"Jangan-jangan aku kenapa? Aku tidak tahu maksudmu, Erna."Rasa mual yang tadi membabi buta, kini mereda. Meski masih terus mengacau isi perutnya, setidaknya rasa itu sedikit teralihkan dengan penasaran. Entah Erna yang tak gamblang, atau memang Yura yang sedang tak satu frekuensi dengannya, wanita itu mendadak dungu. Tidak menangkap maksud kalimat Erna yang patah-patah saat diucapkan."Sorry, tapi aku curiga ini berkaitan dengan pregnancy," jawab Erna dan seketika kedua mata Yura terbelalak lebar. Wanita itu langsung menggeleng cepat menyangkal tudingan Erna."Tidak mungkin!"Erna menghempas napas kasar. "Bagaimana kau yakin mengatakan tidak mungkin? Sementara kenyataannya kalian berhubungan setiap malam, Yura. Coba ingat kapan kalian terakhir melakukannya?" tuntut Erna meminta keterangan.Yura diam sejenak, melakukan perintah Erna untuk memutar reka adegan intim itu di kepalanya, memastikan kapan tanggal terakhir melakukannya dengan Gin. Mereka berhubungan sebagai perpisahan terak
Hari libur telah berganti menjadi hari kerja. Libur dua hari rasanya seperti hanya dua jam bagi Yura. Terlalu singkat. Padahal, satu hari kemarin hanya dihabiskan dengan tiduran sepanjang hari. Badannya sedang tidak bersahabat untuk beraktivitas.Mualnya memang tak parah, ia sesekali merasakan gejolak itu. Hanya saja demam dan gigil yang menyerang membuat tubuhnya seperti wanita sekarat di atas pembaringan. Tak bisa kemana-mana. Maunya tidur saja.Erna sudah kali berulang memintanya agar mau di antar ke dokter. Namun, wanita itu mengatakan penolakan dan memilih beristirahat di rumah. Mengandalkan obat dalam kotak PPPK miliknya.Dan sekarang, keadaan tubuh tak sepenuhnya baik, tetapi wanita itu menguatkan diri untuk menapaki setiap ubin berlapis marmer di gedung perusahaan bernama Satwika Group ini. Dia memiliki tekad yang besar agar apa yang ia rencanakan sejak kemarin tersampaikan kepada sang pimpinan.Dia menjelajahi koridor di lantai satu untuk menuju sebuah ruangan di sudut bangu
Jika semua keputusan bergantung pada Gin bagaimana dengan nasib hidupnya? Apakah pria itu akan melepasnya begitu saja? Sejak tadi pertanyaan-pertanyaan ini yang mengganggu konsentrasi Yura. Tabel jadwal bulanan dan daftar janji temu pimpinannya sampai detik ini belum rampung jua. Padahal, hanya tinggal memasukkan sejumlah agenda saja. Tidak perlu mengurutkan, tidak perlu membuat ulang.Selain itu, perut yang kembali bereaksi membuatnya menunda setiap gerakan jari. Kepalanya terasa berat, rasanya ingin rebahan saja. Penyakit apakah ini? Mengapa Yura malas sekali untuk melakukan pekerjaan apa pun hari ini?Sebenarnya ada tempat untuk berbaring di ruangan Presdir. Namun, tidak mungkin Yura memakainya, bukan?Dia lebih memilih menahan perasaanya daripada berbuat lancang dan sembarangan. Ini baru pukul sepuluh. Lebih kurang masih ada enam jam lagi dia berada di tempat ini. Entah kenapa waktu berjalan sangat lambat. Padahal biasanya Yura seperti tak memiliki waktu lebih. "Kenapa aku mual
Di rumah sakit."Yura? Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan"Wanita yang terbaring di atas ranjang sakit itu mengerjapkan mata beberapa kali tatkala suara seseorang menodongnya dengan berbagai pertanyaan.Dia bahkan belum bisa menerka apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Dia ada dimana? Dan kenapa bisa berada di ruangan berbau antiseptik itu. Tepat saat kedua matanya terbuka lebar, ia baru menyadari jjka Erna yang berdiri di hadapannya. Wajahnya menunjukkan kepanikan, sekilas Yura melihatnya."Aku dimana? Aku .... Ssh .... Kenapa?" gumamnya pelan. Pening berpusat di puncak kepala. Bibirnya kembali mendesis menahan nyeri dan mual yang datang bersamaan. "Kau ada di unit gawat darurat. Tadi kau pingsan di kantor dan aku diminta Bu Rika untuk membawamu ke rumah sakit. Aku sudah bilang, kan, jangan bekerja kalau belum baik. Tapi kenapa nekat?"Yura menghempas napas panjang. "Maaf, Erna. Tadi aku merasa lebih baik dari kemarin. Aku tidak tahu kalau malah jadi se
Yura sedang mengandung.Tiga kata yang menjadi fakta tak terelakkan bagi sang pemilik nama. Selain dua hasil testpack yang menunjukkan indikator sama persis, dokter sudah memvalidasi dengan hasil ultrasonografi. Ada janin kecil yang tubuh di dalam rahim Yura. Usianya sudah hampir empat minggu. Bagaimana bisa Yura melewatkan itu?Entah sekarang dia harus bereaksi seperti apa. Haruskah ia senang karena hasil itu mematahkan kesimpulan yang selama ini ia tanamkan padanya bahwa tak akan bisa mengandung. Dua telinganya mendengar sendiri bahwa ada kehidupan di dalam tubuhnya. Haruskah dia bahagia akan segera menjadi ibu?Atau, haruskah ia bersedih? Sebab jabang bayi itu tumbuh dari seorang pria yang suami sahnya. Mereka bahkan berpisah sekarang. Haruskah ia memberitahu Gin tentang ini? Bagaimana jika dia masih bekerja di Satwika Group dengan keadaan hamil? Bukankah itu akan menjadi bahan olokan? Karena tak mungkin suami yang baru saja koma bisa menghamilinya secepat itu. Terlebih usianya ya
Jika kerumitan sedang melanda Yura, maka hal yang sama juga terjadi kepada Gin. Pria itu sejak tadi tak henti menghempas napas lelah, berusaha membuang energi negatif yang menyelimutinya. Ia sedang pusing mengurus masalah yang terjadi di kantor. Tetapi saat kembali memusatkan perhatian pada pekerjaan, pikirannya kembali bercabang kemana-mana. Tentang usaha ibunya yang menemui masalah baru hingga harus menahannya di Semarang. Mungkin ia akan menetap di Kota Lumpia itu lebih lama lagi. Masyarakat menuntut perusahaannya, padahal ia adalah korban. Dia harus meluangkan waktu dan tenaganya untuk bermediasi dengan banyak pihak, terutama memberantas oknum yang membuat kasus ini semakin memanas. Pekerjaan rutin yang ia tinggalkan di Jakarta turut mengusik ketenangannya belum lagi dengan anak perusahaan yang sedang di-branding perlahan. Meski di sana sudah ada struktur organisasi sendiri tetap saja keputusan final juga tak lepas dari atensinya. Kemudian, kesehatan sang ibu kembali menurun
Deru mesin mobil yang berhenti di pekarangan rumah membuat Katrina segera mengakhiri aktivitas. Bantal yang sebelumnya ia letakkan di atas meja langsung ia rapikan ke sofa. Berikut dengan remote televisi dan vas yang belum rapi. Sesaat kemudian menyemprot ruang seluas 25 meter persegi itu dengan spray pengharum.Rona wajahnya berubah sumringah kala berjalan menuju pintu. Wanita paruh baya itu tak lupa memeriksa penampilannya. Tentu ia tak ingin terlihat buruk di depan orang yang saat ini sedang dekat dengannya. Sherina Hartantyo.Ya, Katrina sudah mengambil simpati pebisnis muda itu. Langkahnya tinggal sedikit lagi untuk berhasil mendapatkan keinginannya. Dengan begitu, maka ia tak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan uang.Seperti yang ia duga sebelumnya, begitu membuka pintu Sherina telah berdiri di hadapannya bersama dengan Rama. Katrina memang meminta Sherina untuk menjemput Rama di rumah sakit karena dokter sudah memperbolehkan putranya itu pulang. Namun, meski demikian kea
"Jika begitu keputusanmu, ibu mendukung. Percayalah selama Yura masih menjadi istrimu, hidup kita tak akan pernah tenang, Nak. Belum lagi nama keluarga kita akan tercemar. Secepatnya saja kau gugat istrimu. Tak perlu mediasi, langsung persidangan saja. Nanti ibu carikan pengacara yang baik." Katrina berkata lagi kepada sang putra. Sementara Rama hanya mengangguk. "Terserah saja. Aku serahkan semua pada ibu. Aku yakin ibu akan memikirkan yang terbaik untukku."Dua sudut bibir Katrina terangkat. "Tentu saja, Rama. Ibu pasti usahakan yang terbaik untuk kamu. Setelah bercerai, ibu harap kamu juga menurut untuk mengenal dekat dengan Sherina.""Maksud ibu?""Sherina itu gadis yang baik. Umur kalian juga sepantaran, bukan? Hanya dia yang bisa ibu andalkan sekarang. Ibu juga semakin tua, Rama, tidak mungkin terus mengurusmu. Setelah bercerai, siapa yang akan merawat kamu nanti? Jika kau tak cepat-cepat cari pengganti Yura, ibu hanya khawatir, kau terlalu nyaman sendiri. Lalu, ujungnya tidak