"Kemana saja, Martha? Aku khawatir karena kau tak membalas pesanku dan mengangkat panggilanku."Wira melayangkan protes kepada Martha saat sambungan teleponnya terhubung melalui panggilan video. Ia mencoba menghubungi istri keduanya itu beberapa kali tetapi baru tersambung detik ini. Dari layar ponselnya, Wira melihat Martha sedang menutup beberapa tas di sampingnya.["Maaf, Mas, aku sedang menyiapkan baju untuk dibawa ke rumah Gin dan ponselku ter-mode diam jadi aku tidak tahu jika kau menelpon."] Martha menerbitkan senyumnya. ["Mas sudah sarapan?"]Wira menggeleng. "Belum. Sarah malah pergi dan sampai sekarang belum pulang."["Pergi kemana?"] "Katanya ingin mencari mawar. Tadinya, mau ku antar sekalian ku ajak sarapan di luar, tapi dia tidak mau." Wira membuang napas panjangnya. "Entahlah, Martha. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana agar Sarah tak bersikap dingin padaku. Rasanya aku ingin pulang dan hidup bersamamu seperti biasanya saja."Mendengar keluhan itu, Martha iba, tetapi w
"Bagaimana dengan keadaan Sarah, Arum?"Wira segera bangkit berdiri kala Arum telah keluar dari kamar Sarah. Selama istrinya diperiksa kecemasan terus melanda hatinya. Sembari menerka-nerka sendiri apa yang terjadi dengan wanita itu.Sesampainya di hadapan Wira, sang psikiater itu melekuk senyum kecil. Diikuti dengan hempasan napas yang cukup samar. "Tekanan darah ibu tinggi, Pak. Obat pagi tidak diminum. Saya sudah cek obat untuk minggu ini masih utuh, tidak berkurang satu pun," jawab Arum kemudian. "A—apa? Bagaimana bisa? Selama di rumah, setiap hari aku sendiri yang memberikan obatnya, mana mungkin masih utuh, Arum?"Arum menurunkan kedua bahunya bersamaan. Perempuan itu lalu merogoh sesuatu dalam saku jas kerjanya. Ia menyerahkan satu plastik berisi butiran pil dengan berbagai macam bentuk dan menyerahkannya kepada Wira."Yang diminum ibu hanya vitamin saja. Obat yang ini penting agar ibu tetap stabil, ada penurun tekanan darah dan anti-depresan. Saya minta mulai hari ini harus
"Bagaimana hasil pemeriksaan istrimu, Gin?" Wira menoleh ke arah Gin yang baru saja menemani ibunya tidur. Sembari menyulut rokok juga menyesap secangkir kopi, ia berusaha memeriksa ponsel milik Sarah. Terutama bagian percakapan dengan putrinya yang sudah meninggal. Rencana Wira untuk memeriksa ponsel Sarah harus tertunda hingga malam hari. Sarah terus terbangun dan meminta untuk ditemani. Alhasil, ia harus menunggu matahari tenggelam. Kebetulan, Gin menepati janjinya untuk datang malam ini. Sekadar menjenguk kondisi Sarah usai diberitahu bahwa wanita itu mengalami demam. "Yura tetap tidak bisa melakukan persalinan normal, Ayah. Tekanan darahnya yang tinggi terlalu berisiko. Setelah dicek juga pinggulnya juga sempit. Dokter menyarankan untuk operasi tiga hari lagi. Besuk sore, Yura sudah harus opname di rumah sakit," jawab Gin lalu mendudukkan diri di seberang sang ayah. Dua alia Wira terangkat. Pandangannya tertuju pada manik hitam milik sang putra. "Kenapa cepat sekali? Apa ada
Wira tidak langsung menjawab pertanyaan Gin. Ada selang beberapa detik pria itu merenung. Tampak memikirkan jawaban untuk menjelaskan pada putranya. "Ini bukan mauku," katanya. Pria itu menyesap rokoknya dan menyemburkan asapnya. Lalu, merapatkan cangkir berisi kopi pekat di hadapannya. Sedangkan Gin menatap Wira dengan penasaran. "Bukan kemauan Ayah?" Gin membeo sebelum menyesap cairan manis dari pipa rokok elektriknya. "Belakangan ini aku dan Martha sering berdebat. Terlebih sejak Sarah datang ke rumahmu dan kalian uring-uringan. Dia selalu cemas dan merasa bahwa apa yang terjadi dengan kau juga Yura itu semua karena kami, aku, Sarah, dan dia. Martha memintaku untuk pulang dan menemani ibumu beberapa waktu, siapa tahu ada keajaiban. Meski aku sendiri ragu, karena untuk mengembalikan kesadaran ibumu rasanya sulit sekali."Wira memadamkan bara pada puntung rokoknya yang telah habis. Ia lalu mengambil satu lagi dari dalam kotak berwarna putih dan menyulutnya dengan api.Gin menekuk
Wira segera bangkit berdiri dan mencari sumber suara teriakan. Khawatir telah terjadi sesuatu, ia segera berlari ke dalam rumah. Ketika sampai di dapur ia melihat kamar Sarah terbuka dan beberapa pembantu telah berkumpul di sana."Astaga! Sarah!" Wira mempercepat langkahnya dan membelah kerumunan asisten rumah tangganya. "Ada apa, Bi? Kenapa ini?" tanya Wira kepada salah satu pembantunya. "Kami tidak tahu, Pak, tadi saya sedang lewat kamar ibu dan mendengar ibu menangis, saat saya membuka pintu ternyata ibu masih dalam keadaan tidur."Wira lalu bergerak mendekat ke ranjang dan mendudukkan dirinya ke samping Sarah. Dengan mata terpejam, wanita itu menangis histeris, Wira berulang kali menepuk pipinya dengan pelan, berusaha menyadarkannya. Akan tetapi butuh waktu beberapa lama agar Sarah bisa tersadar dari igauannya."Wira!" Sarah terbangun pada tepukan terakhir sang suami. Ia terbangun dengan napas terengah-engah dan wajah banjir air mata. "Ada apa, Sarah?" tanya Wira kemudian. Sa
"A—aku tidak mencemaskan apa-apa, Gin, apalagi tentang Ibu. Tadi memang datang ke sini tetapi tidak terjadi apa-apa. Ibu hanya mencari mu saja dan bertanya apakah seminggu ini ada jadwal padat atau tidak."Dua mata Gin spontan menyipit. Ia merasa janggal dengan ucapan Yura. Apakah mungkin itu yang terjadi? Sementara pertama bertemu saja Sarah hampir mengancam nyawanya. Akan tetapi, Yura tak merubah ekspresinya sama sekali. Bahkan malah menyunggingkan bibirnya."Kau lihat ada brownies di dapur, kan? Itu ibu yang bawa untukmu," ujar Yura kembali. "Jadi, itu ibu yang bawa?" Gin mengingat makanan itu. Ia sempat mencomotnya beberapa potong sebelum pergi ke rumah sakit tadi. Yura mengangguk seraya menepuk lengan suaminya. Berusaha menenangkan Gin yang menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Waktu pertama dulu mungkin ibu terkejut. Lalu, pertemuan kedua kami mungkin membuat ibu berubah pikiran meskipun saat itu membuat kita bertengkar hebat setelahnya. Tetapi, hari ini ibu datang dengan si
"Kalau bunda juga tidak keberatan, aku akan mendengarkan." Martha meletakkan celana bayi yang telah ia lipat ke dalam tumpukan yang sama. Lalu menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pad kasur."Aku hanya seorang wanita yang meneruskan usaha restoran biasa milik orang tua. Suamiku seorang pengusaha konveksi lumayan besar. Kami bertemu tidak sengaja saat aku liburan dan ikut open trip ke Raja Ampat. Hanya dua tahun kami saling mengenal lalu menikah."Martha menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Sedangkan Yura menyimak baik-baik setiap kalimat yang meluncur dari sang bunda. "Suamiku bukan anak pertama, tetapi dia satu-satunya lelaki di antara tiga saudaranya. Mulanya, keluarganya, mertua menerimaku dengan baik. Mereka menganggap aku seperti anak sendiri. Beberapa waktu kemudian, semuanya berubah, Yura. Saat aku dinyatakan tak bisa mengandung dan memberikan mereka keturunan. Perlahan semua orang yang tadinya dekat denganku mulai menjauh. Tetapi ada satu ora
Tinggal menghitung hari, Yura akan bertemu dengan buah hati yang selama ini ia tunggu. Kabar itu juga ia sebarkan kepada sahabat dekatnya seperti Erna yang sampai sekarang masih berhubungan baik sekali pun hanya melalui pesan. Semalam, Yura memberi kabar kepada Erna perihal operasi yang akan ia jalani esok hari. Awalnya, Yura ragu karena tahu jika dia sedang memiliki acara keluarga untuk liburan, ia pasti kecewa karena sejak dulu wanita itu sangat antusias menemaninya untuk melahirkan."Ada baiknya kau beritahu saja, Erna pasti mengerti alasannya. Kabar yang kau berikan juga kabar baik, daripada nanti setelah kau melahirkan, dia akan lebih kecewa," ujar Gin saat mereka berunding semalam. Alhasil, ia mengirim pesan kepada Erna, dan pagi ini, ia mendapatkan kicauan dari wanita itu.["Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Aku senang karena akhirnya sebentar lagi anakmu lahir tetapi aku juga sedih karena tak bisa menemanimu. Kenapa kau memberiku pesan mendadak sekali, sih? Kalau saja