Sepuluh detik pertama Yura menanti jawaban. Gin tak menampilkan ekspresi apa pun, tetapi bisa ia lihat dengan jelas bagaimana tenggorokan pria itu bergerak kasar. Pria yang tak mengenakan atasan itu segera menerbitkan sebuah sabit lalu mengusap puncak kepala Yura. "Tentu saja aku ingin hubungan kita terbuka. Aku juga mau semua orang, terutama mantan ibu mertua dan mantan suamimu itu tahu bahwa kau telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik bersamaku. Lalu, untuk kedua orang tuaku, sabar ya, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan mereka."Yura menatap resah ke arah Gin. "Bagaimana kalau Pak Wira tidak setuju dengan hubungan kita? Secara aku bukan dari golongan atas sepertimu. Pak Wira bahkan juga tahu kalau aku adalah karyawannya."Sekali lagi pria itu tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di ubun-ubun Yura. Dekapannya bertambah sedikit lebih erat. "Jangan buat status sosial kita menjadi beban. Lagipula, kenapa kau harus tidak percaya diri? Kau sudah menjalani karir
Arkatama sudah mengeluarkan sebagian bajunya dari dalam lemari. Kemeja-kemeja kerja baik lengan panjang atau pun pendek miliknya sudah bertebaran di atas kasur.Itu semua karena permintaan Gin yang tiba-tiba saja menelponnya dan meminjam baju. Ia sendiri pun bahkan terheran-heran mengapa seorang atasan seperti Gin mau merendahkan sedikit egonya untuk meminjam baju dari seorang bawahan. Lebih gilanya lagi, permintaan itu mendadak dan harus dipakai pagi ini. "Carikan aku kemeja warna pink. Atau kau punya? Aku mau pinjam, pagi ini aku harus memakainya." Begitulah kalimat yang terdengar di telinganya melalui sambungan telepon beberapa belas menit yang lalu.Lantas, pria yang telah lama menjadi ajudan di keluarga Satwika itu mencoba menggeledah isi lemari pakaiannya dan mencari kemeja dengan warna merah muda yang diinginkan sang tuan. Sempat frustasi karena warna yang sedang dicari tersebut juga bukanlah seleranya. Kebanyakan baju-baju Arkatama berwarna putih, hitam, kuning gading, atau pu
Sebuah getar halus membuyarkan konsentrasi Yura yang sedang menonton sebuah drama. Wanita yang sedang bersantai menikmati segelas susu dingin di ruang tengah itu segera menoleh ke arah meja.[Aku tidak melihatmu di kantor, apa kau tidak bekerja?] Itu pesan dari Erna.[Tadinya mau berangkat, tapi gara-gara morning sickness jadi Gin melarang aku pergi,] balas Yura.Tak lama setelah itu balasan dari Erna masuk kembali ke dalam notifikasi. [Ahhh, sweet. Aku bertemu Pak Arya di depan tadi, penampilannya hari ini memang agak berbeda ya? Apakah hari ini adalah hari spesial?]Entah apa yang dimaksud oleh Erna, ia belum mengerti. Gelas yang sedang dipegangnya kini diletakkan di atas meja dan wanita itu segera memberikan jawaban kepada Erna.[Berbeda bagaimana maksudmu? Setahuku tidak ada apa-apa hari ini.][Foto] Erna lantas melampirkan sebuah foto dimana Arya sedang berjalan menuju lift sambil membawa tas dan tab kerjanya.[Lihatlah, bertahun-tahun aku bekerja, baru kali ini aku melihat Pak Ary
Sementara di kantor ....Usai menutup panggilan, Gin segera menyimpan gawainya. Benda pipih itu ia letakkan jauh-jauh dari jangkauan. Dalam diam berusaha mengatur pernapasan yang sebenarnya sedang berantakan. Dua matanya kini berfokus mengamati wanita berambut uban yang melangkah ke arahnya. Sarah, sang ibu kandung. Entah apa yang membawa wanita itu ke sini. Gin masih tidak menyangka jika ibunya akan datang ke kantor hari ini. Percakapan terakhirnya dengan Yura tidak mungkin jika tidak di dengar oleh sang ibu. Oleh sebab itu, Gin hanya bisa merapal doa: semoga saja ibunya tidak mendengar banyak. "Kenapa harus dimatikan? Dengan siapa kau bertelepon, hm? Apa kau punya kekasih baru, Nak?" Dengan langkah anggun, Sarah berjalan mendekati meja kerja milik Gin. Senyum mengembang lebar di wajah keriputnya."Jika benar, coba katakan padaku, siapa kekasih barumu? Di perusahaan mana dia bekerja? Apa prestasinya? Dan kenapa tidak dikenalkan padaku?" tuntut Sarah kembali saat tiba di hadapan Gi
"Menurutmu, anak ini nanti akan jadi laki-laki atau perempuan?"Gin menoleh ke arah samping kanan tempat dimana wanita bertubuh ramping sedang memilih buah alpukat. Yura, bertanya demikian seraya membanding jenis buah yang berbeda di kedua tangannya. Seperti yang mereka bahas di percakapan telepon tadi, Gin berjanji menemani calon istrinya berbelanja setelah pulang dari rumah sakit. Pria yang kini mengenakan putih itu sedang berdiri seraya menyembunyikan kedua tangannya di saku celana. Tubuhnya sengaja disandarkan pada sebuah tiang beton. Sebelumnya Gin tak melempar pembicaraan apa-apa, tetapi entah kenapa tiba-tiba wanitanya ini bertanya demikian."Apa pun itu akan tetap aku sayang," jawab Gin pada akhirnya. "Kalau itu aku tahu. Semua orang tua akan begitu, tapi jujur dari hatimu yang paling dalam kau mau anak laki-laki atau perempuan?" Yura bertanya lagi, masih sibuk dengan dua buah alpukat yang sedang ia pelajari. Dokter menyarankannya untuk mengkonsumsi buah itu setiap pagi g
Sejak kejadian di supermarket hari itu entah kenapa Yura selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tak pernah ia ketahui tentang sang calon suami. Seperti ada hal yang disembunyikan, tetapi Yura tak bisa menggali lebih dalam. Ada saja Argumen berlogika yang diberikan untuknya sehingga ia berspekulasi bahwa mungkin yang terjadi tidaklah seperti yang ia bayangkan. Atau mungkin saja, itu hanya bagian dari pikiran negatifnya. Tak tahu mana yang benar. Pada akhirnya ia memilih menyerahkan semua ke dalam tangan sang pencipta. Apa pun yang terjadi nanti, ia telah pasrah. Dan, selama dua bulan ini mereka masih baik-baik saja. Gin juga tidak berubah. Masih tetap menjadi pria yang posesif dengannya. Tak peduli dimana pun mereka berada lelaki itu selalu mencuri kesempatan di dalam kesempitan. Seperti pagi ini, saat Yura menyiapkan secangkir kopi di pantry, lelaki itu menyusulnya. Selama ini, saat berangkat kerja memang mereka tidak bersama, sengaja menghindari kecurigaan para karyawan dan menghind
Rama duduk menunggu di depan ruangan kecil berlabel kasir. Pria itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan kesehatan. Meski dua bulan telah berlalu tetap saja keadaannya belum pulih benar. Masih ada obat jalan yang harus ia konsumsi dan terapi ringan yang harus ia lakukan beberapa kali.Kepalanya masih sering pusing, terutama ketika potongan peristiwa masa lalu muncul tiba-tiba. Momen-momen saat ia bekerja, kuliah, dan hubungannya dengan Yura yang sering datang secara acak bagai kaset yang rusak. Semua bercampur menjadi satu. Entah apa sebabnya, semua kenangan tentang Yura tak bisa ia kendalikan. Seminggu terakhir hanya ingatan tentang wanita itu yang sering melintas. Seratus kali ia mencoba menahan, tetapi seribu kali pula kilas balik itu berdatangan.Ada apa?Mengapa setelah bercerai, ia malah dapat mengingat semua kenangan bahagia bersama Yura? Saat pacaran dulu, walau sepenggal-sepenggal ia dapat menyimpulkan bahwa hubungannya dengan Yura bahagia dan baik-baik saja. Dadanya ba
"Maaf, aku terlambat."Sherina baru saja tiba di hadapan Rama. Dua bola mata wanita itu tertuju pada dua cangkir teh yang telah tersaji di meja. Setelahnya merasakan sebuah hangat menjalar di kedua pipinya, sebab tanpa diminta Rama sendiri hanya menanggapi dengan sebuah senyuman dan anggukan singkat. Lalu mempersilakan wanita berambut panjang itu untuk duduk. "Apa sudah lama menungguku?" tanya Sherina setelah mendaratkan tubuhnya pada kursi di hadapan Rama. Seperti biasa wajahnya selalu ceria dengan sabit di bibirnya."Tidak juga, teh ini bahkan baru saja diantar." Rama menggeser satu camgkir minuman ke hadapan Sherina. Sementara wanita itu meletakkan tasnya jinjingnya pada kursi kosong di sebelahnya."So .... Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin bertemu. Bagaimana dengan meeting-mu hari ini? Mereka jadi membantumu untuk launching produk baru?" Tujuan utama Rama sebenarnya bukan itu. Kalau bisa, ia akan bertanya pada intinya, bagaimana