Dokter yang menangani sudah mempersilakan Yura untuk pulang. Kini wanita itu sedang duduk pada kursi panjang berbahan besi di depan sebuah poli, menanti Arkatama yang mengambil kursi roda. Yura sebenarnya sudah melarang, dia bisa berjalan kalau hanya sepanjang koridor menuju parkiran saja akan tetapi Arya memaksa agar menggunakan alternatif tersebut. Entah apa maunya, Yura menurut saja. Ia tidak mau membantah sebab itu semua hanya membuang tenaganya. Percuma, karena semua titah Arya tak akan bisa dilunakkan. Arkatama bahkan tunduk padanya. Tidak ada negosiasi yang dilakukan oleh pengacara itu, justru mempersilakan ketika Arya mengusulkan keinginannya. “Ya? Saya sedang di luar, kirim email saja. Besuk pagi bawa print out-nya ke ruangan saya.” Yura menoleh kepada pria berkemeja putih yang duduk di sampingnya. Sejak mereka keluar dari unit gawat darurat dan duduk di tempat ini, lelaki itu tak mengajaknya bicara. Ibu jarinya sibuk mengetuk layar ponsel dan kini pria itu sedang menjaw
TIINN! TINN!Bunyi klakson yang bersahutan dari beberapa kendaraan mengembalikan kesadaran mereka. Arya langsung menarik dirinya jauh-jauh dari tubuh Yura dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan. Mobil keluaran terbaru ini kembali melaju pelan mendahului kendaraan lain yang memadati jalanan. Ini sudah ke sekian kalinya, Arya bertindak di luar dugaan.Sementara Yura segera memasok oksigen ke dalam paru-parunya, setelah menahan napas untuk sekian lama. Astaga! Jantungnya bisa meledak bila saja pengendara lain tak mendesak agar mobil ini segera berjalan, atau malah bisa jadi Yura tenggelam dalam pesona atasannya sendiri.Hari ini benar-benar tidak terduga oleh Yura. Kasus Narendra yang berujung membuat pertemanannya berakhir, dirinya yang hampir meregang nyawa karena tertabrak motor, lalu sekarang atasannya sendiri hampir membuatnya jantungan!***Gin sedang berdiri di sebuah kamar bernuansa hitam yang dominan. Kemejanya telah terlepas entah kemana. Dia hanya bertelanjang dada. Cah
Yura terbaring dalam keadaan terjaga walau kedua matanya di bebat kain hitam. Kilas seorang wanita berambut panjang yang berdiri di dekat instalasi Gizi tadi terus menghantui pikirannya. Kini jelas, wanita yang dilihat Erna kemarin bukanlah sekadar seorang tamu asing pengunjung suaminya. Katrina, sampai tersenyum hangat dan lebar ke arahnya. Selama ini, sangat jarang Yura melihat senyum setulus itu dari sang ibu mertua. Mereka layaknya teman akrab yang sering bertemu. Tapi mengapa Yura sampai saat ini tak pernah tahu tentang wanita itu?Lalu, dia sedang merenungkan setiap kejadian yang terjadi padanya sepanjang hari ini. Dengan adanya pertengkaran bersama Narendra membuatnya pulang malam karena harus bertemu dengan Erna, lalu setelah bertemu Erna dia mengetahui sebuah informasi bahwa ada perempuan asing yang mengunjungi Rama. Usai pulang dari sana dia justru tertabrak motor dan berujung membawanya ke rumah sakit, bertemu dengan pimpinannya, hingga dirinya menemukan sendiri perempuan
"Memangnya .... Apa yang ingin kau bahas?" Yura berusaha memiringkan badannya menghadap kearah Gin. Sekuat tenaga ia bergulir ke kanan, memindahkan tumpuan tubuhnya ke sana, kemudian menaruh lengan kirinya yang terluka di atas paha Gin. Kebiasaan pria itu tidur tak mengenakan baju. Hanya celana boxer setinggi paha sehingga Yura bisa dengan jelas merasakan bulu-bulu kaki milik Gin bersentuhan dengan kulit tubuhnya.Dalam hati, menghitung detik demi detik yang berjalan menanti apa yang akan Gin katakan padanya. Perasaanya mengatakan bahwa topik pembicaraan mereka akan serius, kala mendengar perubahan intonasi yang tak lagi ramah."Hukuman untukmu!" Gin semakin mendingin."Hu—hukuman? Hukuman untuk apa?" tanyanya meninggalkan kerutan dahi dan debar kencang di dalam dada. Masalah apa yang dia perbuat hingga Gin memberinya hukuman? "Aku melarangmu pergi-pergi sementara ini. Termasuk mengunjungi Rama, atau pun bertemu dengan Erna! Setela
