TRING!Dering alarm yang di pasang pada ponsel meraung bersahutan dengan debur ombak di luar kamar. Dengan mata yang masih terpejam, Yura menggerakkan tangannya mencari sumber kebisingan. Baru pukul lima pagi. Masih ada beberapa menit untuk memperpanjang durasi tidurnya. Hanya saja, aktivitas berat yang ia lakukan dengan Gin semalam kembali membuat tulang-tulangnya bergemertakan. "Hah! Ya ampun!"Matanya kini bisa melihat dengan bebas, tak ada lagi kain membelit kepalanya. Yura lantas menyingkap selimut guna melihat tubuhnya sendiri. Tidak ada yang berubah, semua pakaian yang ia gunakan tidak ada satupun yang terlepas.Yura kembali memutar ingatannya. Masih terekam jelas bagaimana Gin mencumbu dan menggaulinya. Yura ingat betul lelaki itu menyusulnya ke tempat ini. Mereka bercinta dengan penuh gairah. Biasanya, usai melewati malam yang panas, lelaki itu akan meninggalkan Yura dengan keadaan tanpa busana. Namun, kali ini tidak demikian. Tempat tidur yang ia gunakan bahkan tampak
Dalam sekejap, Yura merasa dunianya berputar. Beberapa kali matanya mengerjap terpana kepada Arya yang dengan gagah duduk di atas motor dengan mesin berkapasistas lebih dari 400 cc itu. Ia sedang sibuk mengenakan sarung tangannya. Yura sendiri mendadak lupa dengan perintah yang Arya berikan sebelumnya. Kepalanya justru penuh dengan pertanyaan lain, ini motor siapa? “Sampai kapan kamu melamun seperti itu?” tegurnya saat Yura tak kunjung melakukan perintah. Sorot matanya yang tajam menghentikan angin ribut dalam pikiran Yura. “Cepat, naik!” “Ba—baik, Pak!” Mau tak mau Yura segera menyusul Arya menaiki motor tersebut. Mau bagaimana lagi, ingin menolak pun tidak bisa, bukan? Yura bahkan tidak tahu rencana apa yang di buat lelaki itu setelah ini. “Pegangan!” Arya menitah lagi. “Pe—pegangan?” “Perlu saya beritahu juga caranya?” Arya mendengus kesal akibat Yura yang tak bisa mencerna perintah dengan cepat. “Ayolah! Saya bukan pria yang banyak modus!” Tangan yang sudah siap memegang
"Terserah kau ingin menganggapnya apa." Jawaban Arya mengundang sebuah tekuk dahi dari Louis. Awalnya mengira lelaki itu serius sebab tak ada gurat lucu sedikit pun. Wajahnya tetap datar dan sebuah senyuman tipis. Namun tak berlangsung lama karena Louis langsung memukul lengan Arya seraya mengubar tawa, lalu menambahkan opininya. “Oh, come on! Dia hanya sekretarismu, benar? Ayolah! Aku sangat tahu seleramu, Dude! Lagian, kalian sangat tidak cocok menjadi suami istri. Kalian lebih cocok menjadi paman dan keponakan!” Arya sendiri tidak menanggapinya dengan serius. Lelaki itu malah sibuk melihat-lihat pemandangan di sekitar villa. Mengamati satu per satu detail bangunan yang terlihat di indera penglihatan. Sedangkan Yura bungkam seribu bahasa sembari berjalan di belakang kedua insan itu. Sesekali mendengarkan Louis yang menjelaskan asal-muasal juga kegunaan beberapa bagian. Lalu, Arya yang sudah lama berkecimpung dalam dunia properti juga memberikan tanggapan singkat. Hanya itu yan
“Louis berikan apa ke kamu?”Arya memarkirkan kendaraan motor yang mereka gunakan. Setelah melalui jalan yang panjang, juga menghentikan sejenak perjalanan di sebuah resto, mereka telah tiba kembali di hotel.Matahari sedang terik-teriknya, tetapi dua insan itu nekat menerobos jalanan untuk pulang. Sebab jika tidak segera kembali, mereka tidak akan memiliki waktu untuk beristirahat sebelum menghadiri agenda di sore hingga malam nanti.Yura sendiri hanya mengikuti kehendak Arya yang memang tidak meminta pendapat apapun padanya. Begitu Arya meminta pulang, maka saat itu juga ia harus ikut pergi“Maaf, saya hanya dibawakan cokelat saja, Pak.” Yura berusaha melepas pengait helm dan ia cukup beruntung karena tak memerlukan bantuan Arya lagi. Ah, itu melegakan dan jika bisa mungkin ia sudah berteriak kegirangan. “Bu Louisa juga menitip beberapa pack untuk Bapak. Semuanya ada di dalam tas ini. Bapak ingin membawanya?” tanyanya lagi seraya menunjukkan sebuah tote bag kain cukup besar berwarna
Setelah "diomeli" oleh sang atasan, tidak ada lagi yang spesial di malam kemarin--menurut Yura.Hanya makan bersama dengan para pertinggi Prastaga dan beberapa orang internal perusahaan. Yura dan Arya sendiri tak banyak terlibat percakapan.Dan kini sudah berganti hari.Seharian Yura tak keluar kamar dan memanfaatkan waktu senggang untuk membaca novel fiksi yang tesedia di rak kamar. Beruntung Arya sibuk meeting dari pagi hingga sore. Ia tak perlu repot-repot pergi dengannya, atau bertatap muka dengan atasannya itu. Semua pekerjaan cukup diingatkan lewat pesan.Jujur, wanita itu masih belum sanggup untuk menemui Arya lagi sejak kejadian kemarin. Demi Tuhan, Yura rasanya ingin resign saja, atau menghilang dari muka bumi!Sorot mata setajam elang itu masih terkenang jelas diingatan. Hembusan napas yang beradu, hingga wajah Arya yang berjarak sedekat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Tidak hilang sebanyak apapun Yura mengusap wajahnya.Suara beratnya entah kenapa terngiang di t
“Apa yang ingin Bapak bicarakan?”Sayangnya, belum juga mendapat jawaban, pelayan telah lebih dulu menghadirkan beberapa menu.Dua porsi kentang goreng, dua cup popcorn, dua gelas lychee tea, dan dua spagetti bolognese. Mungkin ini yang menjadi alasan tiket mereka mahal?Harga sudah satu paket dan area ini khusus. Cukup worth it, mengingat ini di Bali. Namun tetap saja, terlalu mahal untuk Yura yang terbiasa hidup pas-pasan.“Anything. Feel free to ask.”Seolah sadar tatapan Yura, Arya lantas bertanya padanya membuat wanita itu kelimpungan. Kenapa dia yang ditodong pertanyaan?Bukan apa-apa, Yura hanya takut pertanyaannya tak berkenan. Secara, Arya masih pimpinannya sekali pun saat ini sedang duduk berdua layaknya seorang teman. Walau ... Yura sebenarnya ingin bertanya dengan kejadian akhir-akhir ini. Mengapa sikap Arya yang —tidak seperti dengan karyawan biasa—begitu posesif? Terlebih, terlihat sangat marah hanya karena rambut yang tidak digerai? Apakah itu juga yang menjadi a
Musik yang sedang berdentum seharusnya dirayakan dengan sebuah tarian, bukan isakan dan air mata yang beruraian. Namun, begitulah adanya yang terjadi. Arya sendiri Tidak peduli dengan mereka yang mencuri-curi pandang dan ingin tahu apa yang terjadi. Dia memilih acuh mengusap pundak Yura sesekali.Nampaknya Yura sendiri tidak keberatan. Bahkan, pelukan semakin mengerat dari setiap detiknya. Bebannya perasaan selama lima tahun ini mungkin tak pernah diceritakan kepada siapa-siapa.Tidak tahu sudah berapa lama mereka berpelukan, tetapi Yura yang lebih dulu melepas tautan tubuh mereka.“Maaf, Pak Arya. Saya sepertinya terbawa perasaaan,” ujarnya seraya mengusap air mata yang masih mengalir deras di pipinya. Dua bola matanya telah memerah dan bengkak.Arya menanggapi dengan anggukan, kemudian mengulurkan beberapa lembar tissue yang sebelumnya telah disediakan di meja. “Bersihkan wajahmu, dan rapikan rambut.”“Terima kasih, Pak.” Yura menerima lembaran tisue itu dan mengelap wajahnya. Berh
“G—gin? Bagaimana kau bisa masuk ke kamar ini?”Yura menyambut dekapan lengan berotot di pinggangnya. Tidak keberatan dengan perlakuan Gin yang begitu intim. Dalam kegelapan, dia merasakan sebuah sebuah dada keras di belakang punggungnya, juga napas berat di dekat telinga. Sekarang Yura percaya bahwa ini semua bukanlah mimpi. Lalu kejadian malam itu juga bukanlah sebuah halusinasi. Memang benar Gin menyusulnya ke tempat ini.“Apa pun bisa aku lakukan,” jawab Gin kemudian memberi sebuah kecup hangat di pelipisnya. Perlahan bergerak turun hingga leher jenjang lalu naik kembali sampai kepada bibir. Dengan satu kali hentakan, tubuh ramping Yura sudah berganti posisi, menghadap ke arah Gin yang kini semakin melipat jarak. Seperti biasa, pria itu menginisiasi permainan bibirnya, membungkam milik Yura dengan lumatan-lumatan sederhana yang kemudian berubah menjadi liar.Beberapa menit mereka bertukar saliva. Yura tak bisa lagi menahan keinginan untuk segera melanjutkan sesi permainan di atas