Yura menyesal baru membuka ponselnya di siang hari. Terkushus pada pesan-pesan yang tidak ia prioritaskan, seperti pesan Erna semalam. Ada kurang lebih 5 panggilan tak terjawab. Lalu sebuah pesan yang memintanya untuk cepat-cepat pergi ke rumah sakit.Kini tak ada gunanya dia terkejut. Terlambat. Sebab pesan itu dikirim kemarin bukan hari ini. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Yura sendiri bingung karena saat ini pekerjaannya sangatlah banyak dan tak bisa disela. Dia harus menemani Arya bertemu dengan tamu dari luar negeri. Tak mungkin ia tinggalkan karena ini berkaitan dengan investor baru. Bahkan setelah ini ia harus mengikuti sang pimpinan menyimak presentasi dari arsitek untuk renovasi gedung baru di sebelah selatan kantor ini. Tak mungkin ia tinggalkan juga sebab dirinya lah yang harus follow up masalah tersebut di kemudian hari.Semuanya penting. Rama pun tak kalah genting. Namun, pada akhirnya Yura memilih membalas pesan Erna terlebih dahulu. Disela-sela rapat yang membahas
Tautan tubuh wanita paruh baya terlepas. Katrina mengerutkan dahi seraya menyurut air mata lalu bergerak menyingkir ke samping. Sehingga Yura bisa melihat dengan jelas peristiwa apa yang terjadi. Satu hal membuat Yura sedikit tercenung. Ada wanita lain yang masuk di ruangan ini. Berpakaian modis berambut panjang sama seperti yang dia lihat terakhir kali di dekat instalasi gizi.Namun, Yura tak peduli karena saat ini perhatiannya bukan pada wanita itu. Dia lantas melempar pandangan ke arah lain.Seorang pria bertubuh kurus terduduk di atas brankar. Baju seragam rumah sakit yang digunakan bertahun-tahun itu telah lukat dari badannya. Tempat tidur yang ia gunakan bertahun-tahun seakan kuasa menggerus tubuhnya dari waktu ke waktu. Dada bidangnya terekspos, menampakkan kerut-kerut tulang rusuk yang begitu kentara. Banyak alat-alat medis yang masih melekat di sana. Selang oksigen membelit hidung dan infuse yang tertancap di lengannya.Saat itu lah ia menyadari satu hal:Ramaditya Chandra
Yura menapak jejak lantai berbahan marmer dengan langkah lunglai. Dua bahunya turun dan kepalanya tertunduk. Di depan pintu unit wanita itu menghentikan langkahnya. Sejenak memandang pintu bernomor: 16A02. Ingatannya lantas melayang pada saat ia pertama kali mengunjungi tempat ini.Sekitar delapan bulan yang lalu, di posisi yang sama ia memandang ragu ruangan itu. Dia takut dengan segala hal yang terjadi ke depannya. Lalu dengan segala keterpaksaaan juga rasa bersalahnya dia akhirnya menghuni tempat ini. Namun, siapa sangka, setelah hari-hari berjalan justru sekarang ia telah nyaman. Yura telah menganggap tempat itu sebagai rumah tinggalnya sendiri. Ada banyak cerita yang pernah ia rangkai di sana. Terutama perayaan kecil yang ia buat kemarin malam. Sekarang bagaimana caranya dia bicara dengan Gin? Bagaimana ia harus merangkai kata untuk mengakhiri hubungan mereka? Apakah setelah perpisahan itu dia akan baik-baik saja? Dadanya kembali sesak. Air matanya tumpah lagi.Dengan satu gera
Bel apartemen telah dibunyikan.Seharusnya Yura telah bersiap di dalam sana dan Gin hanya tinggal masuk ke dalam kamar lalu melakukan aktivitas mereka seperti biasa. Namun, untuk kali ini pria paruh baya itu meragu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Semakin melangkah dekat, semakin dadanya memberat. Tangan pria itu hendak meraih gagang pintu, tetapi hanya berakhir menggantung di udara dan mengepal sempurna. Kepalanya tertunduk dan bola matanya terkatup rapat. Ia sudah berusaha menerima semuanya melupakan sesak yang sejak tadi menghujam jantungnya, tetapi kenapa sekarang gerombolan pilu itu menyerangnya lagi. Tidak! Ia harus bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Gin sendiri yang telah memilih jalan ini untuk menjalin hubungannya dengan Yura. Maka dia harus menerima sebab akibat yang terjadiDia mencoba menutup telinga dari gaungan suara yang terlintas di benaknya. It is your last night with her.Ingin menyangkal, trtapi memang benar, jika malam ini adalah hari terak
Malam yang terasa singkat sudah berlalu berganti dengan cahaya yang cerah di pagi hari. Yura masih terbaring di atas tempat tidur, enggan membuka mata walau sinar matahari telah menyiram kota tempatnya tinggal ini. Kelopak matanya seperti ditindih beban yang berat. Rasanya malas untuk membukanya. Hari ini dia libur. Sebab memang tanggal merah. Terlebih semalam dia menangis cukup lama setelah membuat perpisahan bersama sang Tuan berimbas pada mata yang terasa sembab.Ah! Jika mengingat momen itu dadanya hanya akan kembali sesak. Bola matanya bahkan spontan memanas, ingin menangis lagi. Peristiwa malam kemarin tak akan pernah terlupakan. Jasa pria yang berusia sepantaran pamanya itu akan selalu ia kenang sepanjang hayatnya. Meski ia tak pernah tahu nama aslinya. Meski ia tak pernah melihat wajahnya secara langsung. Gin mengatakan semalam jika dia butuh bantuan, pintunya akan selalu terbuka untuknya. Dia tak pernah melarang Yura membuka komunikasi. Pria itu juga mengatakan, Yura akan
Kepala Yura sedang berkecamuk hebat. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya melihat situasi di luar jendela mobil taksi online-nya dengan tatapan hampa. Beberapa kali membuang napas berat kala mengingat kejadian lalu. Sekarang, semua kejanggalan yang tersimpan di benaknya telah menemukan jawaban. Dua pria yang ia kira berbeda ternyata adalah sosok yang sama. Dia masih tidak percaya jika sosok Gin yang selama ini berhubungan dengannya adalah atasannya sendiri. Arya Girindra Satwika, mungkin panggilan Gin berasal dari nama tengahnya? Entah mana yang benar.Sampai detik ini Yura masih bertanya-tanya, bagaimana bisa pria itu melakukannya dengan rapi? Semua strategi yang ia lakukan begitu apik sehingga Yura tak menyadari meski beberapa kali menaruh sangsi. Jadi, ini alasan Yura menjadi sekretaris dadakan di kantor? Dengan mudahnya dia menempati kursi jabatan penting tanpa melakukan apa-apa. Bahkan ketika bagian personalia telah memberikan masukan, Arya tetap saja teguh dengan keputusann
"Pengunduran diri."Tautan di kedua alis Erna belum terurai. Sekarang justru memiringkan kepalanya dan menatap bingung ke arah Yura. Mengapa Yura malah mengundurkan diri? Dan, dari mana?"Pengunduran diri dari mana?" tanyanya kemudian disusul dengan sebuah tebakan, "Maksudnya kau ingin mengundurkan diri dari perusahaan? Resign?"Yura memberikan satu anggukan sebagai jawaban. Benar. Itu adalah tujuannya. "Aku rasa itu solusi yang tepat. Aku tidak sanggup jika harus bertemu dengan Gin lagi. Aku—"Wanita itu mengatakan kalimatnya dengan nada panik. Dia sendiri yang memungkas kalimat itu lalu meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Namun, lain halnya dengan Erna. Wanita itu menggelengkan kepala tak setuju dengan keputusan Yura. "Jangan gegabah. Ini masalah pekerjaan dan uang, Yura. Jika kau keluar dari Satwika Group sementara kau sendiri belum punya pekerjaan pengganti bagaimana kau dapat uang nanti?" Apa yang dikatakan oleh Erna tidak salah. Pun sempat singgah di benak Yura beberap
Pada jam yang sama, di rumah sakit.Katrina meletakkan gelas yang dipakai baru saja dipakai Rama untuk meminum obat tiga puluh menit sebelum makan.Wanita itu duduk di samping kanan tempat brankar Rama berada. Ada rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Senyumnya mengembang tatkala melihat putranya mulai bisa mendapatkan kekuatan untuk memegang sesuatu—termasuk gelas kaca yang ia berikan— setelah sekian lama hanya menyaksikan putra sulungnya ini terpejam dan tak berdaya di atas pembaringan."Bagaimana perasaanmu, Nak? Sudah lebih baik? Apakah pusingnya masih terus muncul?" tanyanya kemudian.Rama menjawab dengan gelengan lemah. Pria itu masih terduduk dengan punggung bersandar pada kepala brankar. "Sudah lebih baik, Bu. Pusingnya sudah tidak seperti semalam."Karina menerbitkan senyumnya lagi. Lantas jemarinya mengusap lengan kurus putranya. "Kenapa memandangku begitu?" Rama menginterupsi bingung. Dia merasa terganggu lebih tepatnya canggung dengan Katrina yang tersenyum ke arahn