Dua manik hitam mereka beradu pandang. Beberapa saat dua insan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun, Yura yang lebih dulu tersadar, lalu spontan terkekeh dengan celotehan Arya yang memintanya menganggap agenda kali ini sebagai honeymoon. “Ada yang lucu dengan kalimat saya?” tanya Arya dengan kedua alis saling bertaut. “Bapak dan saya ini kan bukan suami istri, tidak mungkin jika saya menganggap ini sebagai honeymoon,” jawab Yura dengan masih tertawa kecil. Perempuan itu lalu bangkit dari tidurnya dan duduk bersila, sepasang tangannya menjulur ke belakang sebagai sandaran. “Lagipula, meskipun saya di tempat wisata, kenyataannya saya masih bekerja bersama Bapak.” “Bukan begitu maksud saya, maksudnya—” Arya mendadak kehilangan kosa kata. Pria berkaos putih itu merasa telah kelolosan mengucapkan sesuatu. Tubuhnya hampir bangkit dari tidur, tetapi tertahan ketika Yura menoleh ke arahnya. Wanita itu tersenyum tulus. “Saya tahu maksudnya hanya bercanda, tapi serius saya ing
TRING!Dering alarm yang di pasang pada ponsel meraung bersahutan dengan debur ombak di luar kamar. Dengan mata yang masih terpejam, Yura menggerakkan tangannya mencari sumber kebisingan. Baru pukul lima pagi. Masih ada beberapa menit untuk memperpanjang durasi tidurnya. Hanya saja, aktivitas berat yang ia lakukan dengan Gin semalam kembali membuat tulang-tulangnya bergemertakan. "Hah! Ya ampun!"Matanya kini bisa melihat dengan bebas, tak ada lagi kain membelit kepalanya. Yura lantas menyingkap selimut guna melihat tubuhnya sendiri. Tidak ada yang berubah, semua pakaian yang ia gunakan tidak ada satupun yang terlepas.Yura kembali memutar ingatannya. Masih terekam jelas bagaimana Gin mencumbu dan menggaulinya. Yura ingat betul lelaki itu menyusulnya ke tempat ini. Mereka bercinta dengan penuh gairah. Biasanya, usai melewati malam yang panas, lelaki itu akan meninggalkan Yura dengan keadaan tanpa busana. Namun, kali ini tidak demikian. Tempat tidur yang ia gunakan bahkan tampak
Dalam sekejap, Yura merasa dunianya berputar. Beberapa kali matanya mengerjap terpana kepada Arya yang dengan gagah duduk di atas motor dengan mesin berkapasistas lebih dari 400 cc itu. Ia sedang sibuk mengenakan sarung tangannya. Yura sendiri mendadak lupa dengan perintah yang Arya berikan sebelumnya. Kepalanya justru penuh dengan pertanyaan lain, ini motor siapa? “Sampai kapan kamu melamun seperti itu?” tegurnya saat Yura tak kunjung melakukan perintah. Sorot matanya yang tajam menghentikan angin ribut dalam pikiran Yura. “Cepat, naik!” “Ba—baik, Pak!” Mau tak mau Yura segera menyusul Arya menaiki motor tersebut. Mau bagaimana lagi, ingin menolak pun tidak bisa, bukan? Yura bahkan tidak tahu rencana apa yang di buat lelaki itu setelah ini. “Pegangan!” Arya menitah lagi. “Pe—pegangan?” “Perlu saya beritahu juga caranya?” Arya mendengus kesal akibat Yura yang tak bisa mencerna perintah dengan cepat. “Ayolah! Saya bukan pria yang banyak modus!” Tangan yang sudah siap memegang
"Terserah kau ingin menganggapnya apa." Jawaban Arya mengundang sebuah tekuk dahi dari Louis. Awalnya mengira lelaki itu serius sebab tak ada gurat lucu sedikit pun. Wajahnya tetap datar dan sebuah senyuman tipis. Namun tak berlangsung lama karena Louis langsung memukul lengan Arya seraya mengubar tawa, lalu menambahkan opininya. “Oh, come on! Dia hanya sekretarismu, benar? Ayolah! Aku sangat tahu seleramu, Dude! Lagian, kalian sangat tidak cocok menjadi suami istri. Kalian lebih cocok menjadi paman dan keponakan!” Arya sendiri tidak menanggapinya dengan serius. Lelaki itu malah sibuk melihat-lihat pemandangan di sekitar villa. Mengamati satu per satu detail bangunan yang terlihat di indera penglihatan. Sedangkan Yura bungkam seribu bahasa sembari berjalan di belakang kedua insan itu. Sesekali mendengarkan Louis yang menjelaskan asal-muasal juga kegunaan beberapa bagian. Lalu, Arya yang sudah lama berkecimpung dalam dunia properti juga memberikan tanggapan singkat. Hanya itu yan
