“Yura, aku rasa pesanan ini terlalu banyak, mereka tidak salah meja, kan?” Erna bingung saat sepiring Papardele Bollognaise dan satu porsi Tenderloin Tip Steak mendarat di hadapannya. Tak hanya itu, Fillet Mignon yang menjadi menu paling mahal di tempat ini juga sepiring Wedges Fries semakin membuatnya tak mengedipkan mata. Sebelumnya Yura mengajak ke cafe yang sering mereka kunjungi, tetapi tiba-tiba saja berganti haluan untuk mengunjungi sebuah restoran yang cukup dekat dengan kantor. Dan, tibalah mereka di tempat ini, restoran mewah bagi kalangan menengah atas. Semua daging premium di tempat ini menggunakan wagyu full blood alias sapi darah murni yang kualitasnya terbaik dari yang terbaik. “Tidak, Erna. Aku sengaja memesan semuanya. Anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih karena selama ini kau sering mentraktirku,” jawab Yura seraya menerbitkan sebuah senyum tanpa beban. “Ra, ini semua—” “Jangan khawatir, uangku cukup,” katanya lagi seakan tahu apa yang bergumul di kepal
“Itu .... Tuan Gin yang kau maksud?” Erna turut mendadak tegang setelah tak sengaja membaca nama sang pemanggil. Dua wanita itu sama-sama meletakkan alat makannya dan saling menatap. Yura sendiri terlihat menghirup napas panjang beberapa kali. “Sebentar, aku angkat teleponnya dulu.” Yura bangkit dari tempat duduknya dan segera menjauh dari bangku. Sedikit mencari ruang privasi untuk bicara. Sekalipun saat ini suasana resto sedang lengang. Waktu baru berjalan setengah jam, tapi mengapa Gin sudah menelponnya? Terlebih bertepatan dengan persetujuan Erna untuk membantunya. Itu benar-benar membuatnya khawatir. “Ada apa, Gin?” Yura mendekatkan gawai di telinga usai megusap ikon hijau di layar. [“Just reminder, you have thirty minutes left.”] Kalimat itu diucapkan dengan nada yang rendah, tetapi entah kenapa justru terdengar layaknya sebuah sirine peringatan. “Ya—ya! Aku mengingatnya. Kami hanya tinggal menunggu minuman datang dan menghabiskan makanan. Setelah itu, kami akan pulang
“Gin?” panggil Yura setelah beberapa saat menunggu. Rasa penasarannya tak bisa ditahan lagi. Sejak kemarin, kepalanya penuh dengan beragam hipotesa. Dilihat dari harta dan aset mewah yang dimiliki, tentu saja Gin bukanlah seorang pekerja kantoran biasa. Sudah pasti ia memiliki jabatan atau kedudukan tinggi di sebuah perusahaan yang besar. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin tahu, dan mengenal suaminya lebih dekat saja. Apakah mungkin mereka bekerja di perusahaan yang sama? “Siapa yang menyuruhmu bertanya?”Yura menggeleng tetapi gerakannya tertahan dengan tangan Gin yang kekar.“Teman yang kau temui tadi sore?” tuntutnya lagi.“Ti—tidak! Erna tidak tahu apapun tentang kita. Aku ..., ha—hanya bermaksud ingin tahu sa—”“You don't need to!”Yura meneguk ludahnya kasar. Dia sesaat teringat dengan wanti-wanti yang diberikan Arkatama padanya, jika Gin tak suka ranah pribadinya terusik, sekecil apapun itu, bahkan masalah pekerjaan. Dan itu sudah tertuang dalam perjanjian mereka sebelumnya.
