Selamat membacaa 🤍
Sebuah getar halus membuyarkan konsentrasi Yura yang sedang menonton sebuah drama. Wanita yang sedang bersantai menikmati segelas susu dingin di ruang tengah itu segera menoleh ke arah meja.[Aku tidak melihatmu di kantor, apa kau tidak bekerja?] Itu pesan dari Erna.[Tadinya mau berangkat, tapi gara-gara morning sickness jadi Gin melarang aku pergi,] balas Yura.Tak lama setelah itu balasan dari Erna masuk kembali ke dalam notifikasi. [Ahhh, sweet. Aku bertemu Pak Arya di depan tadi, penampilannya hari ini memang agak berbeda ya? Apakah hari ini adalah hari spesial?]Entah apa yang dimaksud oleh Erna, ia belum mengerti. Gelas yang sedang dipegangnya kini diletakkan di atas meja dan wanita itu segera memberikan jawaban kepada Erna.[Berbeda bagaimana maksudmu? Setahuku tidak ada apa-apa hari ini.][Foto] Erna lantas melampirkan sebuah foto dimana Arya sedang berjalan menuju lift sambil membawa tas dan tab kerjanya.[Lihatlah, bertahun-tahun aku bekerja, baru kali ini aku melihat Pak Ary
Sementara di kantor ....Usai menutup panggilan, Gin segera menyimpan gawainya. Benda pipih itu ia letakkan jauh-jauh dari jangkauan. Dalam diam berusaha mengatur pernapasan yang sebenarnya sedang berantakan. Dua matanya kini berfokus mengamati wanita berambut uban yang melangkah ke arahnya. Sarah, sang ibu kandung. Entah apa yang membawa wanita itu ke sini. Gin masih tidak menyangka jika ibunya akan datang ke kantor hari ini. Percakapan terakhirnya dengan Yura tidak mungkin jika tidak di dengar oleh sang ibu. Oleh sebab itu, Gin hanya bisa merapal doa: semoga saja ibunya tidak mendengar banyak. "Kenapa harus dimatikan? Dengan siapa kau bertelepon, hm? Apa kau punya kekasih baru, Nak?" Dengan langkah anggun, Sarah berjalan mendekati meja kerja milik Gin. Senyum mengembang lebar di wajah keriputnya."Jika benar, coba katakan padaku, siapa kekasih barumu? Di perusahaan mana dia bekerja? Apa prestasinya? Dan kenapa tidak dikenalkan padaku?" tuntut Sarah kembali saat tiba di hadapan Gi
"Menurutmu, anak ini nanti akan jadi laki-laki atau perempuan?"Gin menoleh ke arah samping kanan tempat dimana wanita bertubuh ramping sedang memilih buah alpukat. Yura, bertanya demikian seraya membanding jenis buah yang berbeda di kedua tangannya. Seperti yang mereka bahas di percakapan telepon tadi, Gin berjanji menemani calon istrinya berbelanja setelah pulang dari rumah sakit. Pria yang kini mengenakan putih itu sedang berdiri seraya menyembunyikan kedua tangannya di saku celana. Tubuhnya sengaja disandarkan pada sebuah tiang beton. Sebelumnya Gin tak melempar pembicaraan apa-apa, tetapi entah kenapa tiba-tiba wanitanya ini bertanya demikian."Apa pun itu akan tetap aku sayang," jawab Gin pada akhirnya. "Kalau itu aku tahu. Semua orang tua akan begitu, tapi jujur dari hatimu yang paling dalam kau mau anak laki-laki atau perempuan?" Yura bertanya lagi, masih sibuk dengan dua buah alpukat yang sedang ia pelajari. Dokter menyarankannya untuk mengkonsumsi buah itu setiap pagi g
Sejak kejadian di supermarket hari itu entah kenapa Yura selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tak pernah ia ketahui tentang sang calon suami. Seperti ada hal yang disembunyikan, tetapi Yura tak bisa menggali lebih dalam. Ada saja Argumen berlogika yang diberikan untuknya sehingga ia berspekulasi bahwa mungkin yang terjadi tidaklah seperti yang ia bayangkan. Atau mungkin saja, itu hanya bagian dari pikiran negatifnya. Tak tahu mana yang benar. Pada akhirnya ia memilih menyerahkan semua ke dalam tangan sang pencipta. Apa pun yang terjadi nanti, ia telah pasrah. Dan, selama dua bulan ini mereka masih baik-baik saja. Gin juga tidak berubah. Masih tetap menjadi pria yang posesif dengannya. Tak peduli dimana pun mereka berada lelaki itu selalu mencuri kesempatan di dalam kesempitan. Seperti pagi ini, saat Yura menyiapkan secangkir kopi di pantry, lelaki itu menyusulnya. Selama ini, saat berangkat kerja memang mereka tidak bersama, sengaja menghindari kecurigaan para karyawan dan menghind
Rama duduk menunggu di depan ruangan kecil berlabel kasir. Pria itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan kesehatan. Meski dua bulan telah berlalu tetap saja keadaannya belum pulih benar. Masih ada obat jalan yang harus ia konsumsi dan terapi ringan yang harus ia lakukan beberapa kali.Kepalanya masih sering pusing, terutama ketika potongan peristiwa masa lalu muncul tiba-tiba. Momen-momen saat ia bekerja, kuliah, dan hubungannya dengan Yura yang sering datang secara acak bagai kaset yang rusak. Semua bercampur menjadi satu. Entah apa sebabnya, semua kenangan tentang Yura tak bisa ia kendalikan. Seminggu terakhir hanya ingatan tentang wanita itu yang sering melintas. Seratus kali ia mencoba menahan, tetapi seribu kali pula kilas balik itu berdatangan.Ada apa?Mengapa setelah bercerai, ia malah dapat mengingat semua kenangan bahagia bersama Yura? Saat pacaran dulu, walau sepenggal-sepenggal ia dapat menyimpulkan bahwa hubungannya dengan Yura bahagia dan baik-baik saja. Dadanya ba
"Maaf, aku terlambat."Sherina baru saja tiba di hadapan Rama. Dua bola mata wanita itu tertuju pada dua cangkir teh yang telah tersaji di meja. Setelahnya merasakan sebuah hangat menjalar di kedua pipinya, sebab tanpa diminta Rama sendiri hanya menanggapi dengan sebuah senyuman dan anggukan singkat. Lalu mempersilakan wanita berambut panjang itu untuk duduk. "Apa sudah lama menungguku?" tanya Sherina setelah mendaratkan tubuhnya pada kursi di hadapan Rama. Seperti biasa wajahnya selalu ceria dengan sabit di bibirnya."Tidak juga, teh ini bahkan baru saja diantar." Rama menggeser satu camgkir minuman ke hadapan Sherina. Sementara wanita itu meletakkan tasnya jinjingnya pada kursi kosong di sebelahnya."So .... Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" "Tidak apa-apa, aku hanya ingin bertemu. Bagaimana dengan meeting-mu hari ini? Mereka jadi membantumu untuk launching produk baru?" Tujuan utama Rama sebenarnya bukan itu. Kalau bisa, ia akan bertanya pada intinya, bagaimana
Ting!Denting ponsel di hadapannya merenggut perhatian Gin yang sedang menikmati gelapnya malam tanpa bintang. Pria itu lantas mengulur tangan dan memeriksa pesan yang masuk sebelum kembali menghisap rokoknya. Pesan dari Yura. [Iya, tidak apa-apa. Aku tidur dulu.] Dengan cepat Gin membalas. [Nice dream, Sweetheart.]Usai mengirim jawaban, gawai seharga ratusan juta itu diletakkan kembali ke posisinya. Gin melanjutkan aktivitasnya merokok.Malam ini ia memang sengaja meninggalkan Yura karena ia harus pulang ke rumah orang tuanya. Selain memang rutinitas setiap bulannya, ada beberapa hal yang ingin ia selesaikan bersama sang ayah. Malam yang dingin tak membuat Gin mengurungkan niatnya untuk duduk bersantai di balkon kamar. Hari sudah hampir larut tetapi pria itu tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya terus berkelana dengan banyak hal. Bukan karena pekerjaan, Melainkan karena kehidupan pribadinya. Waktu tidak terasa sudah berjalan dua bulan sejak Gin mengatakan bahwa ia akan menika
Yura menguap ketika dua matanya terbuka. Pantulan sinar matahari dari dinding kaca di hadapannya menandakan bahwa hari sudah siang. Namun, Kelopak matanya memberat setiap kali ia mencoba membukanya lebih lebar. Sejak hamil, ia lebih sering seperti ini. Tubuhnya terasa malas untuk mengerjakan apa pun di pagi hari meski ia sudah tidur lebih awal di malam hari. Dokter mengatakan bahwa hal itu wajar terjadi pada bisa terjadi pada ibu hamil. Terutama di trimester awal. Dan kali ini, Yura berniat untuk tidur lagi barang beberapa menit setidaknya sampai kantuk ini hilang. Namun, matanya kembali melebar ketika merasakan kehadiran seseorang di pinggir ranjang. Ada suara-suara semacam ketukan jari pada papan ketik.Yura segera menoleh dan membalikkan badan. Saat itu juga ia mendapatkan sosok pria sedang duduk di belakangnya dengan sebuah laptop kerja yang bertengger di atas paha.Gin.Entah sejak kapan lelaki itu ada di kamarnya ini, ia sendiri tak menyadari ada seseorang yang datang. Semalam