Arkatama tidak ingin gegabah untuk membuat sebuah kesimpulan. Ia harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu. Acara apakah itu? Apakah Yura akan pergi ke atau tidak? Dengan siapa wanita itu akan pergi? Jika Yura menghadirinya, maka mau tidak mau Arkatama harus melakukan sesuatu, setidaknya memberikan sebuah pengawasan untuk Yura. Mengingat ini adalah acara bebas dan personal, semua di luar tanggung jawab perusahaan—dan oleh sebab itu sang Tuan kemungkinan tak diundang ke sana—sehingga bila luput pengawasan apa saja bisa terjadi kepada Yura. Terlebih saat ini Tuannya sedang memiliki masalah lain yang berkaitan kepentingan keluarga. Arkatama lantas meraih ponselnya sendiri, lalu membuka aplikasi kamera dan memotret layar ponsel Yura. Setelahnya lelaki itu menelpon seseorang. “Temui aku setelah makan siang, aku punya tugas untukmu!” *** [“Narendra juga mengundangku, tapi aku tidak bisa datang karena mertuaku tidak ada yang menjaga dan suamiku shift malam. Kau yakin akan berang
Sesampainya di rumah sakit. Di paling sudut cafetaria dua orang pria mendaratkan tubuhnya. Sengaja memilih tempat ini, sebab paling lengang di antara sisi lain. Sementara menunggu minuman yang telah mereka pesan, Gin hanya memainkan ponselnya, sedangkan Arkatama sejenak mengamati sang tuan. Lekuk lelah tergambar jelas di wajahnya. Dua mata yang berkantung telah menghitam di beberapa sudut, bibir pucat, dan rambut yang berantakan sudah menjelaskan bahwa atasannya itu tidak memiliki waktu istirahat yang cukup, atau bisa jadi malah belum sama sekali. Meski ia sudah memesan kamar sendiri untuk istirahat, tetapi mungkin tidak nyaman. Tidur di rumah sakit memang memiliki suasana yang berbeda meski tempat tidur yang digunakan hampir sama. Arkatama memaklumi kesibukan Gin saat ini. Atasannya itu harus menjaga sang ibunda yang dirawat beberapa hari lalu karena kelelahan dan hipertensi, kemudian urusan kantor, juga project hal yang harus segera di selesaikan, membuat pria setengah baya men
Yura berjalan menerobos sebuah pintu. Dua orang berbadan gempal berdiri di masing-masing gawang menggunakan seragam serba hitam beringsut mundur memberinya askses jalan. Satu tangannya membawa sebuah paperbag hitam berlogo fashion brand terkenal. Satu tangan yang lain memegang clutch bag kesayangannya. Kedua netra spontan menyipit ketika mulai terganggu dengan kilau warna-warni spot light. Wanita bergaun hitam dengan tali model spagetti di pundak itu sudah mulai familiar dengan tempat yang menggetarkan jantung ini—walau hanya beberapa kali pergi ke club. Ketika sampai di barisan sofa merah, Yura mengedarkan pandangannya, mencari sesosok pria berkumis tipis. Narendra mengatakan bahwa menunggu Yura di tempat yang telah dia beritahukan sebelumnya melalui pesan singkat. Namun, Yura tak melihat satu pun manusia yang ada di tempat ini. Hanya ada beberapa orang berkerumun tetapi di bagian yang lain. Apakah ia datang terlalu dini? Batinnya bertanya demikian. Tiba-tiba saja sebuah tepukan
Satu per satu tamu mulai berdatangan. Kian lama manusia-manusia itu memadati ruangan yang Yura gunakan untuk duduk saat ini. Dari penampilan saja sudah bisa ditebak bahwa mereka adalah orang-orang golongan kelas atas dan tajir melintir. Bukan seperti Yura yang biasa saja—meskipun sekarang dia menjadi istri seorang pengusaha. Satu ruangan ini didominasi oleh kaum pria. Tidak ada perempuan kecuali dirinya dan beberapa orang di sudut ruangan. Aroma alkohol sudah menguar kemana-mana. Ditambah dengan para lelaki yang suka menghisap asap nikotin membuatnya hampir kehilangan pasokan udara. Yura ingin pergi, tetapi tak enak hati. Narendra duduk di hadapannya, ia takut menyinggung perasaannya. Alhasil, wanita itu memilih setia untuk duduk di atas kursinya. Sembari berkirim pesan dengan Erna, mengabaikan suasana yang hiruk pikuk ini. [Aku sedikit menyesal pergi ke sini.] Ia mengirim pesan kepada Erna. Musik berdentum keras. Teriakan heboh dari meja-meja para lelaki yang sedang bermain kart
“Brengsek!” Darah Gin yang sebelumnya memanas, kini berubah mendidih kala mendapati Yura dan Narendra duduk bersebelahan. Tak hanya itu, lengan Narendra yang melingkar di pinggang Yura dan kedekatan mereka bagai tak berjarak semakin membuatnya naik pitam! Bagaimana bisa Yura malah berduaan dengan Narendra seperti itu? Dua pupilnya membesar bersamaan, menyorot tajam ke arah dua manusia berlawan jenis itu. Tak perlu mendekat, Gin sudah jelas melihat bahwa Yura dan Narendra sama-sama terpengaruh oleh alkohol. Sial! Andai saja mereka langsung menemukan tempat ini lebih awal, mungkin Gin sudah lebih dulu menyeret Yura pulang dan keluar dari club. Sayangnya, Dia baru saja berhasil menembus para pengunjung club yang jumlahnya tak sedikit. Dan, sekarang ia sudah tidak sanggup menahan keinginan untuk melayangkan bogem mentah kepada pria kurang ajar itu. Bagaimana tidak? Istrinya sendiri sedang mabuk bersama pria lain! Haruskah ia memperpanjang kesabaran? Dua tangannya telah spontan meng
Di kamar hotel. Yura telah dibaringkan di atas ranjang, meski begitu tubuh mungilnya terus bergerak gelisah. Sepuluh jemarinya menempel di kepala, sesekali menjambak erat helaian rambut hitamnya. Dia mengerang, tak sanggup merasakan panas juga gelenyar asing yang terus bergejolak dalam dirinya. Bibir merah itu bahkan tak henti meracau meminta tolong. “Aku mohon! Ini .... ssh panas sekali! Tolong!” Yura bergumam. Di sisi lain seorang pria dalam keadaan setengah sadar menutup pintu kamar, diputarnya kunci itu satu kali. Sebuah senyum iblis terbit di bibirnya kala melihat kaki perempuan yang ia bawa telah melebarkan kaki dan merengek meminta tolong “Aku ti—dak tahan lagi!” Wanita itu mengerang dengan terbata. “Tidak tahan, ya?” Narendra berjalan mendekat ke arah Yura, menghampirinya dan duduk di ujung ranjang. Jemarinya bergerak mengelus tumit dengan gerakan memutar. Hal itu justru semakin membuat Yura terbakar oleh gairah yang tiba-tiba membara. Satu desahan lolos dari bibirnya.
BUGH!BUGH!BUGH!Kepalan tangan Gin menghantam wajah Narendra sebanyak tiga kali. Namun, seakan tak puas pria itu menambahnya empat pukulan lagi hingga Narendra terkapar di atas lantai. Bila Arkatama tak melerainya, maka kemungkinan besar ia akan terjerat kasus pembunuhan besuk pagi. Dalam Kondisi semacam ini, tak mungkin ia tak marah. Terlebih setelah melihat keadaan Yura yang memprihatinkan, rasanya tak akan ada ampun lagi bagi Narendra. Wanita itu tegeletak lemah tak berdaya, gaun yang dia gunakan telah robek di bagian dada. Lalu, ada satu hal lagi yang memupuk kemarahannya. Bekas merah Narendra di bagian pipi dan leher Yura. “Tuan, sudah! Tuan bisa membunuhnya!” Arkatama berseru. Dia menahan satu lengan Gin agar atasannya itu tak melakukan hal di luar batas. Narendra memang bersalah, tetapi bukan wewenang mereka untuk menghakimi. Lebih baik serahkan saja kepada kepolisian atau pihak hotel agar ditindaklanjuti.“Kendalikan emosi, Tuan. Kita harus membawa Yura pulang!” ujar Arka
Waktu telah berjalan setengah hari. Gin bahkan sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah walau tak banyak. Sekadar mencuci baju, menyapu beberapa ruangan, dan membeli makanan. Ya, jangan berharap Gin akan memasak! Dia jelas tak pandai soal urusan dapur. Lelaki sepertinya lebih memilih mengeluarkan uang dari pada repot-repot mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk mengolah bahan makanan. Yura belum bangun sama sekali. Wanita itu masih berkutat dengan mimpi, meringkuk layaknya bayi di balik selimut. Entah karena kelelahan atau alkohol yang ditenggaknya semalam, ia tidur sampai mendengkur. Gin sendiri tak terganggu, ia juga tak berniat membangunkan. Biarkan saja Yura istirahat dahulu. Lelaki berkaos hitam itu duduk di atas ranjang, lebih tepatnya di samping Yura. Sebelah lututnya tertekuk, pahanya memangku sebuah komputer jinjing dengan layar menyala. Sementara satunya lagi terselonjor bebas. Dia tidak sedang bekerja, tetapi sedang mengamati satu per satu gambar juga rekaman CCTV y