Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Gin. Setelah melewati banyak hal yang terjadi dalam proses kehamilan istrinya, akhirnya hari ini lelaki itu akan resmi mengemban jabatan baru sebagai seorang ayah. Rasa bahagianya tak terkira. Hanya dalam hitungan jam ia akan bertemu dengan malaikat kecilnya. Meski di sisi lain, ia mencemaskan keadaan Yura. Mengingat riwayat yang pernah Yura alami. Apa pun bisa terjadi.Dan entah bagaimana sekarang, belum ada satu pun tenaga medis yang mengabarinya. Waktu sudah lebih sepuluh menit berlalu dan ia masih diselubungi harap cemas. Mereka bilang estimasi waktu yang mereka butuhkan sekitar satu jam, tentu seharusnya sekarang sudah selesai."Gin ...." Sebuah tepukan di pundak membuat pria itu menoleh. Gin lantas menegakkan tubuhnya, membuat jarak dengan sandaran kursi. Martha menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Minumlah."Gin mengurai lipatan tangannya di depan dada lalu menerima uluran sebotol air minum itu dari Martha. Napas panjang
"Terima kasih, tetapi bagaimana dengan istri saya?"Pertanyaan Gin membuat Sarah menajamkan pendengaran. Mendadak ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Yura. Apakah wanita itu baik-baik saja?Sedangkan tenaga medis di hadapannya itu tidak langsung menjawab, seolah tertegun dengan pertanyaan Gin. Lehernya bahkan terlihat naik turun. Gin yang melihat perubahan raut wajah lantas memiringkan kepalanya. "Ada apa? Ada apa dengan istri saya?" Gin bertanya dengan nada lebih tegas menuntut penjelasan. "Bapak tidak perlu khawatir. Saat ini Ibu Yura baik dan masih dalam proses pemulihan. Setelah selesai observasi, kami akan mengantar beliau ke bangsal."Berbeda dengan Gin dan Wira yang mengucap syukur, Sarah justru sebaliknya. Kembali ia membuang pandangan dan menghempas napas pelan. Seharusnya ia tidak perlu datang ke tempat ini.***Usai mereka meninggalkan ruang operasi, tiga orang itu berpencar sendiri-sendiri. Gin diijinkan masuk ke dalam ruang pemulihan untuk bertemu dengan istrinya. T
"Sarah?"Wira menunggu beberapa detik sebelum memanggil istrinya. Sarah sebelumnya bersikukuh tak ingin melihat ke arah ruangan bayi dan memilih memberikan punggungnya.Entah mendapatkan dorongan dari mana, kini dua manik hitam wanita itu tertuju pada ruangan tersebut. Tatapan yang tadinya tajam, telah melunak. Ada binar kagum yang terpancar di kedua matanya. Bahkan, tangannya bergerak menyentuh bibirnya sendiri. "Sarah?"Wanita itu lantas menoleh ke arah Wira setelah sadar jika tubuh wira terlalu dekat, Sarah langsung menjauhkan tubuhnya. "Hei, kenapa?" Wira bertanya kembali usai tak mendapatkan jawaban. "Ti—tidak, aku .... Aku tidak salah lihat kan?" ujarnya menggantung kalimatnya.Dahi Wira berkerut dalam. "Memangnya apa yang kau lihat? Dia cucumu, anaknya Gin dan Yura.""Aku tahu, tapi aku merasa ada yang salah, Wira. Mengapa wajahnya seperti ...," Sarah menelan ludahnya kasar selanjutnya melempar tatapan tanya kepada Wira yang ada di sampingnya, "..., Anjani?"Mendengar kalima
"Aku ..., bolehkah aku menggendongnya?"Wira menahan napasnya beberapa detik. Ia lalu melemparkan pandangan kepada Gin dan Yura, seolah meminta persetujuan dari mereka. Ia tak bisa memberikan bayi mereka kepada Sarah dengan sembarangan, masih menghargai mereka sebagai orang tuanya sekali pun Sarah adalah istrinya. Gin yang terlihat tak yakin, tetapi Yura mengangguk setuju. Bahkan, anggukan itu terlihat mantap tanpa ragu. Usai mendapatkan persetujuan, Wira lantas memindahkan bayi perempuan itu ke dalam dekapan Sarah. "Ah, dia ... tersenyum padaku?" Wanita tua itu bergumam pelan. Matanya mengerjap pelan tak percaya.Semua orang di dalam ruangan itu tak percaya. Mereka kira, aura Sarah yang sinis membuatnya tak nyaman dan menangis kencang. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.Anaknya baik-baik saja. Dan sejak jarak mereka sedekat itu, entah mengapa Sarah merasa ada sesuatu yang hangat ketika memandang cucunya. Rasa senang, bahagia, dan lengkap semuanya menjadi satu.Seperti .... S
Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu, pagi ini, Sarah menyiapkan beberapa menu Sarapan di meja makan. Usai kejadian siang itu Sarah berusaha untuk bersikap biasa dan berpura-pura tidak pernah melihat kejadian di rumah Gin dan Yura. Wira sendiri juga sepertinya tidak tahu jika Sarah mengikutinya kemarin. Saat pulang pun pria itu tetap bersikap biasa tanpa curiga. Ketukan langkah sepatu membuat wanita itu membalikan badannya. Wira tengah berjalan ke arahnya. Penampilan pria itu berbeda dari biasanya. Tampak mengenakan kemeja lengan panjang dan setelan celana berwarna hitam. Entah ia akan kemana, tetapi Sarah tidak tahu-menahu soal jadwal dan agendanya selama seminggu ini. "Pagi," sapa lelaki itu seraya mendaratkan sebuah kecupan tipis di pelipisnya. Sekali pun ini membahagiakan, tetapi dati Sarah tetap berdenyut nyeri. Secara ia tahu, ada wanita lain yang mendapatkan kecupan serupa, bahkan lebih mesra. Ia masih sangat jelas. Lalu, kata manis yang selalu meluncur dari bibirny
Jika Sarah sedang bertanya-tanya tentang kemana perginya Wira, juga apa yang akan dilakukan oleh suaminya itu, Gin justru sangat merindukan istri dan anaknya. Padahal, ia hanya meninggalkan mereka beberapa jam. Begitu mobilnya berhasil terparkir di halaman Rumah, Gin lantas menuju ke lantai dua dimana istri dan anaknya berada. Benar saja, ketika sampai di kamar putrinya, ia melihat Yura dan Martha sedang berada di sana. Entah topik apa yang sedang mereka rundingkan tetapi dua wanita itu terlihat berkelakar bersama. Namun, tawa mereka terhenti ketika melihat Gin muncul di ambang pintu. "Eh, Gin? Sudah selesai requiem-nya?" tanya Yura kemudian. Wanita itu bangkit berdiri meninggalkan Martha yang sedang menggendong putrinya. "Sudah. Aku hanya ikut misa saja tidak ikut ke makam." Pria itu melangkah masuk menyambut istrinya. "Aku merindukannya, sedang apa dia?""Kalau begitu ganti baju dulu dan bersihkan badanmu, setelah itu baru kau boleh menyentuh si kecil."Sebelah alis pria itu te
Di sisi lain, Wira tak sadar jika di amati oleh seseorang. Wira masih setia duduk di sana. Dengan telaten membersihkan pusaranya, mengelap setiap keramik yang terpasang dengan sebuah kain. Saat sedang asik membersihkan pusara, ponsel yang berada di dalam sakunya bergetar. Ada panggilan dari seseorang. Saat melihat nama pemanggil, pria itu langsung menghentikan aktivitasnya. Martha yang mrmanggilnya."Ya? Ada apa, Martha?"["Kamu dimana, Mas?"]"Aku di makam Anjani, mengirim bunga sebentar setelah itu aku ke rumah Gin, ada apa?"["Oh, maaf kalau aku menganggu waktumu. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku ada meeting sebentar di resto."]"Tidak menganggu juga. Sampai jam berapa kau di sana?"["Mungkin setengah jam lagi aku pulang. Sore ini Yura harus cek jahitan jadi aku tak bisa meninggalkan mereka lama-lama.Aku juga hanya membahas booking tempat untuk acara temanku saja."]"Kalau begitu aku jemput, Martha."["Mas memangnya sedang buru-buru atau tidak? Dan jam berapa pulangnya? Kal
Sarah menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tetap tak percaya, tetapi tanggal lahir dan foto yang terpampang nyata dalam batu nisan itu benar-benar identitas putrinya. "Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya sekali lagi.Ia hendak menyangkal tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Lalu ingatan-ingatan akan kejadian buruk waktu itu terputar lagi di kepalanya. Sarah akhirnya menemukan memori dimana ia hendak merayakan ulang tahun, tetapi mendapatkan kabar bahwa putrinya mengalami kecelakaan.Entah bagaimana caranya pula, Ia bisa mengingat kembali peti jenazah yang bersemayam dan Putrinya terbaring kaku di dalamnya.Tidak hanya itu, suara-suara tangisan pecah memenuhi gendang telinganya."Oh, tidak!"Seketika dunia Sarah terasa berputar. Kakinya terasa lemas dan bergetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menopang berat badannya. Tubuh wanita itu terhuyung ke depan hingga kakinya berlutut tepat di depan pusara Anjani. Dadanya bergemuruh dan napasnya berubah sesak."Anjani .... Anj