“Louis berikan apa ke kamu?”Arya memarkirkan kendaraan motor yang mereka gunakan. Setelah melalui jalan yang panjang, juga menghentikan sejenak perjalanan di sebuah resto, mereka telah tiba kembali di hotel.Matahari sedang terik-teriknya, tetapi dua insan itu nekat menerobos jalanan untuk pulang. Sebab jika tidak segera kembali, mereka tidak akan memiliki waktu untuk beristirahat sebelum menghadiri agenda di sore hingga malam nanti.Yura sendiri hanya mengikuti kehendak Arya yang memang tidak meminta pendapat apapun padanya. Begitu Arya meminta pulang, maka saat itu juga ia harus ikut pergi“Maaf, saya hanya dibawakan cokelat saja, Pak.” Yura berusaha melepas pengait helm dan ia cukup beruntung karena tak memerlukan bantuan Arya lagi. Ah, itu melegakan dan jika bisa mungkin ia sudah berteriak kegirangan. “Bu Louisa juga menitip beberapa pack untuk Bapak. Semuanya ada di dalam tas ini. Bapak ingin membawanya?” tanyanya lagi seraya menunjukkan sebuah tote bag kain cukup besar berwarna
Setelah "diomeli" oleh sang atasan, tidak ada lagi yang spesial di malam kemarin--menurut Yura.Hanya makan bersama dengan para pertinggi Prastaga dan beberapa orang internal perusahaan. Yura dan Arya sendiri tak banyak terlibat percakapan.Dan kini sudah berganti hari.Seharian Yura tak keluar kamar dan memanfaatkan waktu senggang untuk membaca novel fiksi yang tesedia di rak kamar. Beruntung Arya sibuk meeting dari pagi hingga sore. Ia tak perlu repot-repot pergi dengannya, atau bertatap muka dengan atasannya itu. Semua pekerjaan cukup diingatkan lewat pesan.Jujur, wanita itu masih belum sanggup untuk menemui Arya lagi sejak kejadian kemarin. Demi Tuhan, Yura rasanya ingin resign saja, atau menghilang dari muka bumi!Sorot mata setajam elang itu masih terkenang jelas diingatan. Hembusan napas yang beradu, hingga wajah Arya yang berjarak sedekat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Tidak hilang sebanyak apapun Yura mengusap wajahnya.Suara beratnya entah kenapa terngiang di t
“Apa yang ingin Bapak bicarakan?”Sayangnya, belum juga mendapat jawaban, pelayan telah lebih dulu menghadirkan beberapa menu.Dua porsi kentang goreng, dua cup popcorn, dua gelas lychee tea, dan dua spagetti bolognese. Mungkin ini yang menjadi alasan tiket mereka mahal?Harga sudah satu paket dan area ini khusus. Cukup worth it, mengingat ini di Bali. Namun tetap saja, terlalu mahal untuk Yura yang terbiasa hidup pas-pasan.“Anything. Feel free to ask.”Seolah sadar tatapan Yura, Arya lantas bertanya padanya membuat wanita itu kelimpungan. Kenapa dia yang ditodong pertanyaan?Bukan apa-apa, Yura hanya takut pertanyaannya tak berkenan. Secara, Arya masih pimpinannya sekali pun saat ini sedang duduk berdua layaknya seorang teman. Walau ... Yura sebenarnya ingin bertanya dengan kejadian akhir-akhir ini. Mengapa sikap Arya yang —tidak seperti dengan karyawan biasa—begitu posesif? Terlebih, terlihat sangat marah hanya karena rambut yang tidak digerai? Apakah itu juga yang menjadi a
Musik yang sedang berdentum seharusnya dirayakan dengan sebuah tarian, bukan isakan dan air mata yang beruraian. Namun, begitulah adanya yang terjadi. Arya sendiri Tidak peduli dengan mereka yang mencuri-curi pandang dan ingin tahu apa yang terjadi. Dia memilih acuh mengusap pundak Yura sesekali.Nampaknya Yura sendiri tidak keberatan. Bahkan, pelukan semakin mengerat dari setiap detiknya. Bebannya perasaan selama lima tahun ini mungkin tak pernah diceritakan kepada siapa-siapa.Tidak tahu sudah berapa lama mereka berpelukan, tetapi Yura yang lebih dulu melepas tautan tubuh mereka.“Maaf, Pak Arya. Saya sepertinya terbawa perasaaan,” ujarnya seraya mengusap air mata yang masih mengalir deras di pipinya. Dua bola matanya telah memerah dan bengkak.Arya menanggapi dengan anggukan, kemudian mengulurkan beberapa lembar tissue yang sebelumnya telah disediakan di meja. “Bersihkan wajahmu, dan rapikan rambut.”“Terima kasih, Pak.” Yura menerima lembaran tisue itu dan mengelap wajahnya. Berh
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth