Kantuk sudah menguasai Yura, menenggelamkannya ke dalam alam bawah sadar. Entah sudah berapa lama ia menyelami alam mimpi. Wanita itu sendiri tidak tahu kapan tepatnya tertidur pulas. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah mengirim pesan kepada sang suami, kemudian melemparkan gawainya ke sisi ranjang dengan sembarang, setelahnya berusaha melelapkan diri dengan perasaan dongkol. Saat bergerak, punggungnya membentur sesuatu yang terasa keras. Beberapa detik kemudian ia sadar jika ada beban di atas perutnya, juga embusan napas teratur yang menerpa tengkuknya. Wanita itu lalu melebarkan mata dan menoleh ke arah samping. Gin sedang tidur, memeluknya. Kamar ini remang, tetapi dengan jelas, Yura melihat gurat lelah di wajah suaminya. Dengkuran yang tak terlalu keras sudah cukup menandakan bahwa lelaki itu kurang istirahat. Kapan pria itu pulang? Dan, sebenarnya apa yang dia kerjakan sampai larut seperti itu?Yura lalu melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi leb
"Apa yang harus aku dengar? Alasan? Pembelaan? Atau kebohongan lagi?"Yura meletakkan satu liter susu segar yang baru dia keluarkan dari dalam kulkas dengan cukup keras. Kaca yang terbentur dengan lempengan marmer itu belum mengutarakan rasa kesalnya kepada sang suami. Sejak awal ia sudah mengatakan tidak menyukai ketidakjujuran. Sekarang, Gin mengulanginya lagi.Tatapan wanita itu masih memburu manik hitam milik Gin, mencari sebuah kebenaran. Yura hanya mendapati sebuah ketakutan dan ruang kelam di sana. Mungkin masalah pagi ini hanya hal kecil yang sebenarnya tidak perlu diributkan atau dibuat panjang. Yura memang terkesan melebih-lebihkan. Akan tetapi, bukankah kebohongan besar berawal dari kebohongan kecil? Apa susahnya untuk jujur? Sekalipun mungkin kejujuran itu akan melukai hatinya, itu lebih ia maklumi daripada harus menutup-nutupi. Sementara Gin yang ditatap sedemikian rupa menegang. Inikah sisi lain Yura yang tak ia ketahui?"Tenang dulu. Duduk, dan biarkan aku bicara, ki
“Hari ini aku mau ke rumah sakit, ada jadwal pemeriksaan dengan dokter obgyn, apa kau bisa antar?”Yura meletakkan gelas tinggi yang berisi air di samping piring sarapan suaminya. Selanjutnya, ia melipat tangan seraya memperhatikan ekspresi wajah Gin, menunggu jawaban darinya. Pria itu sedang berkutat ponsel. Entah apa yang sedang dikerjakan, sejak duduk di kursi meja makan, tampaknya benda pipih itu lebih menarik ketimbang sepiring nasi goreng udang yang Yura sajikan.Cukup lama Yura menghitung detik. Akan tetapi tidak ada respon sama sekali, suaminya itu sepertinya juga tidak mendengar apa yang ia katakan tadi. Sampai akhirnya, ia melirik jam dinding dan memberanikan diri untuk menepuk lengan Gin. “Sudah hampir jam tujuh,” katanya membuat Gin terkesiap. Berikutnya, barulah lelaki itu meletakkan ponsel dan memandang sarapannya. Yura membuang napas panjang, bahkan Gin tidak bertanya apa yang ia ucapkan beberapa saat yang lalu, itu artinya lelaki itu memang tidak memperhatikan sama se
“Apa ibu melakukan aktivitas berat beberapa hari terakhir?”Yura mengerutkan dahi ketika seorang dokter perempuan sedang mengoleskan sebuah gel bening ke permukaan perutnya. Sensasi dingin dan suhu ruangan rendah berkombinasi membuatnya terasa menggigil di bagian itu. Detik berikutnya sebuah alat medis ditempelkan pada kulitnya yang lembab. Yura lantas menggeleng menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.“Tidak, Dok, aktivitas saya normal saja.” Rasanya juga demikian. Yura tidak mengerjakan hal berat sama sekali. Gin selalu melarangnya melakukan pekerjaan rumah. Saat pindahan kemarin Yura hanya bertopang dagu saja. Sisanya, Arkatama dan Gin yang mengurus semuanya. Mendengar jawaban Yura, dokter spesialis obgyn itu hanya mengangguk lalu segera menganalisa seraya menjelaskan apa saja yang ada pada layar monitor. Janin sudah terlihat. Rangka tubuhnya sudah mulai mengeras. Ada kaki dan tangan yang sudah terbentuk. Jadi, dua kaki mungil itu yang memberikan rasa-rasa aneh dalam per
“Terima kasih sudah mengantar pulang. Mau makan malam dengan apa? Biar aku buatkan.” Mobil yang dikemudikan Gin sudah berhenti tepat di depan halaman rumah mereka. Sebelum turun, Yura menoleh ke arah sang suami yang berada di kursi kemudi. Hanya sekadar memastikan keinginannya saja ingin menutup hari dengan makanan apa. Hari ini Gin menepati janjinya untuk menjemput di rumah sakit saat jam istirahat. Mereka juga menghabiskan sisa waktu yang ada untuk makan siang di sebuah restoran masakan Jepang. Maka, kemungkinan lelaki itu juga akan pulang seperti yang ia katakan. Gin berdeham. Lalu berpikir sejenak seraya menggumam. “Apa, ya? Menurutmu aku harus makan malam dengan apa?” tanyanya kepada sang istri. Wanita itu masih berada di posisinya menatap Gin dengan tatapan sendu. Tidak ada yang tahu makna apa dibalik tatapan tersebut. Bahkan mungkin dirinya sendiri tidak menyadarinya. “Aku beli galantin kemarin. Mau makan steak galantin? Um, tunggu, orang lain sering menyebutnya selat so
Sebuah piring besar berisi potongan galantin, sebuah piring lain berukuran senada berisi sayuran pelengkap yang direbus, dan satu mangkuk sedang berisi saus berwarna cokelat telah tersaji dengan rapi di atas meja.Yura sudah mempersiapkan makan malam ini dengan sebuah harapan Gin akan pulang dan menyantap hidangan itu bersamanya. Meski ia tidak tahu jam berapa lelaki tersebut akan tiba di rumah.[Gin, kau pulang jam berapa?] Dia mengirim pesan dan terkirim. Akan tetapi, sepertinya Gin terlalu sibuk seharian ini. Pesan yang ia kirimkan tadi siang saja belum terbaca sama sekali.Detik berikutnya ia beralih ke nomor Arkatama untuk mengirimkan pesan yang sama. [Pak Arka, apakah Tuan Gin belum selesai bekerja?] Wanita itu kemudian melirik ke arah jam dinding yang tergantung di ruang tengah, sejajar dengan posisinya saat ini. Sudah hampir pukul delapan malam. Seraya menghempas napas panjang, Yura mengusap perutnya. Wanita itu kemudian menunduk. "Ibu tidak tahu kapan ayah pulang, tapi ki
"Ibu sudah tidur, Tuan."Seorang perempuan paruh baya yang kerap di sapa 'Bibi' keluar dari sebuah kamar. Wanita berpakaian seragam pelayan itu menundukkan kepala saat Gin menindasnya dengan tatapan tajam. Dari celah pintu Gin melihat sang ibu terbujur lemah di atas ranjang. Ada selang oksigen yang pasangkan pada dua lubang hidungnya.Gin baru saja tiba di rumah utama. Saat perjalanan ke rumah sakit ia mendapatkan kabar bahwa sang ibu telah dibawa pulang sehingga mau tidak mau ia harus memutar arah dan pergi ke rumah ini. Ada Yurika di sana, tetapi hanya diam mengamati dan menerka apa yang akan terjadi. "Bisa jelaskan semuanya, Bi? Ibu tidak mungkin sesak napas jika tidak ada kabar yang mengejutkannya. Kabar buruk apa yang didengar ibu malam ini?" "Arya!" peringat Rika seraya menahan lengan Gin yang mulai mengeras."Maaf, Tuan. Saya sendiri tidak tahu Ibu terkejut karena hal apa. Saya habis mencuci alat masak untuk makan malam, tiba-tiba saya mendengar ibu meminta tolong dan sudah
Sejak malam itu, senyum Yura rasanya tidak lagi sama. Ia sedang mencoba bersikap biasa saja meski hatinya masih kecewa. Gin paham itu. Namun, apa yang harus ia lakukan jika setiap kali membuka pembicaraan dan meminta maaf, wanita itu selalu mengatakan jika dirinya baik-baik saja? Seperti pagi ini, Gin sudah berusaha mengajaknya berdialog, akan tetapi Yura tetap mengatakan bahwa dirinya tidak marah dan sudah memaafkan Gin. Asal benar begitu adanya maka tak apa, sayangnya yang menjadi masalah adalah wanita itu tidak kembali ceria seperti biasanya. Ketika sarapan Yura selalu melayaninya, menawarkan dan mengambilkan menu yang Gin minta. Kali ini tidak demikian. Yura hanya menyiapkan sepiring nasi dan membiarkan Gin memilih sendiri makanan yang dimau. Bekal makan siang pun hanya diletakkan di atas meja makan. Istrinya itu lebih memilih sibuk di ruang cuci pakaian—padahal biasanya mencuci adalah pekerjaan yang tidak mendesak. Bahkan sampai dirinya berpamitan kerja pun Yura masih terpaksa
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth