Kepala Yura sedang berkecamuk hebat. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya melihat situasi di luar jendela mobil taksi online-nya dengan tatapan hampa. Beberapa kali membuang napas berat kala mengingat kejadian lalu. Sekarang, semua kejanggalan yang tersimpan di benaknya telah menemukan jawaban. Dua pria yang ia kira berbeda ternyata adalah sosok yang sama. Dia masih tidak percaya jika sosok Gin yang selama ini berhubungan dengannya adalah atasannya sendiri. Arya Girindra Satwika, mungkin panggilan Gin berasal dari nama tengahnya? Entah mana yang benar.Sampai detik ini Yura masih bertanya-tanya, bagaimana bisa pria itu melakukannya dengan rapi? Semua strategi yang ia lakukan begitu apik sehingga Yura tak menyadari meski beberapa kali menaruh sangsi. Jadi, ini alasan Yura menjadi sekretaris dadakan di kantor? Dengan mudahnya dia menempati kursi jabatan penting tanpa melakukan apa-apa. Bahkan ketika bagian personalia telah memberikan masukan, Arya tetap saja teguh dengan keputusann
"Pengunduran diri."Tautan di kedua alis Erna belum terurai. Sekarang justru memiringkan kepalanya dan menatap bingung ke arah Yura. Mengapa Yura malah mengundurkan diri? Dan, dari mana?"Pengunduran diri dari mana?" tanyanya kemudian disusul dengan sebuah tebakan, "Maksudnya kau ingin mengundurkan diri dari perusahaan? Resign?"Yura memberikan satu anggukan sebagai jawaban. Benar. Itu adalah tujuannya. "Aku rasa itu solusi yang tepat. Aku tidak sanggup jika harus bertemu dengan Gin lagi. Aku—"Wanita itu mengatakan kalimatnya dengan nada panik. Dia sendiri yang memungkas kalimat itu lalu meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Namun, lain halnya dengan Erna. Wanita itu menggelengkan kepala tak setuju dengan keputusan Yura. "Jangan gegabah. Ini masalah pekerjaan dan uang, Yura. Jika kau keluar dari Satwika Group sementara kau sendiri belum punya pekerjaan pengganti bagaimana kau dapat uang nanti?" Apa yang dikatakan oleh Erna tidak salah. Pun sempat singgah di benak Yura beberap
Pada jam yang sama, di rumah sakit.Katrina meletakkan gelas yang dipakai baru saja dipakai Rama untuk meminum obat tiga puluh menit sebelum makan.Wanita itu duduk di samping kanan tempat brankar Rama berada. Ada rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Senyumnya mengembang tatkala melihat putranya mulai bisa mendapatkan kekuatan untuk memegang sesuatu—termasuk gelas kaca yang ia berikan— setelah sekian lama hanya menyaksikan putra sulungnya ini terpejam dan tak berdaya di atas pembaringan."Bagaimana perasaanmu, Nak? Sudah lebih baik? Apakah pusingnya masih terus muncul?" tanyanya kemudian.Rama menjawab dengan gelengan lemah. Pria itu masih terduduk dengan punggung bersandar pada kepala brankar. "Sudah lebih baik, Bu. Pusingnya sudah tidak seperti semalam."Karina menerbitkan senyumnya lagi. Lantas jemarinya mengusap lengan kurus putranya. "Kenapa memandangku begitu?" Rama menginterupsi bingung. Dia merasa terganggu lebih tepatnya canggung dengan Katrina yang tersenyum ke arahn
Tok tok tok.Pintu ruangan rawat inap diketuk tiga kali. Dua orang yang sedang menyimak siaran televisi segera menoleh ke arah papan berkelir biru muda itu. Pada detik yang bersamaan seorang wanita berambut panjang muncul setelah menarik pintu. Senyum wanita itu mengembang sempurna kala bertegur sapa dengan Katrina. Dress rajut tanpa lengan berwarna coklat membuat tubuhnya terlihat memikat. Rambutnya dikuncir kuda menambah kecantikannya menjadi sempurna. Riasan wajahnya yang ia gunakan cukup tebal tapi tak berlebihan. Wangi parfum mahal pun tercium menguar ke seluruh ruangan. Rama bahkan sempat terhipnotis sepersekian detik. Gerakan geraham mengunyah makanannya sampai terhenti.Sherina, wanita yang semalam menemaninya saat Katrina berkonsultasi dengan para medis. Dia pula yang beberapa saat lalu menjadi topik obrolannya dengan sang ibu.Wanita itu membawa satu paper bag berbahan eco friendly. Tak perlu dijelaskan Rama sudah tahu isinya. Makan siang untuk ibunya. "Maaf, Bu, aku lama