"Selamat pagi, Bu Yura, saya berharap kondisi Ibu sudah semakin membaik."Seorang pria mengenakan jas abu-abu menyapa ramah ketika Yura membuka pintu. Sebuah lengkung manis terbit menyambut di bibir sang pengunjung. Aroma amber dan musk yang berpadu langsung menguar menggelitik rongga hidungnya.Pandangan Yura tertuju pada tangan kekar yang menenteng sebuah tas jinjing bahan kulit berwarna hitam. Ingatan Yura lalu tertambat pada kalimat Gin sebelum mereka tidur semalam. Arkatama akan datang membawa perjanjian baru mereka. "Kebetulan saya sudah baikan, Pak Arka," balas Yura. "Silakan masuk."Yura beringsut mundur mempersilakan Arkatama untuk masuk dalam apartemen. Dengan kaki yang sedikit timpang wanita itu berjalan lebih dulu menuju ruang tamu. Sedangkan tangan kanan suami kontraknya itu berjalan di belakang."Pak Arka mau minum dulu?" tawar Yura setelah Arkatama tiba di sofa kendati Entah bisa entah tidak dirinya membuat minuman itu, adab seorang pemilik rumah tentu harus menghormat
"Kenapa surat keterangan sakit milik Yura bisa dibawa Bapak?" Tatapan seorang wanita berkacamata berubah menyelidik ketika sang atasan di hadapannya menyerahkan selembar amplop berisi surat keterangan sakit dn izin dokter. Lalu ketika memindai barisan huruf nama Yura Anastasia terpampang nyata di bagian depannya. Semalam wanita yang sering terlambat itu mengirim pesan jika dirinya tak masuk kerja hari ini karena mengalami sebuah musibah kecelakaan. Sehingga dirinya mengalami luka-luka ringan. Lalu surat izin dibawa oleh Arya. Semalam suntuk Yura memikirkan apa yang terjadi. Dan kini ia mendapatkan jawabannya.Tiga menit yang lalu, ia dikejutkan dengan kedatangan pria paruh baya di ruangannya. Arya mampir ke sana hanya untuk menyerahkan lembaran kertas tersebut. Ia melihat dengan jelas penampilan Arya yang baru saja datang, satu tangan bahkan masih menenteng tas kerja kesayangannya.Bukan Arya yang dikenalnya. Arya tak pernah begini sebelumnya. Rika juga sudah menandai setiap kejadia
Gin menghentikan kegiatannya saat mendengar pintu diketuk. Satu lembar denah cetak biru sebuah bangunan terpaksa diletakkan sejenak. Dari celah kaca ia sudah melihat siapa yang datang siang ini, Arkatama berdiri di depan sana. Dalam diam, Pria itu mengangguk mempersilakan sang ajudan untuk masuk."Selamat siang, Tuan," sapa pria berjas abu-abu itu seraya membungkukkan badan begitu tiba di seberang mejanya."Siang." Gin kemudian menyingkirkan lembaran kertas biru itu ke tepi meja. Selanjutnya, menunjuk kursi dengan dagunya agar Arkatama duduk pada kursi kosong di hadapannya. "Kau sudah mengurus kontrak baru?" Anggukan singkat diberikan Arkatama. Berkas-berkas yang disimpan dalam tasnya lantas dikeluarkan dijajarkan rapi di atas meja. "Sudah, Tuan, berikut dokumen perjanjian baru yang sudah ditandatangani oleh Yura. Bu Yura juga sudah menyerahkan sim-card yang digunakan untuk menghubungi Erna," lapornya seraya menyerahkan berkas dan sebuah plastik zip lock berisi kartu kecil.Sebelah a
Bunyi kertap pintu dibuka tertangkap di indera pendengaran membuat Yura terkesiap. Belum sempat pusat sarafnya mencerna, ia mendengar derit pintu ditutup lalu dibuka lagi. Wanita yang sedang terbaring miring dengan kedua mata tertutup segera mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Satu aroma konstan tercium. Derap langkah yang terhenti di samping telinganya sudah menjelaskan bahwa sosok yang sedang memasuki ruang istirahatnya saat ini adalah Tuan Gin. Dia sudah pulang. Entah kapan pria itu membunyikan lonceng kedatangannya, Yura tidak tahu, lebih tepatnya tidak mendengar. Terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri, larut ke dalam sebuah renung. Apakah keputusan yang ia ambil selama ini sudah benar? Jika mungkin benar apakah tepat? Karena segala sesuatu yang benar saja belum tentu tepat. Salahkan dia mengorbankan hatinya dan mempertaruhkan pernikahannya sendiri demi pernyataan sebuah cinta? Jika cinta, mengapa sampai rela mengorbankan? Itu lah yang sejak tadi bergejolak dalam b