"A--apa?"
Alih-alih menjawab, Yura justru merasakan Tuan Gin duduk di bibir ranjang dan menarik tubuhnya di atas pangkuan pria itu!
Hal ini sontak membuat Yura menahan degup jantungnya.
Dia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut. Ruang geraknya tak bebas dan kedua matanya masih tertutup rapat.
“Tugasmu hanya satu, melayaniku setiap malam dan tinggal di apartemenku. Kau masih boleh bekerja dan melakukan aktivitasmu seperti biasanya. Tetapi setelah itu, kau harus kembali menungguku pulang. Yang terakhir, kau harus menggunakan penutup mata seperti ini ketika bertemu denganku.”Jantung Yura bagai terhenti sepersekian detik. Bibirnya hampir menganga mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan pria itu. Butuh keberanian untuk melakukannya sebab menjadi istri kontrak adalah berkhianat dengan Rama. Juga, mental dan hati sekuat baja karena tak boleh melibatkan perasaan selama berhubungan dengan sang Tuan.Yang lebih sulit harus mau dicampakkan kapanpun lelaki itu jenuh dan dianggap sebagai budak nafsunya setiap diinginkan.
“Peraturannya masih sama seperti di tempat ini. Aku menggunakan bel untuk memberitahu kedatanganku. Dan kau dilarang membuka penutup mata ini selama aku berada di sampingmu. Kita memang menikah. Secara kontrak kau adalah istriku dan aku suamimu, tetapi jangan pernah sekali pun kau mencari identitasku, dan semua hal yang berkaitan denganku. Kau juga dilarang untuk berbagi cerita dengan siapapun tentang hubungan kita.”Tuan Gin mengambil jeda, lelaki itu sebelumnya telah meraih gelas Wine yang disediakan dan menyesapnya beberapa kali. Aroma alkohol yang cukup kentara menusuk rongga hidung keduanya. Yura sendiri enggan menyela, masih menunggu lelaki itu memberikan penjelasan lebih lanjut.“Semua kebutuhanmu akan aku jamin. Semua yang kau perlukan akan aku berikan.” Tuan Gin menyesap anggurnya sekali lagi, lalu meletakkan gelasnya dan kembali memperhatikan Yura, memain-mainkan jarinya di kulit halusnya. “Bagaimana Yura, apakah kau setuju dengan tawaranku?” Semakin lama, jemari bergerak turun hingga perutnya, membuat pikiran Yura buyar seketika. Jawaban dalam kepalanya belum menemui sepakat, tetapi sentuhan pria itu memecah konsentrasinya. Dari gerakannya saja, Yura sudah menduga bahwa Tuan Gin adalah sosok yang handal perihal urusan ranjang.Sialnya, Yura sudah lama tak merasakan permainan semacam itu. Rasa rindu akan jamahan seorang pria justru membuatnya menikmati permainan Tuan Gin. Hampir lima tahun lamanya, Yura tak pernah terpikirkan untuk mencari pelampiasan, hasratnya selalu tenggelam dengan pilu akibat Rama yang tak kunjung bangun dari tidur panjangnya.“Em .... Maaf, Tuan. Sampai kapan kontrak itu akan berjalan?”Susah payah Yura merangkai kata itu. Akal sehatnya hampir hilang ketika jari lelaki itu menyelinap tanpa permisi di bagian inti. Tangannya spontan mencengkeram erat lengan kekar yang membebat tubuhnya. Sedangkan Tuan Gin merapatkan bibirnya pada telinga Yura, lagi-lagi mendaratkan sebuah kecupan tipis di sana membuat wanita itu hampir gila.“Selama suamimu masih dalam keadaan koma,” jawab Tuan Gin lalu menaruh kepala di ceruk leher Yura. “Kau hanya perlu melayaniku selama suamimu masih terbaring di rumah sakit. Perjanjian kita akan berakhir ketika suamimu sudah tak menjalani perawatan.”Kembali Yura berpikir, berusaha menggunakan sisa-sisa logika yang hampir hilang direnggut gairah. Bagaimana bila Rama tahu tentang semua hal yang ia lakukan ini? Jawaban apa yang harus ia berikan ketika suaminya bertanya? Akankah Rama percaya dan berterima kasih kepadanya? Atau justru sebaliknya?Namun, tidak ada pilihan selain menolak. Yura juga sudah terlanjur menyerahkan tubuhnya untuk dijamah pria selain suaminya. Sudah terlanjur basah, mengapa tidak sekalian menceburkan diri saja?“Kau ragu dengan tawaranku?” Tuan Gin bertanya kembali ketika Yura tak kunjung memberi jawaban. Lelaki itu menyudahi aktivitasnya dan melepas tautan tangannya. “Kau tidak percaya denganku?”Wanita menggeleng. “Bukan, Tuan. Saya percaya Tuan Gin tidak pernah main-main dengan tawaran ini, tetapi saya hanya sedang mempertimbangkan keputusan. Saya tidak mau salah langkah dan merugikan kita berdua. Lalu, bagaimana jika istri atau kekasih anda tahu perjanjian kita?”“Aku single,” jawab lelaki itu.Nada Tuan Gin terdengar serius, tidak seperti pria nakal kebanyakan yang merayu wanita-wanita penghibur untuk menjadi simpanannya. Namun, bagi Yura kata ‘single’ itu bisa diartikan banyak maksud. Bisa saja sudah menikah lalu berpisah, atau mungkin saja belum beristri tetapi memiliki banyak koleksi perempuan. Atau memang tidak keduanya.Entahlah, bukan kapasitasnya untuk bertanya ranah pribadi Tuan Gin. Akan tetapi bila memang benar-benar single dalam artian tidak memiliki dan belum pernah memiliki pasangan, maka tidak ada hal yang ia takutkan dari sisi lelaki itu. Sekarang, hanya tinggal keputusan Yura."Saya .... Bolehkah saya meminta waktu, Tuan? Saya meminta waktu setidaknya satu hari untuk berpikir."Tuan Gin tidak segera menjawab. Suara langkah yang menjauh dari tubuhnya membuat Yura bisa menerka bila lelaki itu turut berdiri di hadapannya. Mengandalkan indera penciuman untuk mencari tahu keberadaan pria yang tak ia ketahui identitas juga wajahnya itu.“Besuk sore batas waktumu. Jika kau setuju hubungi aku!”Lagi-lagi Yura menganggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian ia mendengar sebuah pintu terbuka lalu tak lama berselang bel dalam ruangan itu berbunyi menandakan Tuan Gin telah pergi.Yura segera membuka kain penutup, lalu menghela napas lega sebab setelah sekian lama bergulat dengan gelap, akhirnya bisa kembali memasok cahaya pada retinanya. Detik berikutnya, wanita itu mengambil sebuah kertas yang sengaja ditinggalkan di atas nakas.Tidak masalah dengan nomor yang dituliskan, hanya saja barisan huruf yang ditulis tangan itu, terasa tak asing baginya...."Apakah aku mengenal Tuan Gin?" batinnya bingung.Sayangnya, Yura tak menemukan jawaban.Jadi, pagi-pagi buta, wanita itu bergegas menuju rumah sakit untuk menjernihkan pikiran. Dia juga ingin meminta keringanan dan tambahan waktu kepada pihak rumah sakit. Tawaran yang diberikan Tuan Gin dijadikan pilihan terakhir tatkala benar-benar tak punya kesempatan. Yura masih ingin mengusahakan membayar semua biaya sang suami dengan cara yang halal. “Mana uang yang kau dapatkan semalam? Kita harus segera membayarnya di kasir!” Deg!Katrina ternyata ada di ruangan sang suami. Mertuanya itu kini menyodorkan telapak tangan, menanti sang menantu memberikan segepok uang atau mungkin selembar cek bertuliskan angka empat ratus juta. Hal ini jelas membuat Yura menunduk. Katrina lantas mendecakkan bibirnya. “Malah menunduk! Cepat mana uangnya, Yura!” tuntutnya kembali dengan tangan yang masih terbuka dihadapannya. Sayang, nada keras itu hanya dihadiahi bungkaman bibir oleh menantunya. Kesabarannya mulai terkoyak hingga semakin naik pitam.“Jan
16A02 Sudah tiga kali Yura mencocokkan nomor yang tergantung pada papan pintu berwarna hitam itu dengan pesan text yang dikirimkan pada ponselnya. Tidak ada yang salah, semua angka dan hurufnya sama. Hanya saja, wanita itu tak memungkiri bahwa apartemen ini terlalu mewah untuknya. Mimpi apa ia sampai bisa menginjakkan kaki ke tempat ini? Sungguh, ia merasa bagai rakyat kecil yang sedang menginjak istana raja. Lagi-lagi ini membuktikan bahwa Tuan Gin bukanlah orang biasa sepertinya. “Dengan Ibu Yura?”Wanita berambut sebahu itu spontan membalikkan badan dan menemukan Seorang pria berstelan jas hitam tengah berdiri di hadapannya dengan sebuah senyum yang tersimpul tajam. Tangan kanannya membawa sebuah map kain berwarna hitam dengan bendelan kertas di atasnya. Seolah menyadari kebingungan Yura, pria itu mengulur tangan untuk dijabat. “Saya Arkatama, pengacara Tuan Gin,” ujarnya membuat Yura lantas menganggukkan kepala kemudian menjabat tangan pria itu. “Tuan Gin mengutus say
Drrt!Nada ponsel menyadarkan Yura yang baru saja mandi dari lamunan. Ternyata itu telepon dari Ibu mertuanya.Namun baru saja panggilan itu tersambung, wanita tua itu langsung berteriak, [Ini sudah hampir petang! Mana uangnya kenapa juga tak kau berikan padaku?] “Masalah uang sudah diurus Tuan Gin dan langsung dibayarkan ke rumah sakit,” jawab Yura sesuai dengan isi perjanjian kontraknya dengan Tuan Gin yang menyebutkan pembayaran sesuai dengan tagihan dan melalui rekening rumah sakit.["Apa? Mereka yang membayar?"] Katrina berdecak kesal. ["Kau ini bagaimana? Kenapa bukan kau saja yang memegang uangnya dan menyerahkan padaku? Jika mereka tak membayar pada rumah sakit, kau harus bertanggung jawab!"] "Tapi kesepakatanya dalam kontraknya begitu, Bu, uangnya akan langsung masuk ke rekening rumah sakit setiap bulan dan rumah sakit akan menagihnya kepada Tuan Gin. Jadi, aku tidak memegang uang sama sekali dan kita tidak perlu memikirkan biaya lagi. Mungkin ibu bisa bertanya ke bagian a
"Ahh .... Gin!” Entah bagaimana ciuman tadi memanas. Sentuhan keduanya juga semakin liar, hingga erangan mulai bersahutan menggema ke seluruh ruangan. "Shit! Kau begitu sempit!” umpat pria itu sembari terus bergerak di atas Yura.Hal ini membuat Yira memeluk erat Gin. Jemarinya bahkan mencengkram punggung kekar itu sekuat tenaga kala merasakan gelombang kenikmatan bertubi-tubi. Namun, Tuan Gin tak menegurnya. Pria itu malah mengungkung tubuh di bawahnya begitu rapat, hingga akhirnya bergabung dengan pelepasan yang lebih dulu dilakukan oleh Yura. Deru napas terengah-engah menjadi satu-satunya irama yang terdengar selain detak jam yang tergantung pada dinding. Dua insan yang terikat perjanjian itu saling mendekap, sembari fokus mengatur napas tak beraturan, menyurut keringat yang bercucuran. “Kau tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik dari ini,” bisik lelaki itu dengan suara berat. Dada bidangnya terasa lebih dekat. Daging kenyal dan dingin itu menempel sesaat pada b
“Maaf, Bu Yura, tetapi ibu sudah terlambat lebih dari tiga kali, ibu harus meminta izin kepada personalia agar saya bisa mempersilakan ibu masuk. Silakan melapor dahulu, bila sudah berikan kepada saya keterangannya.” Yura menghela napas kasar mendengar ucapan satpam kantornya. Dia akui, setelah malam bersama Gin dan overthinking, dirinya telat bangun. “Tapi, Pak. Ini masih kurang lima menit dan saya seharusnya masih bisa masuk ke kantor!” “Saya juga sudah menghubungi mereka, tapi tidak direspon, Pak. Sementara pagi ini saya harus meeting dengan manajer dan saya harus menyiapkan materi meetingnya. Tolong, bantu saya sekali saja," mohonnya lagi.“Tidak bisa, Bu, jika saya mengijinkan ibu masuk, maka saya yang akan kena marah. Silakan melapor dahulu dan saya bukakan gerbangnya.” Alih-alih hatinya luluh, kepala satpam itu tetap teguh dengan pendiriannya. Yura lantas kembali menghubungi rekan satu divisinya, juga orang-orang bagian personalia. Sayang, semua nomor yang ia hubungi tid
“Tapi, dia sering terlambat, Pak.” Yura yang baru tiba di ruangan kebesaran Arya tak sengaja mendengar percakapan kedua atasannya. Meski tak tahu detailnya, Yura yakin bahwa itu pasti berkaitan dengan dirinya. Cemas, resah, gelisah, semuanya kini bercampur menjadi satu! Tidak biasanya ia dipanggil ke ruang sang Presdir. Apakah yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah ia akan dipecat seperti sekretaris sebelumnya? “Sesuai dengan data, Yura empat kali terlambat di jam yang sama, dua diantaranya lebih dari pukul delapan, dan dua kali ijin setengah hari. Menurut saya, ini bisa mempengaruhi kinerja rekan dan divisi yang lain.” Yura menunduk ketika sang manajer personalia terang-terangan mengadu kepada pimpinan utama mereka. Memangnya ia bisa berkata apa? Semua data yang disajikan benar adanya. “Hari ini saya juga mendapatkan laporan, Saudara Yura terlambat lagi. Ini sudah kesekian kalinya saya menegur, Pak. Tetapi tidak diindahkan,” sambung manajer itu lagi. Yura tidak menyan
Yura memijit kepalanya pening. Tadi, dia akhirnya memilih untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai sekretaris Tuan Arya. Hanya saja, ada masalah baru yang dia hadapi. Ini pertama kalinya Yura absen ke rumah sakit sejak Rama dirawat. Pihak rumah sakit juga tidak memberi kabar apapun.[Ada apa?]Yura tersentak. Panggilannya dan ibu mertuanya akhirnya terhubung setelah puluhan kali ditolak. “Bagaimana dengan kabar Mas Rama, Bu? Apa sudah ada perkembangan?” [“Masih stabil,”] ujar Katrina dingin.Meski bukan jawaban seperti ini yang Yura inginkan, tetapi dua kata itu sudah cukup membuat rasa khawatir dalam benaknya berkurang. “Syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Ibu bagaimana? Ibu juga baik, kan?”Saat itu juga dari sebrang sana Katrina menghempas dengus kasar. Wanita paruh baya itu lantas menjawab dengan nada ketus. [“Masih bertanya? Aku berjaga sendirian dan melakukan semuanya tanpa teman, menurutmu aku baik?”] Yura diam beberapa saat, sudah menduga jika Katrina akan
"Sshh!"Yura meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Wanita itu meringkuk di pinggir ranjang dengan kedua tangan gemetaran. Sekujur tubuhnya nyeri bagai terlempar dari ketinggian. Remuk redam akibat tamparan keras yang sampai saat ini masih terasa panas. Entah sudah berapa lama ia menangis. Kain hitam yang membelit kepala telah basah, terguyur derasnya air mata, tetapi wanita itu belum berani melepasnya. Tidak ingin melakukan kesalahan. Yura tidak mendengar bunyi bel dan kemungkinan besar Tuan Gin belum meninggalkan apartemen. Setelah melampiaskan amarah, Gin langsung beranjak meninggalkan kamar, membiarkan Yura menangis sendirian. "Pria tak punya perasaan!" Kalimat itu terucap dalam hati. Ingin marah tetapi tidak bisa. Hendak membalas semua perbuatannya tetapi ia sadar, dia tak bisa melakukannya. Pada akhirnya hanya berujung menyumpahi diri sendiri. "Bodoh!""Apakah semua pria sebrengsek ini? Bertindak sesuka hati, tidak punya empati!"Sebelumnya, tidak pernah membayangkan
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth