Sudah hampir seminggu Wira menemani Sarah. Komunikasi mereka memiliki perkembangan walau tak banyak. Sarah masih acuh dan dingin pada suaminya. Berkali-kali bahkan mengusir Wira dan memintanya kembali pada Martha saja. Kendati demikian, Sarah tetap membuatkan sarapan, kopi, dan menyiapkan kebutuhan Wira. Pun Wira sendiri tetap bertahan di rumah. Lalu bagaimana hubungannya dengan Martha? Sejauh ini mereka saling mengerti. Perbincangan mereka sebatas pesan singkat saja. Sekadar ucapan selamat pagi, selamat malam, dan panggilan singkat ketika Sarah tidak bersamanya. "Kau mau kemana, Sarah? Tumben pagi-pagi sudah rapi begini?" Wira baru saja keluar dari kamar mandi. Ia terkejut tatkala melihat Sarah sedang merapikan rambut di depan cermin rias. Wanita itu sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang rapi. "Mau pergi," jawab wanita itu seraya merapikan kembali alat riasnya."Ya, tapi, kemana?" Wira menekuk dahinya.Ada dengkusan kasar yang terdengar dari wanita itu. Dengan lirikan ya
Dua mata Yura terbelalak. Apa yang ia duga tak seperti yang ia terka. Wanita bertubuh kurus dan mengenakan blouse putih gading sedang berdiri seraya bersedekap di depan dada. "Tak perlu terkejut dengan kedatanganku," ujar Sarah dengan sebuah senyum miring yang terbit sekilas di bibirnya, "aku tak perlu mengulangi apa tujuanku datang ke sini."Yura menganggukkan kepalanya. "Sebaiknya, kita masuk saja dahulu dan bicara di dalam, Bu," pintanya seraya melebarkan pintu. Sarah kemudian beranjak masuk melewati sang menantu yang tampak gugup.Sarah bisa menbaca ketakutan di wajah Yura. Itu pasti terjadi. Ia datang di saat suami, orang yang merasa melindunginya pergi. "Jadi, bagaimana jawabanmu? Aku tak ingin basa-basi!" Sarah mendaratkan tubuhnya di sofa. Dua matanya menghunus Yura dengan tatapan dingin. "Ibu tak ingin minum dahulu? Biar Yura buatkan teh hangat," ujar Yura kembali berusaha mengulur waktu. Yura berharap Sarah meminta dibuatkan kopi atau teh, atau air putih hangat. Jika me
"Kemana saja, Martha? Aku khawatir karena kau tak membalas pesanku dan mengangkat panggilanku."Wira melayangkan protes kepada Martha saat sambungan teleponnya terhubung melalui panggilan video. Ia mencoba menghubungi istri keduanya itu beberapa kali tetapi baru tersambung detik ini. Dari layar ponselnya, Wira melihat Martha sedang menutup beberapa tas di sampingnya.["Maaf, Mas, aku sedang menyiapkan baju untuk dibawa ke rumah Gin dan ponselku ter-mode diam jadi aku tidak tahu jika kau menelpon."] Martha menerbitkan senyumnya. ["Mas sudah sarapan?"]Wira menggeleng. "Belum. Sarah malah pergi dan sampai sekarang belum pulang."["Pergi kemana?"] "Katanya ingin mencari mawar. Tadinya, mau ku antar sekalian ku ajak sarapan di luar, tapi dia tidak mau." Wira membuang napas panjangnya. "Entahlah, Martha. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana agar Sarah tak bersikap dingin padaku. Rasanya aku ingin pulang dan hidup bersamamu seperti biasanya saja."Mendengar keluhan itu, Martha iba, tetapi w
"Bagaimana dengan keadaan Sarah, Arum?"Wira segera bangkit berdiri kala Arum telah keluar dari kamar Sarah. Selama istrinya diperiksa kecemasan terus melanda hatinya. Sembari menerka-nerka sendiri apa yang terjadi dengan wanita itu.Sesampainya di hadapan Wira, sang psikiater itu melekuk senyum kecil. Diikuti dengan hempasan napas yang cukup samar. "Tekanan darah ibu tinggi, Pak. Obat pagi tidak diminum. Saya sudah cek obat untuk minggu ini masih utuh, tidak berkurang satu pun," jawab Arum kemudian. "A—apa? Bagaimana bisa? Selama di rumah, setiap hari aku sendiri yang memberikan obatnya, mana mungkin masih utuh, Arum?"Arum menurunkan kedua bahunya bersamaan. Perempuan itu lalu merogoh sesuatu dalam saku jas kerjanya. Ia menyerahkan satu plastik berisi butiran pil dengan berbagai macam bentuk dan menyerahkannya kepada Wira."Yang diminum ibu hanya vitamin saja. Obat yang ini penting agar ibu tetap stabil, ada penurun tekanan darah dan anti-depresan. Saya minta mulai hari ini harus
"Bagaimana hasil pemeriksaan istrimu, Gin?" Wira menoleh ke arah Gin yang baru saja menemani ibunya tidur. Sembari menyulut rokok juga menyesap secangkir kopi, ia berusaha memeriksa ponsel milik Sarah. Terutama bagian percakapan dengan putrinya yang sudah meninggal. Rencana Wira untuk memeriksa ponsel Sarah harus tertunda hingga malam hari. Sarah terus terbangun dan meminta untuk ditemani. Alhasil, ia harus menunggu matahari tenggelam. Kebetulan, Gin menepati janjinya untuk datang malam ini. Sekadar menjenguk kondisi Sarah usai diberitahu bahwa wanita itu mengalami demam. "Yura tetap tidak bisa melakukan persalinan normal, Ayah. Tekanan darahnya yang tinggi terlalu berisiko. Setelah dicek juga pinggulnya juga sempit. Dokter menyarankan untuk operasi tiga hari lagi. Besuk sore, Yura sudah harus opname di rumah sakit," jawab Gin lalu mendudukkan diri di seberang sang ayah. Dua alia Wira terangkat. Pandangannya tertuju pada manik hitam milik sang putra. "Kenapa cepat sekali? Apa ada
Wira tidak langsung menjawab pertanyaan Gin. Ada selang beberapa detik pria itu merenung. Tampak memikirkan jawaban untuk menjelaskan pada putranya. "Ini bukan mauku," katanya. Pria itu menyesap rokoknya dan menyemburkan asapnya. Lalu, merapatkan cangkir berisi kopi pekat di hadapannya. Sedangkan Gin menatap Wira dengan penasaran. "Bukan kemauan Ayah?" Gin membeo sebelum menyesap cairan manis dari pipa rokok elektriknya. "Belakangan ini aku dan Martha sering berdebat. Terlebih sejak Sarah datang ke rumahmu dan kalian uring-uringan. Dia selalu cemas dan merasa bahwa apa yang terjadi dengan kau juga Yura itu semua karena kami, aku, Sarah, dan dia. Martha memintaku untuk pulang dan menemani ibumu beberapa waktu, siapa tahu ada keajaiban. Meski aku sendiri ragu, karena untuk mengembalikan kesadaran ibumu rasanya sulit sekali."Wira memadamkan bara pada puntung rokoknya yang telah habis. Ia lalu mengambil satu lagi dari dalam kotak berwarna putih dan menyulutnya dengan api.Gin menekuk
Wira segera bangkit berdiri dan mencari sumber suara teriakan. Khawatir telah terjadi sesuatu, ia segera berlari ke dalam rumah. Ketika sampai di dapur ia melihat kamar Sarah terbuka dan beberapa pembantu telah berkumpul di sana."Astaga! Sarah!" Wira mempercepat langkahnya dan membelah kerumunan asisten rumah tangganya. "Ada apa, Bi? Kenapa ini?" tanya Wira kepada salah satu pembantunya. "Kami tidak tahu, Pak, tadi saya sedang lewat kamar ibu dan mendengar ibu menangis, saat saya membuka pintu ternyata ibu masih dalam keadaan tidur."Wira lalu bergerak mendekat ke ranjang dan mendudukkan dirinya ke samping Sarah. Dengan mata terpejam, wanita itu menangis histeris, Wira berulang kali menepuk pipinya dengan pelan, berusaha menyadarkannya. Akan tetapi butuh waktu beberapa lama agar Sarah bisa tersadar dari igauannya."Wira!" Sarah terbangun pada tepukan terakhir sang suami. Ia terbangun dengan napas terengah-engah dan wajah banjir air mata. "Ada apa, Sarah?" tanya Wira kemudian. Sa
"A—aku tidak mencemaskan apa-apa, Gin, apalagi tentang Ibu. Tadi memang datang ke sini tetapi tidak terjadi apa-apa. Ibu hanya mencari mu saja dan bertanya apakah seminggu ini ada jadwal padat atau tidak."Dua mata Gin spontan menyipit. Ia merasa janggal dengan ucapan Yura. Apakah mungkin itu yang terjadi? Sementara pertama bertemu saja Sarah hampir mengancam nyawanya. Akan tetapi, Yura tak merubah ekspresinya sama sekali. Bahkan malah menyunggingkan bibirnya."Kau lihat ada brownies di dapur, kan? Itu ibu yang bawa untukmu," ujar Yura kembali. "Jadi, itu ibu yang bawa?" Gin mengingat makanan itu. Ia sempat mencomotnya beberapa potong sebelum pergi ke rumah sakit tadi. Yura mengangguk seraya menepuk lengan suaminya. Berusaha menenangkan Gin yang menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Waktu pertama dulu mungkin ibu terkejut. Lalu, pertemuan kedua kami mungkin membuat ibu berubah pikiran meskipun saat itu membuat kita bertengkar hebat setelahnya. Tetapi, hari ini ibu datang dengan si
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth