“Apa ibu melakukan aktivitas berat beberapa hari terakhir?”Yura mengerutkan dahi ketika seorang dokter perempuan sedang mengoleskan sebuah gel bening ke permukaan perutnya. Sensasi dingin dan suhu ruangan rendah berkombinasi membuatnya terasa menggigil di bagian itu. Detik berikutnya sebuah alat medis ditempelkan pada kulitnya yang lembab. Yura lantas menggeleng menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.“Tidak, Dok, aktivitas saya normal saja.” Rasanya juga demikian. Yura tidak mengerjakan hal berat sama sekali. Gin selalu melarangnya melakukan pekerjaan rumah. Saat pindahan kemarin Yura hanya bertopang dagu saja. Sisanya, Arkatama dan Gin yang mengurus semuanya. Mendengar jawaban Yura, dokter spesialis obgyn itu hanya mengangguk lalu segera menganalisa seraya menjelaskan apa saja yang ada pada layar monitor. Janin sudah terlihat. Rangka tubuhnya sudah mulai mengeras. Ada kaki dan tangan yang sudah terbentuk. Jadi, dua kaki mungil itu yang memberikan rasa-rasa aneh dalam per
“Terima kasih sudah mengantar pulang. Mau makan malam dengan apa? Biar aku buatkan.” Mobil yang dikemudikan Gin sudah berhenti tepat di depan halaman rumah mereka. Sebelum turun, Yura menoleh ke arah sang suami yang berada di kursi kemudi. Hanya sekadar memastikan keinginannya saja ingin menutup hari dengan makanan apa. Hari ini Gin menepati janjinya untuk menjemput di rumah sakit saat jam istirahat. Mereka juga menghabiskan sisa waktu yang ada untuk makan siang di sebuah restoran masakan Jepang. Maka, kemungkinan lelaki itu juga akan pulang seperti yang ia katakan. Gin berdeham. Lalu berpikir sejenak seraya menggumam. “Apa, ya? Menurutmu aku harus makan malam dengan apa?” tanyanya kepada sang istri. Wanita itu masih berada di posisinya menatap Gin dengan tatapan sendu. Tidak ada yang tahu makna apa dibalik tatapan tersebut. Bahkan mungkin dirinya sendiri tidak menyadarinya. “Aku beli galantin kemarin. Mau makan steak galantin? Um, tunggu, orang lain sering menyebutnya selat so
Sebuah piring besar berisi potongan galantin, sebuah piring lain berukuran senada berisi sayuran pelengkap yang direbus, dan satu mangkuk sedang berisi saus berwarna cokelat telah tersaji dengan rapi di atas meja.Yura sudah mempersiapkan makan malam ini dengan sebuah harapan Gin akan pulang dan menyantap hidangan itu bersamanya. Meski ia tidak tahu jam berapa lelaki tersebut akan tiba di rumah.[Gin, kau pulang jam berapa?] Dia mengirim pesan dan terkirim. Akan tetapi, sepertinya Gin terlalu sibuk seharian ini. Pesan yang ia kirimkan tadi siang saja belum terbaca sama sekali.Detik berikutnya ia beralih ke nomor Arkatama untuk mengirimkan pesan yang sama. [Pak Arka, apakah Tuan Gin belum selesai bekerja?] Wanita itu kemudian melirik ke arah jam dinding yang tergantung di ruang tengah, sejajar dengan posisinya saat ini. Sudah hampir pukul delapan malam. Seraya menghempas napas panjang, Yura mengusap perutnya. Wanita itu kemudian menunduk. "Ibu tidak tahu kapan ayah pulang, tapi ki
"Ibu sudah tidur, Tuan."Seorang perempuan paruh baya yang kerap di sapa 'Bibi' keluar dari sebuah kamar. Wanita berpakaian seragam pelayan itu menundukkan kepala saat Gin menindasnya dengan tatapan tajam. Dari celah pintu Gin melihat sang ibu terbujur lemah di atas ranjang. Ada selang oksigen yang pasangkan pada dua lubang hidungnya.Gin baru saja tiba di rumah utama. Saat perjalanan ke rumah sakit ia mendapatkan kabar bahwa sang ibu telah dibawa pulang sehingga mau tidak mau ia harus memutar arah dan pergi ke rumah ini. Ada Yurika di sana, tetapi hanya diam mengamati dan menerka apa yang akan terjadi. "Bisa jelaskan semuanya, Bi? Ibu tidak mungkin sesak napas jika tidak ada kabar yang mengejutkannya. Kabar buruk apa yang didengar ibu malam ini?" "Arya!" peringat Rika seraya menahan lengan Gin yang mulai mengeras."Maaf, Tuan. Saya sendiri tidak tahu Ibu terkejut karena hal apa. Saya habis mencuci alat masak untuk makan malam, tiba-tiba saya mendengar ibu meminta tolong dan sudah
Sejak malam itu, senyum Yura rasanya tidak lagi sama. Ia sedang mencoba bersikap biasa saja meski hatinya masih kecewa. Gin paham itu. Namun, apa yang harus ia lakukan jika setiap kali membuka pembicaraan dan meminta maaf, wanita itu selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja? Seperti pagi ini, Gin sudah berusaha mengajaknya berdialog, akan tetapi Yura tetap mengatakan bahwa dirinya tidak marah dan sudah memaafkan Gin. Asal benar begitu adanya maka tak apa, sayangnya yang menjadi masalah adalah wanita itu tidak kembali ceria seperti biasanya. Ketika sarapan Yura selalu melayaninya, menawarkan dan mengambilkan menu yang Gin minta. Kali ini tidak demikian. Yura hanya menyiapkan sepiring nasi dan membiarkan Gin memilih sendiri makanan yang dimau. Bekal makan siang pun hanya diletakkan di atas meja makan. Istrinya itu lebih memilih sibuk di ruang cuci pakaian—padahal biasanya mencuci adalah pekerjaan yang tidak mendesak. Bahkan sampai dirinya berpamitan kerja pun Yura masih terpaksa
“Pak Arya, kita perlu bicara.” Seorang wanita muda keluar dari sebuah kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Dokter Arum, spesialis yang menangani penyakit ibunya. Wanita itu lantas berjalan menghampiri Gin yang tengah menyandarkan punggungnya pada sebuah dinding. Lelaki itu membuang napas dengan bibirnya bersamaan dengan jarinya yang mengutak-atik layar ponsel, entah apa sebabnya. Saat dokter tersebut sudah hampir tiba di hadapannya, Gin segera menghentikan aktivitas dan menyimpan ponsel. “Sudah selesai?” Dokter Arum menganggukkan kepala, dua netranya menatap lelaki itu dengan lekat, kemudian memberikan kode kepada Gin mereka harus membiarakan masalah ini empat mata dan jauh dari kamar ibunya. Gin yang paham dengan tatapan itu lantas membuat jarak dengan sandarannya selanjutnya berjalan ke arah sebuah ruangan di lantai bawah. “Jadi, apa yang terjadi dengan ibu?” tanya lelaki itu setelah mereka sama-sama mendaratkan tubuh di sofa berbahan kulit lembu itu. Dokter Arum menghela
Usai menikah, Yura berpikir hidupnya akan indah, seperti pasangan suami istri yang sewajarnya. Setelah mereka meresmikan hubungan ia pikir hidupnya akan penuh cinta, seperti yang pernah dijanjikan kepadanya. Namun, apakah ekspektasinya terlalu tinggi? Empat hari ini komunikasinya dengan Gin berantakan. Lelaki itu pulang saat Yura sudah lelap dan pergi sebelum Yura selesai menyajikan sarapan. Mereka saling bertukar geming. Percakapan mereka hanya seputar air panas untuk mandi, dasi yang tak ditemukan, dan kata pamit untuk bekerja di pagi hari. Ingin mencoba mengerti dan memahami keadaan suaminya yang mungkin sedang serius menangani suatu hal berat. Akan tetapi, apakah tidak bisa menyisihkan waktu sedikit saja untuknya? Mungkinkah lelaki itu lupa bahwa ada seseorang yang menunggunya setiap malam? Ada seseorang yang menunggu kepulangannya, selalu.Sampai saat ini, ia sendiri tidak tahu yang perasaan yang sedang bermukim di dadanya ini adalah kecewa, ataukah hanya rindu belaka. Atau jus
Pintu kamar utama sudah tertutup rapat. Usai percakapan mereka di kolam ikan tadi, Yura telah menyiapkan setelan pakaian di ruang setrika lengkap dengan baju kerja yang akan dikenakan Gin esok hari. “Yura?”Gin —yang baru saja mandi—lantas mencoba mengetuk pintu tetapi tidak ada respon. Detik berikutnya ia mencoba menekan gagang metal dan mendorong papan berbahan kayu jati itu. Ia pikir akan terkunci, akan tetapi pintu itu terbuka lebar dengan mudahnya. Hal itu membuat Gin mengerutkan dahi, apa maksudnya? Yura mengatakan bahwa ia tak ingin tidur sekamar dengannya malam ini tetapi mengapa kamar mereka tidak dikunci? Saat melihat ke arah ranjang, dua netranya menangkap tubuh seorang perempuan sedang meringkuk nyaman. Posisinya memunggungi pintu dan tak bergerak sedikit pun. Daru kejauhan ia melihat pergerakan tubuh wanita itu dengan teratur. Sepertinya sudah lelap.Setelah berulang kali membuang napas panjang dan mengumpulkan niat, pada akhirnya Gin melangkah dan menghampiri ranjang.