"Bisakah lain kali kau melihat situasi dulu sebelum kau masuk ke dalam rumah?"Yura menyorot Erna dengan tatapan tajam setelah deru mobil milik Gin terdengar menjauh. Benar, lelaki itu langsung pamit untuk menyelesaikan urusan usai beradu ketegangan bersama dua wanita di rumah itu. Sementara wanita yang tengah berdiri di hadapan Yura hanya memamerkan barisan giginya yang rapi. "Maaf, tadi aku pikir kalian sedang ngobrol saja, tidak tahunya kalian sedang berbuat ...." Erna tidak melanjutkan kalimatnya. Napas kasar ia lemparkan ke udara. "Lagi pula, kalau niatnya seperti itu, kenapa tidak di kamar saja? Untung aku yang masuk bukan orang lain. Kalau ketahuan orang lain kemungkinan besar besuk pagi kalian tak memiliki wajah untuk keluar!" "Mulutmu itu kalau berkata memang suka sembarangan. Aku tidak mungkin mengajak Gin ke kamar!" jawab Yura setelah mendecakkan bibirnya, hal itu memicu kelakar tawa dari Erna."Jangan salahkan aku lah! Aku bahkan tidak tahu kalau Pak Arya akan ke sini, t
Berganti hari.Suara ketukan pintu cukup keras mengambil alih atensi Yura yang sedang menghangatkan susu di atas kompor. Menduga ada seseorang yang berkunjung, Yura segera mengecilkan api dan meninggalkan dapur. Entah siapa yang datang pagi-pagi begini, yang pasti bukan Erna atau pun pengantar katering. Sahabatnya itu sudah berkata semalam bahwa pagi ini tak bisa berkunjung karena harus pergi bersama suaminya sejak subuh ke stasiun. Entahlah mereka akan mengurus apa, wanita itu juga berpesan kepada Yura untuk memasak sarapannya sendiri karena kebetulan katering langganannya hari ini sedang libur.Lalu siapa yang datang pagi-pagi begini? Sebelum melangkah jauh, Yura melirik sekilas ke arah jam dinding dan saat ini baru pukul setengah enam. Masih terlalu pagi untuk seorang tamu biasa.Begitu tiba di ruang tamu, Yura segera membuka pintu. Wanita itu spontan menautkan kedua alisnya kala melihat seorang pria berkemeja batik hitam lengan panjang terpadu dengan celana kain senada sedang b
Gin mengerutkan dahi ketika mendapatkan pertanyaan yang tak terduga. Entah majalah mana yang dimaksud calon istrinya itu, Gin sendiri belum paham. Bahkan ia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba Yura membahas majalah. Lalu apa katanya tadi? Pelukan dengan wanita?Selama ini sangat jarang ia menyentuh majalah, malah bisa jadi tidak sama sekali. Majalah digital pun ia jarang membaca jika tidak ada hal yang begitu viral mengenai perusahaannya atau terkait dengan hal-hal yang menurutnya penting. Ia tak terlalu tertarik dengan gosip."Majalah apa maksudmu, hm?" akhirnya pria itu bertanya. Satu hentakan dari belakang berhasil merapatkan tubuh mereka. Dua tangan Gin melingkar begitu posesif di pinggang Yura. Satu tangannya bergerak mengusap perut rata milik wanita itu."Majalah internal kantor. Beberapa waktu yang lalu, aku berkunjung ke ruang arsip untuk membantu Bu Rika merapikan beberapa berkas dan tidak sengaja aku menemukan kumpulan majalah yang sudah lama sekali. Aku iseng saja untuk l
"Wellcome home, Sweetheart!"Bibir Yura melengkung naik kala sambutan hangat terdengar dekat di telinganya. Pria bertubuh kekar itu mendorong pintu lebar-lebar mempersilakan Yura untuk masuk lebih dulu, sementara ia menyusul kemudian menyeret sebuah koper dan tas milik Yura.Setelah beberapa minggu Yura meninggalkan tempat itu akhirnya ia kembali. Sesuai dengan kesepakatan mereka kemarin, Yura kembali tinggal bersama Gin sebelum mereka melangsungkan pernikahan resmi. Dan, seperti yang dikatakan Gin tadi pagi, ia menjemput Yura malam hari. Tepat pukul sembilan malam mereka tiba di tempat ini.Tidak ada interior yang berubah. Semua masih sama. Hanya saja ada beberapa lukisan yang telah diganti—tak tahu apa sebabnya. "Kalau sudah lelah istirahatlah, baju-baju ini bisa diurus besuk." Gin membuka pintu kamar di lantai bawah. Koper dan tas yang dibawanya di letakkan di sudut ruangan. Sementara Yura hanya mengangguk saja mengikuti perintah calon suaminya."Iya, aku akan istirahat. Tapi ....
