Bugh!Tubuh Yura melorot ke dasar lantai. Kakinya bagai tak bertulang saat ia telah berhasil tiba di kamar mandi. Sungguh, Yura tidak menyangka jika menaiki elevator akan seburuk ini. Lain halnya dengan Arya yang merasa sama sekali tidak keberatan. Justru, untuk pertama kalinya ia menemukan sebuah senyum di wajah lelaki itu meski sangat tipis. Yura mencoba bangkit setelah merasa dirinya baik. Dengan langkah gemetar, menghampiri wastafel dan menyalakan keran. Ia membasuh wajah beberapa kali. Berharap air dingin itu meredakan rasa paniknya sebelum ia kembali ke meja kerja. “Bu Yura?” Panggilan dari luar bilik membuat Yura bergegas mematikan keran dan mengeringkan wajahnya dengan beberapa lembar tisu. Saat membuka pintu, ia menemukan seorang pria berseragam keamanan sedang berdiri di depan meja kerjanya. Satu tangan membawa paper bag berwarna cokelat, satu tangan yang lain sedang memegang ponselnya. “Maaf, Bapak mencari saya?” tanya Yura begitu sampai di hadapan lelaki itu. “Tad
[Jadi mengajakku pergi ke cafe? Aku tidak lembur hari ini.]Yura menatap pesan dari Erna. Sebenarnya sore ini bisa-bisa saja ia keluar. Pimpinannya sudah mengatakan tidak lembur karena harus melakukan medical check up di rumah sakit malam ini. Namun, yang menjadi masalah adalah Gin. Bagaimana cara Yura meminta izin? Jika tidak mengatakan padanya, lelaki itu pasti akan tahu apa yang Yura lakukan dan menuntut penjelasan setelahnya. Kira-kira alasan apa yang tepat? [Jadi. Tunggu aku di lobby bawah. Aku akan pulang setelah Pak Arya pergi.] Pada akhirnya Yura membalas demikian. Dia lantas mencari nama Gin pada ponselnya dan mengirim sebuah pesan. [Gin, setelah pulang bekerja aku pergi ke cafe sebentar.] Pesan terkirim. Semoga saja Gin tidak mengeluarkan sifat otoriternya kali ini. Tak sampai satu menit, sang Tuan memberikan jawaban. [Dengan siapa?] tanyanya. [Bersama Erna, temanku. Aku sudah lama tidak bertemu dan mengobrol bersamanya.] Balasan Yura terkirim bersamaan dengan hel
“Yura, aku rasa pesanan ini terlalu banyak, mereka tidak salah meja, kan?” Erna bingung saat sepiring Papardele Bollognaise dan satu porsi Tenderloin Tip Steak mendarat di hadapannya. Tak hanya itu, Fillet Mignon yang menjadi menu paling mahal di tempat ini juga sepiring Wedges Fries semakin membuatnya tak mengedipkan mata. Sebelumnya Yura mengajak ke cafe yang sering mereka kunjungi, tetapi tiba-tiba saja berganti haluan untuk mengunjungi sebuah restoran yang cukup dekat dengan kantor. Dan, tibalah mereka di tempat ini, restoran mewah bagi kalangan menengah atas. Semua daging premium di tempat ini menggunakan wagyu full blood alias sapi darah murni yang kualitasnya terbaik dari yang terbaik. “Tidak, Erna. Aku sengaja memesan semuanya. Anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih karena selama ini kau sering mentraktirku,” jawab Yura seraya menerbitkan sebuah senyum tanpa beban. “Ra, ini semua—” “Jangan khawatir, uangku cukup,” katanya lagi seakan tahu apa yang bergumul di kepal
“Itu .... Tuan Gin yang kau maksud?” Erna turut mendadak tegang setelah tak sengaja membaca nama sang pemanggil. Dua wanita itu sama-sama meletakkan alat makannya dan saling menatap. Yura sendiri terlihat menghirup napas panjang beberapa kali. “Sebentar, aku angkat teleponnya dulu.” Yura bangkit dari tempat duduknya dan segera menjauh dari bangku. Sedikit mencari ruang privasi untuk bicara. Sekalipun saat ini suasana resto sedang lengang. Waktu baru berjalan setengah jam, tapi mengapa Gin sudah menelponnya? Terlebih bertepatan dengan persetujuan Erna untuk membantunya. Itu benar-benar membuatnya khawatir. “Ada apa, Gin?” Yura mendekatkan gawai di telinga usai megusap ikon hijau di layar. [“Just reminder, you have thirty minutes left.”] Kalimat itu diucapkan dengan nada yang rendah, tetapi entah kenapa justru terdengar layaknya sebuah sirine peringatan. “Ya—ya! Aku mengingatnya. Kami hanya tinggal menunggu minuman datang dan menghabiskan makanan. Setelah itu, kami akan pulang
“Gin?” panggil Yura setelah beberapa saat menunggu. Rasa penasarannya tak bisa ditahan lagi. Sejak kemarin, kepalanya penuh dengan beragam hipotesa. Dilihat dari harta dan aset mewah yang dimiliki, tentu saja Gin bukanlah seorang pekerja kantoran biasa. Sudah pasti ia memiliki jabatan atau kedudukan tinggi di sebuah perusahaan yang besar. Tidak ada maksud lain. Hanya ingin tahu, dan mengenal suaminya lebih dekat saja. Apakah mungkin mereka bekerja di perusahaan yang sama? “Siapa yang menyuruhmu bertanya?”Yura menggeleng tetapi gerakannya tertahan dengan tangan Gin yang kekar.“Teman yang kau temui tadi sore?” tuntutnya lagi.“Ti—tidak! Erna tidak tahu apapun tentang kita. Aku ..., ha—hanya bermaksud ingin tahu sa—”“You don't need to!”Yura meneguk ludahnya kasar. Dia sesaat teringat dengan wanti-wanti yang diberikan Arkatama padanya, jika Gin tak suka ranah pribadinya terusik, sekecil apapun itu, bahkan masalah pekerjaan. Dan itu sudah tertuang dalam perjanjian mereka sebelumnya.
"Pria itu ke mana saja, sih? Mengapa malah hilang saat dibutuhkan seperti ini?" Sepanjang pagi, Yura memeriksa ponselnya lebih dari empat kali. Namun, tak ada balasan dari Gin. Padahal, pria itu biasanya selalu membalas cepat. Mungkinkah masih marah setelah kejadian semalam? Pertanyaan yang terlintas tiba-tiba membuat Yura khawatir. [Gin.] [Aku butuh jawabanmu.] Yura mengirimkan dua pesan baru, semoga saja, kali ini segera terbaca. Masalahnya, jika Gin tak memberi jawaban pagi ini, Yura tak bisa mengkonfirmasi kepada pimpinannya bisa ikut atau tidak. Takutnya, sang atasan sudah mengira bahwa dirinya terlanjur bisa, tetapi Gin tiba-tiba tidak mengijinkannya. Pasti itu akan membuatnya pusing tujuh keliling untuk mencari ganti. Masih untung jika Arya bersedia dicarikan pengganti, akan tetapi sifatnya yang gampang-gampang susah membuat Yura harus ekstra sabar. Bersamaan dengan itu, Telephone pararel di samping meja berdering. Pada hitungan kedua, Yura segera meninggalkan pekerja
"Jangan-jangan dia memang sengaja mendiamkanku? Apa benaran marah soal semalam?" gumam Yura tanpa sadar.Arya memberikan tenggat waktu padanya sampai sore ini. Jika tak ada jawaban, maka dengan atau tanpa persetujuan ia dianggap bisa pergi bersama Arya. Jadi, Yura kini menyugar rambut dengan frustasi.Sepertinya, Yura harus mengambil cara lain untuk menghubungi Gin. Ia harap kali ini berhasil. Sayangnya, panggilan Yura justru ditolak! Yura hendak menekan ikon panggilan kembali, tetapi bersamaan dengan itu sebuah pesan dikirimkan oleh Gin. [Don’t disturb! Aku sedang meeting.] Akhirnya pria itu membalas juga. "Oh, Rupanya sedang meeting, pantas tidak secepat biasanya." Yura membatin. Cukup lega, walau tak puas dengan jawaban itu. Tak ingin kehilangan momen, Yura segera memberinya umpan balik. [Maaf jika mengganggu, tapi tolong jawab pesanku.] Hanya butuh satu detik, rangkaian kalimat Yura terkirim. Semoga saja Gin masih sempat membacanya. Ia tidak sanggup lagi mencari alasan j
Yura masih memikirkan ucapan pengacara "suaminya" itu.Bahkan, dia sampai lupa kalau Gin pulang. Buru-buru Yura memakan penutup mata, hingga lupa mematikan kompor yang sedang memanaskan sup.“Kenapa tidak menungguku di kamar, hm?” “Ah iya, maaf penampilanku buruk. Aku belum sempat siap-siap. Tetapi tenang saja, a—aku sudah mandi,” ujar wanita itu ketika Gin berada tepat di belakang tubuhnya.Tidak masalah sebenarnya. Gin tak pernah keberatan wanita itu berada dimana, asalkan menggunakan penutup mata. Tetapi ada satu hal yang menganggu pemandangannya. Penampilan wanita itu membuat Gin menahan napas sejenak.Yura menggunakan gaun tidur berwarna hitam dengan bagian dada yang rendah, tetapi rambutnya terikat asal, bibirnya bahkan terlihat masih pucat dan kering.Hawa panas dalam tubuh Gin bergejolak. Ada sesuatu yang mengaung dan ingin segera menerkam tubuh berbalut kain satin hitam itu sesegera mungkin. Namun, sayangnya, Gin harus mengubur dalam-dalam keinginannya, selama Yura masih b