"Pria itu ke mana saja, sih? Mengapa malah hilang saat dibutuhkan seperti ini?" Sepanjang pagi, Yura memeriksa ponselnya lebih dari empat kali. Namun, tak ada balasan dari Gin. Padahal, pria itu biasanya selalu membalas cepat. Mungkinkah masih marah setelah kejadian semalam? Pertanyaan yang terlintas tiba-tiba membuat Yura khawatir. [Gin.] [Aku butuh jawabanmu.] Yura mengirimkan dua pesan baru, semoga saja, kali ini segera terbaca. Masalahnya, jika Gin tak memberi jawaban pagi ini, Yura tak bisa mengkonfirmasi kepada pimpinannya bisa ikut atau tidak. Takutnya, sang atasan sudah mengira bahwa dirinya terlanjur bisa, tetapi Gin tiba-tiba tidak mengijinkannya. Pasti itu akan membuatnya pusing tujuh keliling untuk mencari ganti. Masih untung jika Arya bersedia dicarikan pengganti, akan tetapi sifatnya yang gampang-gampang susah membuat Yura harus ekstra sabar. Bersamaan dengan itu, Telephone pararel di samping meja berdering. Pada hitungan kedua, Yura segera meninggalkan pekerja
"Jangan-jangan dia memang sengaja mendiamkanku? Apa benaran marah soal semalam?" gumam Yura tanpa sadar.Arya memberikan tenggat waktu padanya sampai sore ini. Jika tak ada jawaban, maka dengan atau tanpa persetujuan ia dianggap bisa pergi bersama Arya. Jadi, Yura kini menyugar rambut dengan frustasi.Sepertinya, Yura harus mengambil cara lain untuk menghubungi Gin. Ia harap kali ini berhasil. Sayangnya, panggilan Yura justru ditolak! Yura hendak menekan ikon panggilan kembali, tetapi bersamaan dengan itu sebuah pesan dikirimkan oleh Gin. [Don’t disturb! Aku sedang meeting.] Akhirnya pria itu membalas juga. "Oh, Rupanya sedang meeting, pantas tidak secepat biasanya." Yura membatin. Cukup lega, walau tak puas dengan jawaban itu. Tak ingin kehilangan momen, Yura segera memberinya umpan balik. [Maaf jika mengganggu, tapi tolong jawab pesanku.] Hanya butuh satu detik, rangkaian kalimat Yura terkirim. Semoga saja Gin masih sempat membacanya. Ia tidak sanggup lagi mencari alasan j
Yura masih memikirkan ucapan pengacara "suaminya" itu.Bahkan, dia sampai lupa kalau Gin pulang. Buru-buru Yura memakan penutup mata, hingga lupa mematikan kompor yang sedang memanaskan sup.“Kenapa tidak menungguku di kamar, hm?” “Ah iya, maaf penampilanku buruk. Aku belum sempat siap-siap. Tetapi tenang saja, a—aku sudah mandi,” ujar wanita itu ketika Gin berada tepat di belakang tubuhnya.Tidak masalah sebenarnya. Gin tak pernah keberatan wanita itu berada dimana, asalkan menggunakan penutup mata. Tetapi ada satu hal yang menganggu pemandangannya. Penampilan wanita itu membuat Gin menahan napas sejenak.Yura menggunakan gaun tidur berwarna hitam dengan bagian dada yang rendah, tetapi rambutnya terikat asal, bibirnya bahkan terlihat masih pucat dan kering.Hawa panas dalam tubuh Gin bergejolak. Ada sesuatu yang mengaung dan ingin segera menerkam tubuh berbalut kain satin hitam itu sesegera mungkin. Namun, sayangnya, Gin harus mengubur dalam-dalam keinginannya, selama Yura masih b
Beberapa hari kemudian .... Yura menyibak kain tirai berwarna putih. Usai membersihkan diri, ia ingin mencari udara segar, melepas lelah yang sejak siang ia tahan. Rahangnya hampir jatuh ke lantai tatkala melihat pemandangan indah yang disuguhkan hotel bintang lima ini. “Aku sudah sampai di sini, Mas. Masih ingatkah kamu tentang tempat ini? Tempat yang pernah kita jadikan tujuan untuk ulang tahun pernikahan kita yang kedua.” Yura terkekeh pelan dalam gumamnya.“Dan ini sudah tahun ke-5 kita menikah, apa kamu tidak ingin bangun dan menyusulku ke mari?” bisiknya pada angin yang bertiup kencang. Setelah menikah, Yura telah mengumpulkan beberapa uang berharap bisa ke tempat ini bersama sang suami—sebagai perayaan ulang tahun pernikahan—tetapi harapnya sirna dan rencananya gagal setelah Rama terbaring koma. Uang itu turut raib untuk biaya pengobatan rumah sakit. Yura pikir, tak akan ada lagi kesempatan untuk pergi mengunjungi tempat ini. Hingga, entah bagaimana rencana semesta,
Selera makan Yura mendadak lenyap. Bahkan, sepiring fettucini di hadapannya dibiarkan mendingin dilahap angin. Sesekali memandangi sosok pria di hadapannya yang sedang menyantap menu berjuluk Spicy Lobster Tails miliknya dengan tenang. Setiap hari bertegur sapa, tetapi malam ini Yura bisa mengamati dengan leluasa. “Gunakan pelembap bibir dan urai rambutmu! Saya tunggu di depan lift!” Setelah berhari-hari, mengapa baru menyadari bahwa nada bicara mereka mirip? Cara mereka menekankan sesuatu pada sebuah kalimat juga persis. Selain itu, Gin tak suka rambutnya diikat, berantakan apalagi basah, dan Arya juga demikian. Usia mereka sama, meski Yura tak bisa memastikan berapa tepatnya. Namun, apakah beberapa hal persamaan mereka cukup akurat untuk membuktikan dugaannya? Mungkin hanya kebetulan, berulang kali Yura menekankan dirinya sendiri. Lagipula, pimpinannya itu sudah memiliki istri, bukan? Hal ini jelas berbeda dengan Gin yang mengaku masih single. "Kita datang ke sini untuk
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth