan, Hana terlihat sangat tenang. "Maaf, Mas, Hana pulang terlambat. Ada —""Jadi seperti ini balasan kamu padaku, Han? Kamu marah aku poligami, lalu kamu juga sesuka hati bersama laki-laki lain?" Suara tinggi Adam membuat Hana terdiam. Dia mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari mulut suaminya itu. "Mau kamu apa? Mau cerai? Hah?" sambung Adam lagi."Astaghfirullah al'adzim," lirih Hana tanpa mau membuat pembelaan.Hatinya sakit lagi. Untuk kedua kalinya, Adam membentak dirinya dihadapan Alya bahkan terucap kata-kata yang seharusnya tidak dikatakan oleh Adam. Hana tak mengindahkan panggilan Adam, dia terus berjalan masuk ke dalam kamar.Tak tah
Hana memandang punggung abahnya dari belakang. Ya, Beliau tidak tahu kalau datang karena posisi mereka berlawanan. Setelah beberapa detik, Hana mengucap salam. "Assalamualaikum ..." seru Hana dengan mengukir senyum di bibir. "Waalaikumsalam!" Abah Hasan menoleh dan melihat putri semata wayangnya berdiri tepat dibelakangnya. "Hana? Ini beneran kamu, Nduk?" tanya Beliau sambil menghentikan aktivitasnya. "Iya, Bah, ini Hana. Hana kangen, Bah," sahut Hana sambil menghampiri Abah Hasan dan mencium punggung tangan Beliau. "Ya Allah, Nduk ... Abah juga kangen. Bagaimana kabarmu? Sehat, kan? Kamu datang sama suamimu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Abah Hasan. Hana menggeleng pelan. "Mas Adam lagi ada sibuk, Bah. Tapi Hana sudah izin kok mau ke sini. "Hem begitu, ya. Tapi kalian gak ada apa-apa, kan? Usaha suamimu juga lancar?" Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Hana. Jika boleh jujur, Hana sekarang sedang berada di posisi yang tidak mengenakkan. Adam yang tiba-tiba
Adam tak bisa berpikir jernih. Dia sangat mengkhawatirkan Hana. Ponsel Hana tak bisa dihubungi dan itu membuat dirinya tambah khawatir."Sudahlah, Mas. Mbak Hana itu sudah besar. Nanti dia juga pulang ke sini," celetuk Alya lagi ketika mereka tengah makan bersama. Adam tak sedikitpun menanggapi ucapan istri keduanya. Dia terus saja menyalahkan diri sendiri karena kecerobohannya semalam."Bi ... apa benar Bibi tadi tidak lihat Bu Hana?" tanya Adam pada asisten rumah tangga yang bernama Bi Imah."Tidak, Pak. Tadi, waktu Bibi tiba di rumah, Ibu sudah tidak ada. Bibi kira memang Ibu sedang keluar, Pak. Memangnya Ibu tidak pamit sama Bapak?" jawab Bi Imah yang saat itu tengah membersihkan meja makan bekas sarapan majikannya. "Tidak, Bi. Kira-kira kemana perginya Ibu, ya, Bi?" tanya Adam lagi. Terlihat kesedihan mendalam yang dirasakannya kini. Dan Bi Imah paham akan hal itu."Kasihan Pak Adam dan Bu Hana. Kenapa Pak Adam bisa menikahi perempuan itu, sih? Apa Pak Adam diguna-guna?" batin
"Apa Hana ada di rumah Abah? Kalau itu benar, berarti Hana sudah cerita ke Abah soal Alya. Aku harus apa?" gumam Adam yang tampak kebingungan. Adam sangat menghormati ayah mertuanya itu. Beliau begitu baik kepada dirinya. Dengan masa lalunya yang begitu buruk, Abah Hasan menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan, Abah Hasan tak segan-segan merangkul Adam ke arah yang lebih baik lagi. "Kenapa, Mas? Memangnya siapa yang telepon?" tanya Alya yang kebetulan mendengar Adam sedang bicara dengan seseorang di telepon. "Bukan urusanmu. Oh iya, hari ini aku tidak akan pulang. Nanti kamu di sini biar ditemani Bi Imah. Biar nanti aku bicara sama Bi Imah," ucap Adam. "Lho, memangnya Mas Adam mau kemana? Mas! Mas Adam!" Alya mengikuti Adam yang pergi ke dapur mencari Bi Imah. Langkah Alya sedikit terhambat karena perutnya yang besar. Saat Alya sampai di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur, langkah Alya terhenti karena mendengar percakapan antara Adam dan juga Bi Imah. Alya memutus
Selama bekerja, Adam tak bisa fokus karena terus memikirkan Hana dan segala kemungkinan yang akan dia hadapi jika dia ke rumah mertuanya. "Pak, Bapak salah tanda tangan," ucap salah satu karyawannya di bidang keuangan. Sebuah map yang berisi laporan keuangan disodorkan oleh karyawan itu. Adam memang punya beberapa karyawan karena dia tidak bisa menghandlenya sendiri. Punya banyak agen dan reseller membuatnya harus profesional dalam menjalankan bisnisnya. "Iya,kah? Oh iya. Maaf, saya tidak fokus," sahut Adam setelah melihat dokumen itu. Adam kemudian menandatangani kembali dokumen itu di tempat yang seharusnya. Setelah itu, Adam memutuskan untuk rehat sejenak dengan meminum segelas kopi. Dia menyandarkan kepalanya dengan mata tertutup. Akibat ulahnya sendiri, kini dia harus menanggung semua beban pikiran ini. Adam tak mau kehilangan Hana dan juga tidak mungkin membebaskan Alya karena dia sekarang juga menjadi tanggung jawabnya. "Ya Allah, aku harus apa?!" keluh Adam sambil mengu
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke
Hana terus memaksa Lina untuk mengantarkan dirinya ke tempat Lita. Dia sudah tidak sabar mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Lita kepadanya. "Tapi Lita bilang nanti setelah pulang kantor, Bu. Lita bilang takut ada yang mengikuti," ucap Lina mengutarakan alasannya. "Siapa yang akan mengikuti? Sebenarnya apa yang Lita tahu? Apa kamu tahu?" tanya Hana pada Lina. Lina menggelengkan kepala. Lina hanya penyampai pesan. Dia memang tak tahu apapun karena dia bukan di bagian keuangan. Dia dan Lita memang sudah berteman lama dan kebetulan bertemu kembali di satu kerjaan. Hanya Lina yang Lita percaya. Sehingga dia memberikan pesan untuk Lina sampaikan pada Hana. Dia sudah tak bisa menahan rahasia bisnis Adam lebih lama lagi karena ada beberapa orang yang mencari dirinya. "Kamu gak usah takut. Nanti sebelum kita sampai di tempat Lita, kita mampir ke kantor polisi untuk minta pengawalan dan perlindungan," ucap Hana menjawab kegundahan Lina. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirn
Hana mengendari motor dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam otaknya hanya berpikiran supaya cepat sampai di rumah sakit. Air matanya tak berhenti mengalir di sepanjang jalan. Tentu saja dia sudah menitipkan Keenan pada Bu Muh. Kebetulan atau tidak, Allah sudah merancang semuanya. Saat pihak rumah sakit menelepon dan meminta Hana untuk datang, kebetulan yang pas karena Bu Muh sedang berkunjung. Perjalanan kali ini terasa sangat lama sekali padahal Hana sudah berusaha cepat. Sebenarnya pihak rumah sakit tak menjelaskan apapun. Hanya saja Hana khawatir dan sampai punya pikiran yang tidak-tidak karena petugas yang menelepon dirinya mengatakan jika ada hal yang mendesak yang mengharuskan Hana untuk datang saat itu juga. "Dok! Sus! Ada apa? Suami saya baik-baik saja, kan?" Setengah berlari Hana menghampiri dokter dan perawat yang tengah berdiri di depan ruangan ICU. Keduanya sontak menoleh ke arah Hana tanpa ekspresi apapun. "Mari ikuti saya, Bu!" ajak perawat itu. Pintu ICU dibuka
Kejanggalan itu terjadi beberapa tahun lamanya. Dan suaminya tak menyadari hal itu. Dalam hatinya Hana bertekad harus menemukan Lita bagaimana pun caranya. Dia kemudian keluar dari ruangan dan mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang ada di sana. Namun sayang tidak ada satu pun yang tahu alamat rumah Lita karena Lita hanya menyewa kamar. "Dulu sebelum pindah saya tahu, Bu. Tapi sudah hampir sebulan dia pindah dan saat saya mau main ke kosnya selalu tidak boleh sama Lita," kata teman yang bisa dibilang dekat dengan Lita saat ke kantor. "Oh begitu, ya. Boleh gak saya minta alamat kos yang lama?"Karyawannya itu langsung menuliskan sebuah alamat dan menyerahkannya kepada Hana. Hari berikutnya, Lita benar-benar tidak masuk kantor. Itu dapat diartikan bahwa Lita benar-benar mengundurkan diri dari kantornya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan kantor, Hana keluar kantor dengan tujuan ke alamat kos Lita yang lama. Setelah berputar selama kurang lebih satu jam akhirnya Hana dapat men