Gin berusaha setenang mungkin walau dadanya sedang bergemuruh hebat akibat pertanyaan Yura barusan.Ah! Rasanya ingin menampar bibirnya sendiri saat ini. Mengapa harus salah bicara? Mengapa dia juga bisa hampir kelepasan menyebut nama Anjani? Sebenarnya tidak masalah, tapi belum waktunya. Jangan! Ia tidak mau membukanya sekarang. "Gin?" tanya Yura seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di hadapan wajah kekasihnya. Bukan tanpa alasan. Yura melakukan itu karena Gin tak kunjung menjawab pertanyannya. Pria itu hanya menerbitkan senyum ke arah Yura. "Ya—ya! Seperti yang kau lihat," jawabnya kemudian memeriksa arloji yang melingkar di tangan kirinya, "Ayo, Sayang, kita berkeliling lagi. Kita lihat taman dan kolam ikan koi yang ada di sana, kau pasti senang!" Gin lantas bangkit berdiri, setelahnya meraih lengan Yura dan membantu wanita itu berdiri. "Kolam ikan koi?" tanya wanita itu kemudian. "Apa ikan yang sama dengan di rumah Ayah dan Bunda kemarin?"Sebuah anggukan diberikan ole
"Percuma aku beritahu kebenarannya kalau kau masih percaya orang lain dari pada aku! Jadi, pergilah saja dari membuang energiku untuk bicara denganmu!" Yura mengibaskan tangan Rama hingga terlepas. Wanita itu berniat meninggalkan Rama di luar unit. Akan tetapi, lagi-lagi gerakan tangannya lebih lambat dari Rama. Pria berkemeja hijau tua itu meraih tangan Yura kembali. Dia mencengkeram lebih kuat hingga Yura hanya menyakiti dirinya sendiri jika bergerak dengan brutal."Aku tahu itu kesalahan terbesarku, Yura. Maka itu sebabnya aku ingin bicara denganmu. Percayalah, aku ke sini karena tidak kesengajaan. Aku datang ke sini mencari apartemen baru untuk studio Sherina, tapi saat aku ingin pulang, aku melihatmu berjalan sendirian di ujung lorong. Apalagi kalau bukan takdir yang mempertemukan kita di sini!"Takdir? Mendengar kata itu, Yura ingin tertawa keras-keras. Jelas-jelas ini hanya sebuah momentum yang kebetulan saja. Sebab nyatanya, takdir telah membawa mereka berpisah."Takdir kit
"Aku akan tunggu di atas, kalian bicaralah."Gin bangkit berdiri saat Yura telah keluar dari kamarnya. Ia hendak melangkah pergi bermaksud meninggalkan kedua mantan suami istri itu untuk bicara empat mata karena di sini Gin hanyalah orang ketiga yang tidak seharusnya ikut campur. Walau sebenarnya ia adalah orang yang turut terlibat dalam masalah ini.Pria itu merasa bukan kapasitasnya untuk bicara. Seperti yang dikatakan sang ayah, dia tidak boleh mengintervensi apa pun. Namun, saat hendak menjauh dari ruang tamu, Yura menahan lengannya hingga gerakan lelaki itu terhenti. Yura menggeleng memberi tanda bahwa ia tak bisa bicara sendiri. "Ini masalahmu dengan mantan suamimu. Aku tidak bisa mengintervensi apa pun, tetapi aku mengawasi kalian dari atas. Kalau dia macam-macam padamu teriakkan namaku," ujar Gin setelahnya memberikan kecupan di pelipis Yura. Akhirnya, pria itu meninggalkan mereka untuk menyelesaikan urusan.Sementara di ruang tamu itu, kepergian Gin menyisakan sebuah henin
Posisi mereka belum berubah. Yura masih tetap duduk di sofa sementara Rama berlutut di hadapan sang mantan istri. Sesekali pria itu mendesis menahan sakit.Sejenak Yura mengamati raut wajah Rama yang memerah karena tamparannya. Juga darah segar yang terus keluar di sudut bibir. Itu membuat bibirnya terlihat bengkak. Sebenarnya ia masih bimbang dengan kalimat yang ingin ia ucapkan ini. Memandang Rama kesakitan seperti itu membuatnya menimbang. Apakah ia terlalu kejam atau tidak jika membuka sebuah rahasia yang disimpan rapat-rapat darinya selama bertahun-tahun? Cukupkah tamparan yang ia berikan padanya tadi? Atau masih perlu kenyataan ini agar semakin menusuk ulu hati?Apakah ia akan menjadi wanita yang jahat setelah ini?Yura masih mengutamakan manusiawi di sini. Namun, bukankah ibu mertuanya bahkan lelaki itu tak pernah mempedulikan apa pun saat menyakitinya? Bukankah mereka juga seenaknya saja saat melakukan kejahatan padanya? Memaki, menuduh sembarangan tanpa mengerti perasaan