Yura bimbang ingin melanjutkan langkahnya menghampiri pria yang kini bertelanjang dada itu atau tidak. Atau memilih opsi lain untuk pergi saja dari tempat ini? Hatinya terlanjur sesak melihat wanita yang sampai detik ini tak ia ketahui statusnya sebagai apa dalam hidup Rama kembali muncul di hadapannya. Dia tak suka, jujur. Terlebih melihat mereka sedekat itu, saling menatap mesra layaknya sepasang suami istri. Oh, no! Seharusnya Yura yang berada di sana. Seharusnya Yura yang memeluk tubuh itu sekarang.Satu ide konyol muncul tiba-tiba. Kepalanya merencanakan sebuah tindakan. Bagaimana jika Yura yang lemah ini mengumpulkan keberanian, lalu menarik rambut panjang itu sampai rontok, menampar pipi mulusnya berkali-kali karena telah lancang menyentuh suaminya tanpa izin, kemudian mengeluarkan makian kasar lantas mengusir wanita itu pergi?Yura bahkan telah mengepalkan tangan bersiap menjalankan rencana terakhirnya. Namun, ketika ia menyadari bahwa perlakuan itu terlalu urakan dan murahan
"Bagaimana bisa, Yura? Kau yang bekerja keras selama lima tahun ini! Bukan Sherina! Apa lagi Bu Katrina, dia hanya tukang suruh dan memerintah semaunya saja, bicara pun tak enak di dengar! Bagaimana bisa mereka memutar balikkan fakta?"Erna menyugar rambutnya dengan kedua tangan. Raut wajah syok, tak percaya, dan heran bercampur menjadi satu. Dia baru saja mendengarkan cerita Yura tentang apa yang terjadi ketika datang menjenguk Rama di ruangan tadi. Erna tak tahu menahu sebab ia memilih menunggu di luar karena memang hanya keluarga pasien saja yang diijinkan untuk menjenguk. Urusan dan pertanyaan mengapa Sherina bisa masuk ke sana itu ia tak tahu awal sebabnya. Dia hanya mematuhi peraturan yang ada saja.Sejak awal Yura meninggalkannya, Erna memang sempat mendengar sedikit keributan dari dalam ruangan inap. Hingga akhirnya Sherina keluar. Ia juga mendengar Rama berteriak mengusirnya pergi. Lalu Yura keluar ruangan dengan keadaan kacau. Tubuhnya lemas hampir ambruk, untuk melangkah sa
Dialog terakhirnya bersama Erna terus menggaung di kepala Yura. Ucapan yang memintan untuk berhenti berjuang dan merelakan Rama menghantuinya setiap detik. Bahkan sebelum Erna pamit untuk pulang, kalimat-kalimat itu sudah menyerang kepalanya.Dan di sini lah dia sekarang. Terbaring mangu di atas kasur. Sorot matanya tawar ke arah plafon bercat putih bersih. Sedang memikirkan aksi yang tepat untuk ia lakukan. Mengikuti kata hati atau akal budi? Tidak tahu. Hatinya berkata ini menyakitkan, tetapi ego dalam kepalanya menyayangkan bila mereka harus berpisah. Kilas balik perjuangannya dengan Rama membangun hubungan begitu luar biasa. Mendapatkan restu Katrina untuk menikah itu tak mudah. Melewati hari dan beradaptasi dengan cacian Katrina itu juga tidak gampang. Hubungan mereka sudah sejauh ini. Apakah harus berakhir hanya karena sebuah kesalahpahaman? Bukankah itu masih bisa diluruskan? Tetapi yang dikatakan Erna beberapa waktu yang lalu ada benarnya. Apa pun yang akan Yura lakukan,
"Jangan-jangan aku kenapa? Aku tidak tahu maksudmu, Erna."Rasa mual yang tadi membabi buta, kini mereda. Meski masih terus mengacau isi perutnya, setidaknya rasa itu sedikit teralihkan dengan penasaran. Entah Erna yang tak gamblang, atau memang Yura yang sedang tak satu frekuensi dengannya, wanita itu mendadak dungu. Tidak menangkap maksud kalimat Erna yang patah-patah saat diucapkan."Sorry, tapi aku curiga ini berkaitan dengan pregnancy," jawab Erna dan seketika kedua mata Yura terbelalak lebar. Wanita itu langsung menggeleng cepat menyangkal tudingan Erna."Tidak mungkin!"Erna menghempas napas kasar. "Bagaimana kau yakin mengatakan tidak mungkin? Sementara kenyataannya kalian berhubungan setiap malam, Yura. Coba ingat kapan kalian terakhir melakukannya?" tuntut Erna meminta keterangan.Yura diam sejenak, melakukan perintah Erna untuk memutar reka adegan intim itu di kepalanya, memastikan kapan tanggal terakhir melakukannya dengan Gin. Mereka berhubungan sebagai perpisahan terak