"Bagaimana bisa, Yura? Kau yang bekerja keras selama lima tahun ini! Bukan Sherina! Apa lagi Bu Katrina, dia hanya tukang suruh dan memerintah semaunya saja, bicara pun tak enak di dengar! Bagaimana bisa mereka memutar balikkan fakta?"Erna menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Raut wajah syok, tak percaya, dan heran bercampur menjadi satu. Dia baru saja mendengarkan cerita Yura tentang apa yang terjadi ketika datang menjenguk Rama di ruangan tadi. Erna tak tahu menahu sebab ia memilih menunggu di luar karena memang hanya keluarga pasien saja yang diijinkan untuk menjenguk. Urusan dan pertanyaan mengapa Sherina bisa masuk ke sana itu ia tak tahu awal sebabnya. Dia hanya mematuhi peraturan yang ada saja.Sejak awal Yura meninggalkannya, Erna memang sempat mendengar sedikit keributan dari dalam ruangan inap. Hingga akhirnya Sherina keluar. Ia juga mendengar Rama berteriak mengusirnya pergi. Lalu Yura keluar ruangan dengan keadaan kacau. Tubuhnya lemas hampir ambruk, untuk melangkah sa
Dialog terakhirnya bersama Erna terus menggaung di kepala Yura. Ucapan yang memintan untuk berhenti berjuang dan merelakan Rama menghantuinya setiap detik. Bahkan sebelum Erna pamit untuk pulang, kalimat-kalimat itu sudah menyerang kepalanya.Dan di sini lah dia sekarang. Terbaring mangu di atas kasur. Sorot matanya tawar ke arah plafon bercat putih bersih. Sedang memikirkan aksi yang tepat untuk ia lakukan. Mengikuti kata hati atau akal budi? Tidak tahu. Hatinya berkata ini menyakitkan, tetapi ego dalam kepalanya menyayangkan bila mereka harus berpisah. Kilas balik perjuangannya dengan Rama membangun hubungan begitu luar biasa. Mendapatkan restu Katrina untuk menikah itu tak mudah. Melewati hari dan beradaptasi dengan cacian Katrina itu juga tidak gampang. Hubungan mereka sudah sejauh ini. Apakah harus berakhir hanya karena sebuah kesalahpahaman? Bukankah itu masih bisa diluruskan? Tetapi yang dikatakan Erna beberapa waktu yang lalu ada benarnya. Apa pun yang akan Yura lakukan,
"Jangan-jangan aku kenapa? Aku tidak tahu maksudmu, Erna."Rasa mual yang tadi membabi buta, kini mereda. Meski masih terus mengacau isi perutnya, setidaknya rasa itu sedikit teralihkan dengan penasaran. Entah Erna yang tak gamblang, atau memang Yura yang sedang tak satu frekuensi dengannya, wanita itu mendadak dungu. Tidak menangkap maksud kalimat Erna yang patah-patah saat diucapkan."Sorry, tapi aku curiga ini berkaitan dengan pregnancy," jawab Erna dan seketika kedua mata Yura terbelalak lebar. Wanita itu langsung menggeleng cepat menyangkal tudingan Erna."Tidak mungkin!"Erna menghempas napas kasar. "Bagaimana kau yakin mengatakan tidak mungkin? Sementara kenyataannya kalian berhubungan setiap malam, Yura. Coba ingat kapan kalian terakhir melakukannya?" tuntut Erna meminta keterangan.Yura diam sejenak, melakukan perintah Erna untuk memutar reka adegan intim itu di kepalanya, memastikan kapan tanggal terakhir melakukannya dengan Gin. Mereka berhubungan sebagai perpisahan terak
Hari libur telah berganti menjadi hari kerja. Libur dua hari rasanya seperti hanya dua jam bagi Yura. Terlalu singkat. Padahal, satu hari kemarin hanya dihabiskan dengan tiduran sepanjang hari. Badannya sedang tidak bersahabat untuk beraktivitas.Mualnya memang tak parah, ia sesekali merasakan gejolak itu. Hanya saja demam dan gigil yang menyerang membuat tubuhnya seperti wanita sekarat di atas pembaringan. Tak bisa kemana-mana. Maunya tidur saja.Erna sudah kali berulang memintanya agar mau di antar ke dokter. Namun, wanita itu mengatakan penolakan dan memilih beristirahat di rumah. Mengandalkan obat dalam kotak PPPK miliknya.Dan sekarang, keadaan tubuh tak sepenuhnya baik, tetapi wanita itu menguatkan diri untuk menapaki setiap ubin berlapis marmer di gedung perusahaan bernama Satwika Group ini. Dia memiliki tekad yang besar agar apa yang ia rencanakan sejak kemarin tersampaikan kepada sang pimpinan.Dia menjelajahi koridor di lantai satu untuk menuju sebuah ruangan di sudut bangu
Jika semua keputusan bergantung pada Gin bagaimana dengan nasib hidupnya? Apakah pria itu akan melepasnya begitu saja? Sejak tadi pertanyaan-pertanyaan ini yang mengganggu konsentrasi Yura. Tabel jadwal bulanan dan daftar janji temu pimpinannya sampai detik ini belum rampung jua. Padahal, hanya tinggal memasukkan sejumlah agenda saja. Tidak perlu mengurutkan, tidak perlu membuat ulang.Selain itu, perut yang kembali bereaksi membuatnya menunda setiap gerakan jari. Kepalanya terasa berat, rasanya ingin rebahan saja. Penyakit apakah ini? Mengapa Yura malas sekali untuk melakukan pekerjaan apa pun hari ini?Sebenarnya ada tempat untuk berbaring di ruangan Presdir. Namun, tidak mungkin Yura memakainya, bukan?Dia lebih memilih menahan perasaanya daripada berbuat lancang dan sembarangan. Ini baru pukul sepuluh. Lebih kurang masih ada enam jam lagi dia berada di tempat ini. Entah kenapa waktu berjalan sangat lambat. Padahal biasanya Yura seperti tak memiliki waktu lebih. "Kenapa aku mual
Di rumah sakit."Yura? Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan"Wanita yang terbaring di atas ranjang sakit itu mengerjapkan mata beberapa kali tatkala suara seseorang menodongnya dengan berbagai pertanyaan.Dia bahkan belum bisa menerka apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Dia ada dimana? Dan kenapa bisa berada di ruangan berbau antiseptik itu. Tepat saat kedua matanya terbuka lebar, ia baru menyadari jjka Erna yang berdiri di hadapannya. Wajahnya menunjukkan kepanikan, sekilas Yura melihatnya."Aku dimana? Aku .... Ssh .... Kenapa?" gumamnya pelan. Pening berpusat di puncak kepala. Bibirnya kembali mendesis menahan nyeri dan mual yang datang bersamaan. "Kau ada di unit gawat darurat. Tadi kau pingsan di kantor dan aku diminta Bu Rika untuk membawamu ke rumah sakit. Aku sudah bilang, kan, jangan bekerja kalau belum baik. Tapi kenapa nekat?"Yura menghempas napas panjang. "Maaf, Erna. Tadi aku merasa lebih baik dari kemarin. Aku tidak tahu kalau malah jadi se
Yura sedang mengandung.Tiga kata yang menjadi fakta tak terelakkan bagi sang pemilik nama. Selain dua hasil testpack yang menunjukkan indikator sama persis, dokter sudah memvalidasi dengan hasil ultrasonografi. Ada janin kecil yang tubuh di dalam rahim Yura. Usianya sudah hampir empat minggu. Bagaimana bisa Yura melewatkan itu?Entah sekarang dia harus bereaksi seperti apa. Haruskah ia senang karena hasil itu mematahkan kesimpulan yang selama ini ia tanamkan padanya bahwa tak akan bisa mengandung. Dua telinganya mendengar sendiri bahwa ada kehidupan di dalam tubuhnya. Haruskah dia bahagia akan segera menjadi ibu?Atau, haruskah ia bersedih? Sebab jabang bayi itu tumbuh dari seorang pria yang suami sahnya. Mereka bahkan berpisah sekarang. Haruskah ia memberitahu Gin tentang ini? Bagaimana jika dia masih bekerja di Satwika Group dengan keadaan hamil? Bukankah itu akan menjadi bahan olokan? Karena tak mungkin suami yang baru saja koma bisa menghamilinya secepat itu. Terlebih usianya ya
Jika kerumitan sedang melanda Yura, maka hal yang sama juga terjadi kepada Gin. Pria itu sejak tadi tak henti menghempas napas lelah, berusaha membuang energi negatif yang menyelimutinya. Ia sedang pusing mengurus masalah yang terjadi di kantor. Tetapi saat kembali memusatkan perhatian pada pekerjaan, pikirannya kembali bercabang kemana-mana. Tentang usaha ibunya yang menemui masalah baru hingga harus menahannya di Semarang. Mungkin ia akan menetap di Kota Lumpia itu lebih lama lagi. Masyarakat menuntut perusahaannya, padahal ia adalah korban. Dia harus meluangkan waktu dan tenaganya untuk bermediasi dengan banyak pihak, terutama memberantas oknum yang membuat kasus ini semakin memanas. Pekerjaan rutin yang ia tinggalkan di Jakarta turut mengusik ketenangannya belum lagi dengan anak perusahaan yang sedang di-branding perlahan. Meski di sana sudah ada struktur organisasi sendiri tetap saja keputusan final juga tak lepas dari atensinya. Kemudian, kesehatan sang ibu kembali menurun