Di kamar hotel. Yura telah dibaringkan di atas ranjang, meski begitu tubuh mungilnya terus bergerak gelisah. Sepuluh jemarinya menempel di kepala, sesekali menjambak erat helaian rambut hitamnya. Dia mengerang, tak sanggup merasakan panas juga gelenyar asing yang terus bergejolak dalam dirinya. Bibir merah itu bahkan tak henti meracau meminta tolong. “Aku mohon! Ini .... ssh panas sekali! Tolong!” Yura bergumam. Di sisi lain seorang pria dalam keadaan setengah sadar menutup pintu kamar, diputarnya kunci itu satu kali. Sebuah senyum iblis terbit di bibirnya kala melihat kaki perempuan yang ia bawa telah melebarkan kaki dan merengek meminta tolong “Aku ti—dak tahan lagi!” Wanita itu mengerang dengan terbata. “Tidak tahan, ya?” Narendra berjalan mendekat ke arah Yura, menghampirinya dan duduk di ujung ranjang. Jemarinya bergerak mengelus tumit dengan gerakan memutar. Hal itu justru semakin membuat Yura terbakar oleh gairah yang tiba-tiba membara. Satu desahan lolos dari bibirnya.
BUGH!BUGH!BUGH!Kepalan tangan Gin menghantam wajah Narendra sebanyak tiga kali. Namun, seakan tak puas pria itu menambahnya empat pukulan lagi hingga Narendra terkapar di atas lantai. Bila Arkatama tak melerainya, maka kemungkinan besar ia akan terjerat kasus pembunuhan besuk pagi. Dalam Kondisi semacam ini, tak mungkin ia tak marah. Terlebih setelah melihat keadaan Yura yang memprihatinkan, rasanya tak akan ada ampun lagi bagi Narendra. Wanita itu tegeletak lemah tak berdaya, gaun yang dia gunakan telah robek di bagian dada. Lalu, ada satu hal lagi yang memupuk kemarahannya. Bekas merah Narendra di bagian pipi dan leher Yura. “Tuan, sudah! Tuan bisa membunuhnya!” Arkatama berseru. Dia menahan satu lengan Gin agar atasannya itu tak melakukan hal di luar batas. Narendra memang bersalah, tetapi bukan wewenang mereka untuk menghakimi. Lebih baik serahkan saja kepada kepolisian atau pihak hotel agar ditindaklanjuti.“Kendalikan emosi, Tuan. Kita harus membawa Yura pulang!” ujar Arka
Waktu telah berjalan setengah hari. Gin bahkan sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah walau tak banyak. Sekadar mencuci baju, menyapu beberapa ruangan, dan membeli makanan. Ya, jangan berharap Gin akan memasak! Dia jelas tak pandai soal urusan dapur. Lelaki sepertinya lebih memilih mengeluarkan uang dari pada repot-repot mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mengolah bahan makanan. Yura belum bangun sama sekali. Wanita itu masih berkutat dengan mimpi, meringkuk layaknya bayi di balik selimut. Entah karena kelelahan atau alkohol yang ditenggaknya semalam, ia tidur sampai mendengkur. Gin sendiri tak terganggu, ia juga tak berniat membangunkan. Biarkan saja Yura istirahat dahulu. Lelaki berkaos hitam itu duduk di atas ranjang, lebih tepatnya di samping Yura. Sebelah lututnya tertekuk, pahanya memangku sebuah komputer jinjing dengan layar menyala. Sementara satunya lagi terselonjor bebas. Dia tidak sedang bekerja, tetapi sedang mengamati satu per satu gambar juga rekaman CCTV y
“Buka mulutmu!” Yura merapatkan bibir kala mendengar perintah dari Gin. Dengan kedua mata yang belum sama sekali terbuka, dia merasakan bahwa tubuh lelaki itu telah mendarat di samping kanannya. Ketuk benda yang berbenturan dengan meja kaca di hadapannya juga tertangkap indera pendengaran.Yura sendiri tidak mengerti apa yang membuat Gin memintanya membuka mulut. Sebelumnya, Gin meminta menunggu sebentar kemudian pergi entah kemana. Lalu tidak sampai lima menit dia kembali lagi. Wanita itu hanya tahu jika mereka sedang duduk di atas sebuah sofa. Gin sendiri yang menuntun ke sana setelah memandikannya.Memandikannya? Benar, siang ini pria itu beralih profesi menjadi seorang perawat dan Yura sudah semacam anak bayi atau malah lansia yang tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. Gin yang membersihkan tubuhnya, bahkan hingga mengeringkan rambut suaminya terlihat sangat terampil. Sebenarnya Yura tak setuju akan hal ini, dia masih bisa melakukan semua itu sendiri. Dia sudah dewasa,
“Kenapa tidak menelponku lebih dulu kalau kau akan datang, Arka?”Sehabis membawa istrinya masuk ke dalam kamar, Gin kembali lagi ke ruang tamu untuk menemu orang yang tadi menganggu aktivitas olahraganya. Sorot mata pria itu kesal bercampur malu ke arah Arkatama. Ayolah! Ini pertama kalinya Gin tertangkap basah saat sedang hampir bercinta!Sebenarnya, Arkatama juga tidak sepenuhnya salah. Dia sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Dia sudah menghubungi, sayangnya tidak tersambung. Lantas pada akhirnya, dia membuat keputusan untuk masuk ke dalam rumah ini. Gin pun tahu, Arkatama tak akan menyelonong masuk bila tanpa sebab. Untung saja Gin dan Yura belum melucuti pakaian mereka, jika tidak maka habislah nama baiknya di depan bawahannya sendiri. Sementara Arkatama tersenyum menunduk. Ingin tertawa tetapi tertahan sebab tatapan Gin begitu intens ke arahnya. “Maaf, Tuan, sebelumnya saya sudah menelpon. Namun, tidak terangkat, jadi saya pikir Tuan masih menyuapi Yura.” Dia meng
Hari berikutnya.Yura menapaki petak marmer yang membentang luas di halaman lobby apartemen tempat ia tinggal—sementara—ini. Satu rencana panjang tersusun rapi di kepalanya. Menunggu taksi, berangkat, lalu dia akan pergi ke kantor. Dia harus segera tiba di sana untuk menyiapkan belasan bendel berkas yang telah ditumpuk di atas mejanya oleh beberapa karyawan lain. Deretan pesan masuk dalam ponselnya pagi ini penuh dengan permintaan para karyawan yang menyampaikan pekerjaan mereka kepada Arya. Dan itu juga membuatnya pusing karena Yura harus meneliti satu per satu berkas itu dengan seksama. Bila tidak—seandainya ada kesalahan—Yura yang akan kena semprot.Detik demi detik berlalu. Entah sudah berapa kali dia menengok arloji yang melingkar di tangan kiri. Namun mobil yang dia tunggu-tunggu belum juga datang. Lalu, saat dia memeriksa aplikasi taksi online tersebut ada sebuah pesan dari sang pengemudi. [Sebentar, ya, Bu. Mohon maaf jika terjadi keterlambatan. Trafic jalanan sedang padat.]
Di depan meja bundar berbahan kaca ketuk stileto hitam milik seorang wanita berkemeja putih terhenti. Begitu juga dengan gerakan melambat sepasang kaki jenjang yang menyusul di belakangnya. Arya mendongak, mendapatkan Rika dan Narendra terpaku di hadapannya. “Selamat pagi, Pak.” Rika yang pertama memecah kecanggungan.Lekuk wajah Arya tidak berubah sedikit pun. Tidak menjual ekpresi apa pun. Lima jemarinya mengacung bersamaan, memberi intruksi kepada dua orang itu untuk bergeser dan mendaratkan tubuh pada sofa di hadapannya. Narendra dan Rika menurut.President Direktur Satwika Group tidak memberikan kata sambutan maupun pengantar. Dia hanya meletakkan tablet kerjanya di tengah meja. Layarnya terang menampilkan sebuah berita terkini yang dimuat di website media cukup terkenal di Indonesia. Tanpa mereka melirik, gurat datar wajah Arya sudah menunjukkan ketidaksenangan. “Saya sebenarnya tidak peduli. Perkara seperti ini bukan urusan saya, tetapi karena nama Satwika Group terseret, mak
Diberhentikannya Narendra dari Satwika Group telah menyebar dari telinga satu ke telinga yang lainnya. Kabar semakin meledak saat yang bersangkutan berpamitan dengan rekan satu divisi. Sontak saja, ratusan pegawai heboh dalam waktu kurun beberapa detik setelahnya. Sebagian yang sudah menebak bahwa hal ini akan terjadi terus membahasanya tanpa henti. Sebagian lain yang masih tidak percaya hanya bisa mendecakkan bibir dan menggelengkan kepala, menyayangkan perbuatan tidak terpujinya. Sisanya tak ingin menanggapi dan memilih berkutat dengan pekerjaan. Tak lain halnya dengan Yura. Di antara pegawai lain wanita itu tahu lebih dahulu tetapi ia tak ingin memberikan reaksi apa pun. Ia belum sanggup untuk bertatap muka dengan Narendra. Bahkan saat mengetahui lelaki itu akan ke luar dari ruangan pimpinannya, Yura cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi di bilik kamar mandi. Ia mendengar semuanya, begitu juga dengan suara Arya yang lantang terdengar di penghujung percakapan. Dia tak berma