"Selamat, ya!"Dua kata yang mampu mengangkat sudut bibir Yura ke atas sejak ia selesai mengucapkan sebuah janji di depan pastur dan saksi yang hadir. Hari ini, pada sebuah villa di Bali telah digelar sebuah pernikahan kecil untuknya.Akhirnya, semua keinginannya sudah terlaksana. Kini hubungannya dengan sudah sah secara agama dan negara. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Tidak ada lagi ketakutan untuk menunjukkan kehamilan ini.Acara pernikahannya dengan Gin sudah selesai sejak siang. Hanya tinggal perayaan kecil dengan konsep makan malam. Diiringi dengan live music bergenre acoustic. Sederhana tetapi mewah. Itulah yang terbesit di benak Yura untuk menggambarkan acara pernikahannya malam ini, bahkan jauh lebih sederhana dari pernikahan pertamanya bersama Rama karena hanya dihadiri empat keluarga dan beberapa tamu pilihan. Erna dan suaminya, juga dua buah hati mereka. Arkatama mengajak istrinya beserta ayah dan ibunya. Lalu keluarga Wira, yang hanya terdiri dari Wira sendiri
Jika Yura dan Gin sedang berbahagia merayakan pernikahan mereka, maka keadaan yang berbanding terbalik sedang terjadi kepada Katrina dan putra sulungnya. Hubungan mereka menjadi berjarak beberapa hari ini. Bahkan sebenarnya sejak Rama mendapatkan selembar kertas berisi rincian biaya pengobatannya selama koma, pria itu telah acuh kepada ibu kandungnya sendiri. Lalu Katrina mendadak frustasi karena Rama telah mengetahui sebuah rahasia yang selama ini ia tutupi. Sekarang bagaimana caranya untuk membalikkan keadaan? Rama yang dulu begitu percaya kepadanya kini mulai berontak. Bahkan terakhit kali mereka bertengkar besar soal kebenaran itu. Rama menuntut penjelasan tetapi Katrina masih saja melempar alasan dan menyudutkan Yura. Sudah hampir empat hari lamanya Rama tak pulang ke rumahnya. Entah kemana perginya, Katrina hanya bisa berusaha mencari tahu ke beberapa orang dia kenal dan menelpon sang putra setiap waktu.Namun, tak ada usaha yang membuahkan hasil. Katrina tak mendapatkan sat
Rama mengangkat handbrake setelah mobilnya berhenti di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu besar – kantor Sherina, tempatnya bekerja paruh waktu. Tanpa membuat janji temu, ia sudah tahu bahwa wanita yang berstatus sebagai calon istrinya berada di tempat ini. Rama sangat memahami jadwal Sherina, termasuk kapan wanita itu ada di kantor dan kapan pergi keluar bersama klien. Wanita itu memiliki jadwal yang tetap sehingga mudah baginya untuk menghafal.Tak ingin membuang waktu, pria itu segera turun dari mobilnya dan melangkah dengan mantap menapaki lempengan batu andesit yang terbentang di halaman kantor. Meskipun Rama tidak terlalu memperhatikan penampilannya kali ini – mengenakan baju biasa daripada pakaian formal, juga kondisi wajahnya yang kacau– sorotan beberapa orang tetap mengarah padanya. Para karyawan tetap mengenali Rama dan memberikan penghormatan. Mereka tentu tahu bahwa lelaki itu adalah calon suami sang pemilik perusahaan. Walaupun setelahnya saling bertanya satu sama l
Rama merogoh ponselnya dalam saku celana. Selanjutnya membuka sebuah aplikasi dan mencari sebuah gambar di sana. Berikut menunjukkan gambar tersebut kepada Sherina. Selembar hasil tes yang diberikan Yura beberapa hari lalu, kemudian satu lembar hasil tes baru yang ia dapatkan dari rumah sakit berbeda. Keduanya sama-sama sudah divalidasi oleh ahlinya. Dokter yang menangani Rama juga mengatakan semua itu terjadi karena pola hidup yang kurang baik.Memang dulu Rama memiliki gaya hidup yang tergolong tidak sehat. Alkohol menjadi teman setiap waktu, sepanjang bekerja ia mengandalkan wine untuk menemaninya begadang. Tingkat toleransi membuatnya mampu menenggak cukup banyak minuman fermentasi itu. Jika tidak ada wine, maka bir dan soda menjadi penggantinya.Ia tak menyangka jika itu semua tidak berpengaruh pada tubuhnya terutama pada reproduksinya sendiri.Tangan lemas Sherina menerima benda pipih tersebut. Wanita itu mencermatinya setiap detailnya dengan seksama. “Jika ini masalahnya ... a
Suara mesin blender yang lamat terdengar membuat Gin terpaksa membuka mata. Sejenak mengerjap-ngerjapkan kelopak yang terasa berat. Kantuk masih menyerangnya sebab baru tidur beberapa jam saja. Beberapa hari setelah pernikahan Gin dan Yura tidak menghabiskan waktu di Bali. Mereka justru pulang dan menggunakan waktu mereka untuk memindahkan barang-barang dari apartemen ke rumah baru. Dan, semalam, tak perlu ditanya apa yang pria itu lakukan hingga tidur di waktu subuh. Tentu saja melampiaskan sebuah hasrat yang selama berbulan-bulan ini ia tahan. Entahlah, bukannya jenuh atau bosan, Gin justru selalu menemukan rasa baru setiap melakukannya hingga membuat lelaki itu candu. Juga Yura yang lebih berani mengekspresikan diri membuatnya semakin ingin dan ingin.Gin menoleh ke arah samping dan menyadari bahwa istrinya sudah tidak ada di ranjang ini. Saat itu juga Gin menyadari bahwa hari sudah pagi. Pria itu lantas menyambar ponsel yang di atas nakas untuk memeriksa waktu. Dan benar saja, su
Yura tak dapat menyembunyikan kepanikannya saat ini. Dahinya dipenuhi oleh keringat dingin dan bayangan mengerikan mengenai peristiwa buruk—meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi—terus menghantui kepalanya. Sepanjang perjalanan perasaannya tak dapat tenang. Ia hanya ingin segera bertemu dengan sahabatnya dan melayangkan ribuan pertanyaan yang tak sempat dia sampaikan saat panggilan tadi.Ketika tiba di rumah sakit, wanita itu langsung menuju unit gawat darurat. Kakinya setengah berlari, seolah tidak menyadari bahwa sedang membawa sebuah nyawa dalam perutnya. Tentu saja itu membuat Gin was-was. Pria itu berjalan di belakangnya, berusaha mengimbangi sambil memastikan istrinya berjalan dengan baik dan tidak kehilangan keseimbangan.Dalam jarak empat meter dari pintu masuk, Yura telah menemukan Erna berdiri seraya mendekatkan ponsel di telinganya, seperti sedang berusaha menghubungi seseorang. Namun, saat menyadari bahwa Yura telah berada di rumah sakit, wanita itu segera menjauhkan p
“Kenapa makanannya hanya diaduk seperti itu? Kalau tidak mau makan untuk apa dipesan?” Gin menatap lurus ke arah istrinya. Bukan tanpa sebab ia menegur. Lelaki itu sudah memperhatikan cukup lama. Sejak menu pesanan mereka disajikan di meja, Yura hanya mengaduk-aduk kuah bakso tanpa berniat menyantapnya. Perubahan raut wajah juga sudah ia sadari sejak Gin mengambil keputusan untuk mengeluarkan kartu debitnya dan melunasi semua biaya keperluan Katrina, mantan mertua Yura. Sejak saat itu, wanitanya ini lebih banyak diam.Pria berkaos hitam itu mengerti jika Yura tidak bisa menerimanya. Perbuatan Katrina terlalu jahat di masa lalu, rasanya tak perlu dibalas sedemikian baiknya. Pun sebenarnya Gin sendiri pernah dimanfaatkan. Namun, apakah membantu itu salah? Toh uang yang dikeluarkan oleh Gin sepadan dengan uang belanja Yura yang ia berikan setiap bulan. Entah apa yang membuat wanita itu berbeda. Hormon, kah? Bawaan bayi, kah? Atau memang Yura berubah karena sudah terlalu banyak menerima
["Kau sedang ada dimana, Gin? Kenapa terdengar riuh sekali?"] Gin menarik napas dalam-dalam saat mendengar pertanyaan sang ibu dari panggilan yang baru saja tersambung. Haruskah ia jujur sedang berada di rumah sakit? "Aku sedang di luar, Bu, bertemu dengan beberapa teman lama, ada apa?" tanyanya seraya beralih ke tempat yang lebih lengang. Lelaki itu memilih untuk keluar dari kafe tetapi masih bisa mengamati Yura dari balik pintu kaca. Pada akhirnya, berbohong adalah pilihan lelaki itu. Mungkin, jika ada malaikat yang sedang mencatat setiap dosanya, membohongi ibu adalah kesalahan yang paling banyak ia lakukan selama bertahun-tahun.["Apa sekarang kau bisa datang? Badanku rasanya tidak enak dan ... aku tidak punya teman. Bibi sedang pulang ke kampung halaman tiga hari. Tersisa aku dan beberapa satpam saja."]Gin menutup mata. Sebuah gulungan perih menyelinap masuk dalam rongga dadanya. Dia baru saja menyadari bahwa telah meninggalkan Sarah begitu lama. Sejak tinggal bersama Yura, i