Suara mesin blender yang lamat terdengar membuat Gin terpaksa membuka mata. Sejenak mengerjap-ngerjapkan kelopak yang terasa berat. Kantuk masih menyerangnya sebab baru tidur beberapa jam saja. Beberapa hari setelah pernikahan Gin dan Yura tidak menghabiskan waktu di Bali. Mereka justru pulang dan menggunakan waktu mereka untuk memindahkan barang-barang dari apartemen ke rumah baru. Dan, semalam, tak perlu ditanya apa yang pria itu lakukan hingga tidur di waktu subuh. Tentu saja melampiaskan sebuah hasrat yang selama berbulan-bulan ini ia tahan. Entahlah, bukannya jenuh atau bosan, Gin justru selalu menemukan rasa baru setiap melakukannya hingga membuat lelaki itu candu. Juga Yura yang lebih berani mengekspresikan diri membuatnya semakin ingin dan ingin.Gin menoleh ke arah samping dan menyadari bahwa istrinya sudah tidak ada di ranjang ini. Saat itu juga Gin menyadari bahwa hari sudah pagi. Pria itu lantas menyambar ponsel yang di atas nakas untuk memeriksa waktu. Dan benar saja, su
Yura tak dapat menyembunyikan kepanikannya saat ini. Dahinya dipenuhi oleh keringat dingin dan bayangan mengerikan mengenai peristiwa buruk—meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi—terus menghantui kepalanya. Sepanjang perjalanan perasaannya tak dapat tenang. Ia hanya ingin segera bertemu dengan sahabatnya dan melayangkan ribuan pertanyaan yang tak sempat dia sampaikan saat panggilan tadi.Ketika tiba di rumah sakit, wanita itu langsung menuju unit gawat darurat. Kakinya setengah berlari, seolah tidak menyadari bahwa sedang membawa sebuah nyawa dalam perutnya. Tentu saja itu membuat Gin was-was. Pria itu berjalan di belakangnya, berusaha mengimbangi sambil memastikan istrinya berjalan dengan baik dan tidak kehilangan keseimbangan.Dalam jarak empat meter dari pintu masuk, Yura telah menemukan Erna berdiri seraya mendekatkan ponsel di telinganya, seperti sedang berusaha menghubungi seseorang. Namun, saat menyadari bahwa Yura telah berada di rumah sakit, wanita itu segera menjauhkan p
“Kenapa makanannya hanya diaduk seperti itu? Kalau tidak mau makan untuk apa dipesan?” Gin menatap lurus ke arah istrinya. Bukan tanpa sebab ia menegur. Lelaki itu sudah memperhatikan cukup lama. Sejak menu pesanan mereka disajikan di meja, Yura hanya mengaduk-aduk kuah bakso tanpa berniat menyantapnya. Perubahan raut wajah juga sudah ia sadari sejak Gin mengambil keputusan untuk mengeluarkan kartu debitnya dan melunasi semua biaya keperluan Katrina, mantan mertua Yura. Sejak saat itu, wanitanya ini lebih banyak diam.Pria berkaos hitam itu mengerti jika Yura tidak bisa menerimanya. Perbuatan Katrina terlalu jahat di masa lalu, rasanya tak perlu dibalas sedemikian baiknya. Pun sebenarnya Gin sendiri pernah dimanfaatkan. Namun, apakah membantu itu salah? Toh uang yang dikeluarkan oleh Gin sepadan dengan uang belanja Yura yang ia berikan setiap bulan. Entah apa yang membuat wanita itu berbeda. Hormon, kah? Bawaan bayi, kah? Atau memang Yura berubah karena sudah terlalu banyak menerima
["Kau sedang ada dimana, Gin? Kenapa terdengar riuh sekali?"] Gin menarik napas dalam-dalam saat mendengar pertanyaan sang ibu dari panggilan yang baru saja tersambung. Haruskah ia jujur sedang berada di rumah sakit? "Aku sedang di luar, Bu, bertemu dengan beberapa teman lama, ada apa?" tanyanya seraya beralih ke tempat yang lebih lengang. Lelaki itu memilih untuk keluar dari kafe tetapi masih bisa mengamati Yura dari balik pintu kaca. Pada akhirnya, berbohong adalah pilihan lelaki itu. Mungkin, jika ada malaikat yang sedang mencatat setiap dosanya, membohongi ibu adalah kesalahan yang paling banyak ia lakukan selama bertahun-tahun.["Apa sekarang kau bisa datang? Badanku rasanya tidak enak dan ... aku tidak punya teman. Bibi sedang pulang ke kampung halaman tiga hari. Tersisa aku dan beberapa satpam saja."]Gin menutup mata. Sebuah gulungan perih menyelinap masuk dalam rongga dadanya. Dia baru saja menyadari bahwa telah meninggalkan Sarah begitu lama. Sejak tinggal bersama Yura, i
“Bagaimana perutmu? Apakah masih mual?”Gin meletakkan tas kerjanya di atas kursi kosong—sebelum mendaratkan tubuhnya— berikut dengan ponsel pintar yang dipegangnya. Pria itu baru saja selesai bersiap untuk pergi bekerja. Sementara wanita yang ia ajak bicara sedang menyibukkan diri di depan penggorengan.Yura lantas menoleh sekilas ke arah Gin, kini pria itu sedang mengenakan jam tangannya. Bibir mungil wanita itu menguntai senyum saat melihat sang suami nampak gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam kebanggaannya. Juga dasi merah tak bermotif yang ia belikan beberapa waktu yang lalu.“Kalau aku tidak baik-baik saja tentu aku tidak akan berada di dapur ini,” jawab Yura seraya berjalan ke arah meja makan. Berikut menyajikan sepiring avocado toast dengan telur setengah matang di atasnya—menu sarapan favorit Gin. “Syukurlah kalau kau sudah membaik. Lalu, apa rencanamu hari ini? Mau pergi jalan-jalan?” Pria itu mengambil alat makannya dan mulai memotong roti. “Aku sedang malas p
Pukul dua belas siang, Yura telah sampai di rumah sakit. Sepertinya janjinya kepada Sherina tadi, ia menunggu di cafe. Yura memilih tempat yang sama saat ia makan bersama suaminya kemarin. Hanya saja, yang berbeda kali ini adalah menu yang ia pesan. Segelas lychee tea, sepiring kentang goreng sebagai camilan, dan satu porsi steak ayam sebagai menu makan beratnya. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin makan masakan italia itu meski ia tahu berbumbu lokal indonesia. Mungkinkah anak dalam perutnya itu juga menginginkan hal yang sama?Sampai saat ini Yura tidak tahu bedanya mengidam dan bukan. Pun ia jarang menginginkan sesuatu. Jika beberapa teman—termasuk Erna—pernah bercerita pengalaman mereka tentang ngidam, ia merasa tak ada kesamaan sama sekali. Mereka bilang biasanya ingin makan yang asam-asam, pedas, dan asin. Lalu ingin selalu manja dengan suami, disayang dipeluk, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, sejauh ini, Yura belum sampai di tahap tersebut. Ya, positif thingking saja belum.
Di ambang pintu berbahan kayu jati Gin menghentikan langkah. Dua tangan di saku celana kini keluar dari persembunyiannya seiring dengan helaan napas yang meluncur bebas. Dulu, pintu utama ini menjadi tempat favorit untuk mengambil foto keluarga. Ayah, ibu, adik, dan dirinya sendiri, terkadang bersama opa dan omanya. Namun, sekarang bagai tempat terbengkalai yang tak pernah di sambangi. Perlahan, satu demi satu di antara mereka pergi, meninggalkan kenangan.Rumah ini besar, tetapi tak ada artinya. Rumah ini masih sangat kokoh. Bila dijual mencapai harga setengah triliun. Setiap fasad bangunannya dirancang tahan gempa dan digarap oleh puluhan arsitek berpengalaman. Sayang, percuma karena tak banyak penghuni. Hanya ibunya seorang diri yang masih setia berada di tempat ini, juga beberapa orang yang membantunya.Terkadang, ia merindukan kebersamaan itu. Jika bisa memutar waktu, Gin ingin kembali ke masa lalu. Saat semuanya masih bersama, saat semuanya masih baik-baik saja. Namun, itu h
“Gin? Kenapa diam saja?”Sarah menepuk pundak putranya yang kini mendadak pucat pasi. Wanita itu menatap dalam manik hitam milik Gin lekat-lekat. Sementara Gin masih mencoba mencari kalimat yang tepat untuk menjawab semua rentetan pertanyaan yang ditodongkan padanya.Apa yang harus ia katakan sekarang? Apakah ia harus jujur dengan sang ibu jika sekarang ia telah menikah dengan seorang wanita pilihannya? Belum! Gin Belum bisa jujur akan hal itu saat ini. Ia belum siap dengan kehancuran yang akan terjadi lebih parah dari sebelumnya.“Son?” Sarah bicara kembali. Wanita renta itu masih belum melepaskan pandangannya dari sang putra. Sebisa mungkin ia mengamati perubahan pada ekspresi wajah datanya “Apa ada yang kau tutupi dariku? Kenapa kau tidak jawab pertanyaan ibu?”Mendengar tuntutan itu, Gin segera menegakkan badan dan menyunggingkan sebuah senyum. Diraihnya tangan sang ibu dan digenggamnya lagi. “Tidak, ibu jangan menduga yang tidak-tidak. Oke, Gin jelaskan biar ibu tidak curiga teru