Ketika Yura membenamkan kepala di dadanya, Gin hanya bisa terdiam. Semuanya telah ia saksikan dari lantai atas, termasuk percakapan antara Yura dan mantan suaminya, bahkan tamparan keras yang baru saja terjadi. Kehidupan mereka ternyata dipenuhi oleh kebohongan, dengan pihak tertentu yang tidak merestui hubungan mereka. Fakta-fakta pun diputarbalikkan, dan Yura sendiri hanya menerima segala tuduhan itu tanpa menuntut balas.Kisah mereka semakin rumit ketika Yura memutuskan untuk mengorbankan segalanya, menjadikan kesetiaannya sebagai taruhan. Kini, semuanya telah berantakan.Apa yang terjadi hari ini memberikan Gin kepuasan, semua kesakitan Yura selama ini telah terbayar dengan penyesalan Rama—yang sebelumnya sempat menyia-nyiakan ketulusan istrinya. Namun, peristiwa tadi juga membuatnya merenungkan beberapa hal. Bisakah ia menjamin kebahagiaan Yura selama bersamanya? Secara, Gin sendiri banyak menyembunyikan fakta-fakta penting dalam hidupnya dari calon istrinya itu. Hari ini, ia te
"Selamat, ya!"Dua kata yang mampu mengangkat sudut bibir Yura ke atas sejak ia selesai mengucapkan sebuah janji di depan pastur dan saksi yang hadir. Hari ini, pada sebuah villa di Bali telah digelar sebuah pernikahan kecil untuknya.Akhirnya, semua keinginannya sudah terlaksana. Kini hubungannya dengan sudah sah secara agama dan negara. Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi. Tidak ada lagi ketakutan untuk menunjukkan kehamilan ini.Acara pernikahannya dengan Gin sudah selesai sejak siang. Hanya tinggal perayaan kecil dengan konsep makan malam. Diiringi dengan live music bergenre acoustic. Sederhana tetapi mewah. Itulah yang terbesit di benak Yura untuk menggambarkan acara pernikahannya malam ini, bahkan jauh lebih sederhana dari pernikahan pertamanya bersama Rama karena hanya dihadiri empat keluarga dan beberapa tamu pilihan. Erna dan suaminya, juga dua buah hati mereka. Arkatama mengajak istrinya beserta ayah dan ibunya. Lalu keluarga Wira, yang hanya terdiri dari Wira sendiri
Jika Yura dan Gin sedang berbahagia merayakan pernikahan mereka, maka keadaan yang berbanding terbalik sedang terjadi kepada Katrina dan putra sulungnya. Hubungan mereka menjadi berjarak beberapa hari ini. Bahkan sebenarnya sejak Rama mendapatkan selembar kertas berisi rincian biaya pengobatannya selama koma, pria itu telah acuh kepada ibu kandungnya sendiri. Lalu Katrina mendadak frustasi karena Rama telah mengetahui sebuah rahasia yang selama ini ia tutupi. Sekarang bagaimana caranya untuk membalikkan keadaan? Rama yang dulu begitu percaya kepadanya kini mulai berontak. Bahkan terakhit kali mereka bertengkar besar soal kebenaran itu. Rama menuntut penjelasan tetapi Katrina masih saja melempar alasan dan menyudutkan Yura. Sudah hampir empat hari lamanya Rama tak pulang ke rumahnya. Entah kemana perginya, Katrina hanya bisa berusaha mencari tahu ke beberapa orang dia kenal dan menelpon sang putra setiap waktu.Namun, tak ada usaha yang membuahkan hasil. Katrina tak mendapatkan sat
Rama mengangkat handbrake setelah mobilnya berhenti di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu besar – kantor Sherina, tempatnya bekerja paruh waktu. Tanpa membuat janji temu, ia sudah tahu bahwa wanita yang berstatus sebagai calon istrinya berada di tempat ini. Rama sangat memahami jadwal Sherina, termasuk kapan wanita itu ada di kantor dan kapan pergi keluar bersama klien. Wanita itu memiliki jadwal yang tetap sehingga mudah baginya untuk menghafal.Tak ingin membuang waktu, pria itu segera turun dari mobilnya dan melangkah dengan mantap menapaki lempengan batu andesit yang terbentang di halaman kantor. Meskipun Rama tidak terlalu memperhatikan penampilannya kali ini – mengenakan baju biasa daripada pakaian formal, juga kondisi wajahnya yang kacau– sorotan beberapa orang tetap mengarah padanya. Para karyawan tetap mengenali Rama dan memberikan penghormatan. Mereka tentu tahu bahwa lelaki itu adalah calon suami sang pemilik perusahaan. Walaupun setelahnya saling bertanya satu sama l