Selama ini Yura selalu bertanya apakah salah satu di antara Rama dan dirinya memiliki masalah dalam hal kesehatan reproduksi?Pasalnya setiap kali Yura melakukan pemeriksaan—pun telah berganti ke beberapa klinik dan rumah sakit—hasilnya tetaplah sama. Yura tidak memiliki masalah apa pun. Ia sehat, subur, dan sekarang telah terbukti bisa mengandung. Sejak dulu yang menjadi perdebatan hanyalah Rama yang tak ingin pergi ke dokter dengan banyak alasan. Pekerjaan yang padat, sering ke luar kota membuatnya tak pernah memiliki waktu luang dan rasanya hanya membuang waktu saja ketika ia mengambil hari libur. Juga Katrina yabg selalu mengatakan bahwa Rama baik-baik saja dan tidak punya riwayat dari orang tuanya.Ketika Rama hendak menikahinya pun Katrina mengatakan bahwa putranya sehat-sehat saja tetapi tak pernah memberikan bukti pemeriksaan ini ke tangan Yura. Saat itu, Yura terlalu bodoh dan percaya saja.Kini, setelah mereka benar-benar berpisah, Yura justru menemukan hasil tes tersebut.
"Sherina dan Rama menyebar undangan. Mereka akan bertunangan satu minggu lagi." Ucapan Arkatama membuat dahi Gin berkerut lebih dalam. Lelaki itu langsung menatap ajudannya dengan mata yang memicing tajam. Tak salahkah telinganya ini mendengar kabar? Bagaimana bisa dua orang itu dengan mudahnya meresmikan hubungan? Bahkan belum genap satu minggu Rama bercerai dengan Yura."Apa mereka tak punya adab? Aku sengaja menunda pernikahan karena masih menghargai Rama dan Yura yang baru saja bercerai tapi bajingan itu malah melangsungkan pertunangan?" Gin tertawa mengejek seraya menggelengkan kepalanya heran."Sepertinya itu karena desakan Bu Katrina, Tuan. Dari analisa saya Bu Katrina takut kehilangan Sherina bila tak segera mengikatkan hubungan dengan Rama. Jika mereka sudah bertunangan maka beliau akan lebih leluasa untuk merencanakan semua yang dimau. Kita sudah tahu tujuannya hanya uang sejak awal. Apalagi dengan kita menghentikan pembiayaan Rumah Sakit Rama, tentu itu akan membuatnya pan
Tubuh Yura mematung kala pria kekar yang berdiri di hadapannya tiba-tiba menubruk. Entah apa yang terjadi Yura tidak mengerti. Dekapan Gin begitu erat seolah tak ingin dirinya pergi jauh. Dada mereka saling bersentuhan membuat Yura dengan jelas mendengar detak jantung Gin berdebar kencang juga naik turun tak karuan."Gin?" panggilnya, "kau kenapa?"Yura hendak melepaskan tautan tangan Gin di belakang tubuhnya. Namun, pelukan itu terlalu erat hingga Yura kesulitan bernapas dan meloloskan diri."Gin?" tanyanya lagi berusaha membuat lelaki itu rileks. "Bisakah bawa ponselmu setiap kali kau pergi? Kemana pun itu!" ujar Gin setelah berhasil mengurai dekapannya. Tatapannya lurus dan menghunus tajam. Yura sampai menelan ludahnya kasar melihat sorot mata yang terlihat mengancam itu. "I—iya, tapi tenanglah dulu, katakan ada apa? Aku baru saja tiba dan kau seperti ini aku mana tahu apa yang terjadi denganmu?""Apa yang terjadi denganku?" beo lelaki di hadapannya setelah mendengus kasar dan Yur
Mual telah membawa segumpal makanan naik ke tenggorokan. Yura yang sebenarnya masih berada di alam mimpi spontan membuka mata dan segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Meski yang keluar hanyalah cairan tak berwarna tetapi itu cukup menguras tenaganya, dan terkadang sampai harus mengambil napas berkali-kali untuk menstabilkan tubuhnya.Beberapa hari terakhir ia harus berteman dengan mual yang kadang menyerangnya secara tiba-tiba. Ini adalah sebuah rutinitas baru sejak julukan "ibu hamil" disematkan padanya. Anehnya, itu hanya terjadi saat pagi hari seperti ini saja. Sisanya hanya saat-saat tertentu, misal ia mencium bau yang menganggu. Usai membasuh mulut dan mukanya, wanita itu segera melirik ke arah jam dinding. Jarum panjangnya mengarah pada pukul enam. Sementara jarum pendeknya berada di pertengahan angka lima dan enam. Astaga! Ngapain saja sampai ia kesiangan?Lantas Yura buru-buru mengambil tissue dan mengeringkan mulutnya. Wanita itu membawa langkahny