Sarah menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tetap tak percaya, tetapi tanggal lahir dan foto yang terpampang nyata dalam batu nisan itu benar-benar identitas putrinya. "Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya sekali lagi.Ia hendak menyangkal tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Lalu ingatan-ingatan akan kejadian buruk waktu itu terputar lagi di kepalanya. Sarah akhirnya menemukan memori dimana ia hendak merayakan ulang tahun, tetapi mendapatkan kabar bahwa putrinya mengalami kecelakaan.Entah bagaimana caranya pula, Ia bisa mengingat kembali peti jenazah yang bersemayam dan Putrinya terbaring kaku di dalamnya.Tidak hanya itu, suara-suara tangisan pecah memenuhi gendang telinganya."Oh, tidak!"Seketika dunia Sarah terasa berputar. Kakinya terasa lemas dan bergetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menopang berat badannya. Tubuh wanita itu terhuyung ke depan hingga kakinya berlutut tepat di depan pusara Anjani. Dadanya bergemuruh dan napasnya berubah sesak."Anjani .... Anj
Sarah jatuh sakit setelah hari itu. Keadaannya menjadi tidak baik, ia sering demam akibat stress yang berlebihan. Dia telah kembali mengingat kenyataan jika Anjani telah tiada. Rasa sedih dan kehilangan kembali menyelimuti hidupnya meski Anjani sudah pergi bertahun-tahun yang lalu.Memang benar pepatah yang selama ini kita dengar, terkadang rasa ingin tahu bisa membunuhmu.Terbukti saat Sarah selalu merasa ingin tahu tentang Wira, tetapi justru berdampak buruk untuknya. Wira yang tadinya sempat berjuang optimis bisa mengobati Sarah dengan terus berada di sampingnya, kembali lesu dan putus harap. Memangnya siapa yang bisa terus optimis dalam keadaan seperti ini?Sarah seperti menceburkan diri dalam lingkaran setan yang ia buat sendiri. "Apa yang sedang kau buat di dapur ini, Sayang?" Wira menyapa seraya membuka pintu kulkas untuk mengambil air mineral dingin. Sementara Martha yang berkutat dengan kompornya hanya menoleh sekilas ke arah sang suami. Wanita itu sesekali membantu me
Gin, Yura, dan juga bayi mereka kompak menggunakan baju serba biru dan telah berdiri di ambang pintu.Raut masam Wira lantas berubah drastis menyambut kedatangan mereka."Aku pikir kalian datang sore hari," ujar Wira seraya melebarkan pintunya. "Tadinya kami berencana begitu, tetapi kami pikir datang sejak pagi saja dan bisa membantu banyak hal.""Bagaimana dengan keadaan ibu? Maaf, aku baru sempat berkunjung, pekerjaanku sedang padat, dan beberapa hari ini setiap malam Raya sering rewel," ujar Gin setelah menyalami ayahnya sendiri. Diikuti dengan Yura yang sedang menggendong putrinya."Tidak apa, Gin, aku mengerti," jawab Wira seraya menghempas napas panjang, "seperti itu keadaan ibumu. Sepanjang hari waktunya hanya habis untuk melamun dan menangis.""Hasil pemeriksaan dari Arum sudah dikirimkan?""Belum. Nanti sore setelah praktek dia akan ke sini dan menjelaskan. Dia hanya bilang ada sesuatu yang harus di sampaikan. Ku harap kalian bisa menunggu sampai Arum datang, agar kita bisa b
"Apa maksud ibu?"Sarah gelagapan ditanya seperti itu. Wajahnya terlihat menegang. Ia segera membuang pandangan dan menghindar dari tatapan sang putra. Tak sadar, ia telah mengungkap sebuah hal yang seharusnya tak pernah diketahui oleh Gin. Dalam hati ia merutuk, mengapa bibirnya itu terlalu cepat bergerak untuk menanyakan keberadaan Yura. Sarah yang masih bergeming membuat Gin semakin penasaran. "Bu? Ada apa? Janji apa yang Yura buat dengan ibu?""Tidak. Lupakan. Kau mungkin salah dengar.""Salah dengar? Aku bahkan mendengar ucapan ibu dengan jelas kalau Yura seharusnya sudah pergi. Dia berjanji sesuatu pada ibu?"Gin tak melepaskan pandangannya dari wanita tua itu, sengaja pergerakan Sarah dan menuntut jawab. Ia tak ingin kecolongan lagi kali ini. Sudah beberapa kali Yura selalu mampu mengelabuinya. Jangan-jangan, kecurigaannya beberapa waktu lalu berkaitan dengan apa yang dikatakan ibunya hari ini?"Tidak. Aku bahkan tak punya waktu peduli dengannya.""Aku tidak tahu mengapa be
Sore hari setelah menguping pembicaraan putra dan menantunya, Sarah telah mendengar kabar jika Arum datang. Meski ia tak tahu pasti perihal apa yang akan mereka bahas, tetapi jika psikiater itu hadir, maka sudah pasti akan membahas masalah serius.Mungkin saja, penyakit yang sedang dideritanya. "Wira, aku ingin keluar! Aku harus bertemu Arum!"Sarah bangkit berdiri sebelum Wira menutup pintu kamarnya. Lelaki itu pun berbalik badan dengan cepat dan melayangkan kerutan dahinya."Ada perlu apa? Arum datang hanya ingin berdiskusi denganku, bukan memeriksamu."Sarah semakin gelisah. Ia tak ingin semua keluarganya tahu, terutama Wira tentang apa yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Sebuah penyakit yang perlahan mengikis tubuh juga usianya."Ada hal yang ingin bicarakan dengan Arum dulu tentang jadwal check up dan obatku.""Nanti aku yang aturkan." Wira ingin kembali melangkah, tetapi Sarah tetap memperjuangkan keinginannya. "Aku bertemu sendiri saja.""Biasanya aku juga yang menga
Usai meninggalkan ruang tamu, Wira bergegas menuju kamar Sarah. Seperti yang ia katakan kepada sang putra, ingin bertemu dengan istrinya.Ia harus meminta penjelasan tentang semua yang ia dengar beberapa saat yang lalu.Mengapa Sarah menyembunyikan permasalahan besar dan serius semacam ini?Tiba di depan kamar Sarah, Wira langsung memutar kunci dan membuka papannya dengan kasar. Dada pria itu bergemuruh, entah apa sebabnya. Biasanya ia tak peduli dengan apa yang akan terjadi dengannya. Tetapi kali ini, hati Wira rasanya sakit sekali. Brak!Gebrakan itu membuat Sarah yang sedang duduk menghadap jendela menoleh pelan. Tampak tenang melihat Wira datang dengan tangan mengepal dan mata memerah."Apa-apaan ini, Sarah! Kenapa kau tak pernah berterus terang tentang penyakitmu?"Sarah membuang napas pelan. Lalu, mengembalikan pandangannya ke titik semula. "Jadi, Arum sudah mengatakan semuanya padamu?" jawabnya dengan nada lirih. Arum dan Sarah pernah membuat sebuah perjanjian. Penyakit itu
Bunyi bara yang menyulut tembakau diikuti dengan asap putih yang meluncur dari bibirnya sedikit memberikan penghiburan bagi Wira saat ini. Permintaan Sarah sungguh menguras pikiran. Meski demikian, Adhiwira belum memberikan keputusan, ia hanya memberikan jawaban pasti kepada Sarah jika akan bicara dengan Martha terlebih dahulu.Bagaimana bisa ia mengabaikan Martha, sementara saat ini kekuatan dan semangatnya bertumpu pada wanita itu?"Sepertinya Mas sedang banyak pikiran," tegur suara lembut seorang wanita dari arah belakang. Detik setelahnya secangkir kopi di letakkan di meja kecil.Martha, wanita yang sedang Wira pertimbangkan nasibnya sejak tadi."Dalam kondisi seperti ini kau pasti tahu seberapa penat kepalaku."Martha mengangguk. Ia menyusul duduk di sebuah kursi kosong di sebelah Wira. Ada hempasan napas panjang dari bibirnya. "Ya. Aku tahu. Kabar Mbak Sarah sakit memukul perasaan banyak orang. Tetapi, kita juga harus berpikir untuk ke depannya, Mas. Kalau Mbak Sarah berobat,
Wira baru saja kembali dari mengantar Martha. Dadanya masih terasa berat meninggalkan wanita itu sendirian. Kini, komunikasi yang mereka lakukan sebatas dunia maya. Pun itu saat ia tak bersama Sarah. Entah akan serenggang apa hubungannya dengan Martha nantinya, Wira tak bisa membayangkan itu. Saat tiba di kamar, ia melihat Sarah sedang fokus mengamati sebuah benda. semacam buku juga selembar foto berukuran 10 x 15 cm. Dan tampaknya, Sarah tak menyadari jika ia berada di ruangan ini."Kau belum tidur?" tegurnya kemudian.Sarah langsung menoleh. Entah sejak kapan lelaki itu datang, tetapi Sarah tak mendengar seseorang datang sama sekali. Bahkan kertap pintu yang menjadi penanda datangnya seseorang tak menggema di telinganya."Wi—wira ...."Wanita itu kelabakan. Dia ingin menyembunyikan buku yang sedang dibawanya tetapi kalah cepat dengan mata elang Wira."Buku siapa itu?" tanyanya seraya mendekat ke arah Sarah yang berkali-kali menelan ludah."Bukan buku siapa-siapa. Ini buku baruku!