Wira segera bangkit berdiri dan mencari sumber suara teriakan. Khawatir telah terjadi sesuatu, ia segera berlari ke dalam rumah. Ketika sampai di dapur ia melihat kamar Sarah terbuka dan beberapa pembantu telah berkumpul di sana."Astaga! Sarah!" Wira mempercepat langkahnya dan membelah kerumunan asisten rumah tangganya. "Ada apa, Bi? Kenapa ini?" tanya Wira kepada salah satu pembantunya. "Kami tidak tahu, Pak, tadi saya sedang lewat kamar ibu dan mendengar ibu menangis, saat saya membuka pintu ternyata ibu masih dalam keadaan tidur."Wira lalu bergerak mendekat ke ranjang dan mendudukkan dirinya ke samping Sarah. Dengan mata terpejam, wanita itu menangis histeris, Wira berulang kali menepuk pipinya dengan pelan, berusaha menyadarkannya. Akan tetapi butuh waktu beberapa lama agar Sarah bisa tersadar dari igauannya."Wira!" Sarah terbangun pada tepukan terakhir sang suami. Ia terbangun dengan napas terengah-engah dan wajah banjir air mata. "Ada apa, Sarah?" tanya Wira kemudian. Sa
"A—aku tidak mencemaskan apa-apa, Gin, apalagi tentang Ibu. Tadi memang datang ke sini tetapi tidak terjadi apa-apa. Ibu hanya mencari mu saja dan bertanya apakah seminggu ini ada jadwal padat atau tidak."Dua mata Gin spontan menyipit. Ia merasa janggal dengan ucapan Yura. Apakah mungkin itu yang terjadi? Sementara pertama bertemu saja Sarah hampir mengancam nyawanya. Akan tetapi, Yura tak merubah ekspresinya sama sekali. Bahkan malah menyunggingkan bibirnya."Kau lihat ada brownies di dapur, kan? Itu ibu yang bawa untukmu," ujar Yura kembali. "Jadi, itu ibu yang bawa?" Gin mengingat makanan itu. Ia sempat mencomotnya beberapa potong sebelum pergi ke rumah sakit tadi. Yura mengangguk seraya menepuk lengan suaminya. Berusaha menenangkan Gin yang menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Waktu pertama dulu mungkin ibu terkejut. Lalu, pertemuan kedua kami mungkin membuat ibu berubah pikiran meskipun saat itu membuat kita bertengkar hebat setelahnya. Tetapi, hari ini ibu datang dengan si
"Kalau bunda juga tidak keberatan, aku akan mendengarkan." Martha meletakkan celana bayi yang telah ia lipat ke dalam tumpukan yang sama. Lalu menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pad kasur."Aku hanya seorang wanita yang meneruskan usaha restoran biasa milik orang tua. Suamiku seorang pengusaha konveksi lumayan besar. Kami bertemu tidak sengaja saat aku liburan dan ikut open trip ke Raja Ampat. Hanya dua tahun kami saling mengenal lalu menikah."Martha menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Sedangkan Yura menyimak baik-baik setiap kalimat yang meluncur dari sang bunda. "Suamiku bukan anak pertama, tetapi dia satu-satunya lelaki di antara tiga saudaranya. Mulanya, keluarganya, mertua menerimaku dengan baik. Mereka menganggap aku seperti anak sendiri. Beberapa waktu kemudian, semuanya berubah, Yura. Saat aku dinyatakan tak bisa mengandung dan memberikan mereka keturunan. Perlahan semua orang yang tadinya dekat denganku mulai menjauh. Tetapi ada satu ora
Tinggal menghitung hari, Yura akan bertemu dengan buah hati yang selama ini ia tunggu. Kabar itu juga ia sebarkan kepada sahabat dekatnya seperti Erna yang sampai sekarang masih berhubungan baik sekali pun hanya melalui pesan. Semalam, Yura memberi kabar kepada Erna perihal operasi yang akan ia jalani esok hari. Awalnya, Yura ragu karena tahu jika dia sedang memiliki acara keluarga untuk liburan, ia pasti kecewa karena sejak dulu wanita itu sangat antusias menemaninya untuk melahirkan."Ada baiknya kau beritahu saja, Erna pasti mengerti alasannya. Kabar yang kau berikan juga kabar baik, daripada nanti setelah kau melahirkan, dia akan lebih kecewa," ujar Gin saat mereka berunding semalam. Alhasil, ia mengirim pesan kepada Erna, dan pagi ini, ia mendapatkan kicauan dari wanita itu.["Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Aku senang karena akhirnya sebentar lagi anakmu lahir tetapi aku juga sedih karena tak bisa menemanimu. Kenapa kau memberiku pesan mendadak sekali, sih? Kalau saja
Setelah kurang lebih lima belas menit mereka berkendara—sejak Sarah bertanya kemana tujuan mereka. Akhirnya, keempat roda mobil yang dikendarai oleh Wira terparkir rapi pada halaman sebuah taman yang yang berada di tepi danau. Mereka memilih sebuah bangunan kayu semacam saung yang teduh. Sarah duduk bersila sembari mengamati ikan-ikan yang berlalu lalang di bawahnya. Sedangkan Wira bersandar pada dinding kayu seraya memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya. Mereka sedang menunggu pesanan semangkuk bubur kacang hijau.“Bagaimana pemandangannya, indah?”Sarah melirik tanpa menjawab pertanyaan Wira. Kendati sebenarnya, tanpa Wira mengutarakan pendapat, ekspresi Sarah sudah menjawabnya dengan jelas. Wanita itu tampak lebih berseri dibandingkan saat mereka masih berada di dalam mobil. Seperti menemukan hiburannya sendiri. Ada senyum yang terkembang beberapa kali ketika melihat ikan-ikan yang ia beri pakan berkumpul seolah berebut makanan. "Biasa saja," jawab Sarah usai memasang wajah da
Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Gin. Setelah melewati banyak hal yang terjadi dalam proses kehamilan istrinya, akhirnya hari ini lelaki itu akan resmi mengemban jabatan baru sebagai seorang ayah. Rasa bahagianya tak terkira. Hanya dalam hitungan jam ia akan bertemu dengan malaikat kecilnya. Meski di sisi lain, ia mencemaskan keadaan Yura. Mengingat riwayat yang pernah Yura alami. Apa pun bisa terjadi.Dan entah bagaimana sekarang, belum ada satu pun tenaga medis yang mengabarinya. Waktu sudah lebih sepuluh menit berlalu dan ia masih diselubungi harap cemas. Mereka bilang estimasi waktu yang mereka butuhkan sekitar satu jam, tentu seharusnya sekarang sudah selesai."Gin ...." Sebuah tepukan di pundak membuat pria itu menoleh. Gin lantas menegakkan tubuhnya, membuat jarak dengan sandaran kursi. Martha menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Minumlah."Gin mengurai lipatan tangannya di depan dada lalu menerima uluran sebotol air minum itu dari Martha. Napas panjang
"Terima kasih, tetapi bagaimana dengan istri saya?"Pertanyaan Gin membuat Sarah menajamkan pendengaran. Mendadak ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Yura. Apakah wanita itu baik-baik saja?Sedangkan tenaga medis di hadapannya itu tidak langsung menjawab, seolah tertegun dengan pertanyaan Gin. Lehernya bahkan terlihat naik turun. Gin yang melihat perubahan raut wajah lantas memiringkan kepalanya. "Ada apa? Ada apa dengan istri saya?" Gin bertanya dengan nada lebih tegas menuntut penjelasan. "Bapak tidak perlu khawatir. Saat ini Ibu Yura baik dan masih dalam proses pemulihan. Setelah selesai observasi, kami akan mengantar beliau ke bangsal."Berbeda dengan Gin dan Wira yang mengucap syukur, Sarah justru sebaliknya. Kembali ia membuang pandangan dan menghempas napas pelan. Seharusnya ia tidak perlu datang ke tempat ini.***Usai mereka meninggalkan ruang operasi, tiga orang itu berpencar sendiri-sendiri. Gin diijinkan masuk ke dalam ruang pemulihan untuk bertemu dengan istrinya. T
"Sarah?"Wira menunggu beberapa detik sebelum memanggil istrinya. Sarah sebelumnya bersikukuh tak ingin melihat ke arah ruangan bayi dan memilih memberikan punggungnya.Entah mendapatkan dorongan dari mana, kini dua manik hitam wanita itu tertuju pada ruangan tersebut. Tatapan yang tadinya tajam, telah melunak. Ada binar kagum yang terpancar di kedua matanya. Bahkan, tangannya bergerak menyentuh bibirnya sendiri. "Sarah?"Wanita itu lantas menoleh ke arah Wira setelah sadar jika tubuh wira terlalu dekat, Sarah langsung menjauhkan tubuhnya. "Hei, kenapa?" Wira bertanya kembali usai tak mendapatkan jawaban. "Ti—tidak, aku .... Aku tidak salah lihat kan?" ujarnya menggantung kalimatnya.Dahi Wira berkerut dalam. "Memangnya apa yang kau lihat? Dia cucumu, anaknya Gin dan Yura.""Aku tahu, tapi aku merasa ada yang salah, Wira. Mengapa wajahnya seperti ...," Sarah menelan ludahnya kasar selanjutnya melempar tatapan tanya kepada Wira yang ada di sampingnya, "..., Anjani?"Mendengar kalima
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth