Sore hari setelah menguping pembicaraan putra dan menantunya, Sarah telah mendengar kabar jika Arum datang. Meski ia tak tahu pasti perihal apa yang akan mereka bahas, tetapi jika psikiater itu hadir, maka sudah pasti akan membahas masalah serius.Mungkin saja, penyakit yang sedang dideritanya. "Wira, aku ingin keluar! Aku harus bertemu Arum!"Sarah bangkit berdiri sebelum Wira menutup pintu kamarnya. Lelaki itu pun berbalik badan dengan cepat dan melayangkan kerutan dahinya."Ada perlu apa? Arum datang hanya ingin berdiskusi denganku, bukan memeriksamu."Sarah semakin gelisah. Ia tak ingin semua keluarganya tahu, terutama Wira tentang apa yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Sebuah penyakit yang perlahan mengikis tubuh juga usianya."Ada hal yang ingin bicarakan dengan Arum dulu tentang jadwal check up dan obatku.""Nanti aku yang aturkan." Wira ingin kembali melangkah, tetapi Sarah tetap memperjuangkan keinginannya. "Aku bertemu sendiri saja.""Biasanya aku juga yang menga
Usai meninggalkan ruang tamu, Wira bergegas menuju kamar Sarah. Seperti yang ia katakan kepada sang putra, ingin bertemu dengan istrinya.Ia harus meminta penjelasan tentang semua yang ia dengar beberapa saat yang lalu.Mengapa Sarah menyembunyikan permasalahan besar dan serius semacam ini?Tiba di depan kamar Sarah, Wira langsung memutar kunci dan membuka papannya dengan kasar. Dada pria itu bergemuruh, entah apa sebabnya. Biasanya ia tak peduli dengan apa yang akan terjadi dengannya. Tetapi kali ini, hati Wira rasanya sakit sekali. Brak!Gebrakan itu membuat Sarah yang sedang duduk menghadap jendela menoleh pelan. Tampak tenang melihat Wira datang dengan tangan mengepal dan mata memerah."Apa-apaan ini, Sarah! Kenapa kau tak pernah berterus terang tentang penyakitmu?"Sarah membuang napas pelan. Lalu, mengembalikan pandangannya ke titik semula. "Jadi, Arum sudah mengatakan semuanya padamu?" jawabnya dengan nada lirih. Arum dan Sarah pernah membuat sebuah perjanjian. Penyakit itu
Bunyi bara yang menyulut tembakau diikuti dengan asap putih yang meluncur dari bibirnya sedikit memberikan penghiburan bagi Wira saat ini. Permintaan Sarah sungguh menguras pikiran. Meski demikian, Adhiwira belum memberikan keputusan, ia hanya memberikan jawaban pasti kepada Sarah jika akan bicara dengan Martha terlebih dahulu.Bagaimana bisa ia mengabaikan Martha, sementara saat ini kekuatan dan semangatnya bertumpu pada wanita itu?"Sepertinya Mas sedang banyak pikiran," tegur suara lembut seorang wanita dari arah belakang. Detik setelahnya secangkir kopi di letakkan di meja kecil.Martha, wanita yang sedang Wira pertimbangkan nasibnya sejak tadi."Dalam kondisi seperti ini kau pasti tahu seberapa penat kepalaku."Martha mengangguk. Ia menyusul duduk di sebuah kursi kosong di sebelah Wira. Ada hempasan napas panjang dari bibirnya. "Ya. Aku tahu. Kabar Mbak Sarah sakit memukul perasaan banyak orang. Tetapi, kita juga harus berpikir untuk ke depannya, Mas. Kalau Mbak Sarah berobat,
Wira baru saja kembali dari mengantar Martha. Dadanya masih terasa berat meninggalkan wanita itu sendirian. Kini, komunikasi yang mereka lakukan sebatas dunia maya. Pun itu saat ia tak bersama Sarah. Entah akan serenggang apa hubungannya dengan Martha nantinya, Wira tak bisa membayangkan itu. Saat tiba di kamar, ia melihat Sarah sedang fokus mengamati sebuah benda. semacam buku juga selembar foto berukuran 10 x 15 cm. Dan tampaknya, Sarah tak menyadari jika ia berada di ruangan ini."Kau belum tidur?" tegurnya kemudian.Sarah langsung menoleh. Entah sejak kapan lelaki itu datang, tetapi Sarah tak mendengar seseorang datang sama sekali. Bahkan kertap pintu yang menjadi penanda datangnya seseorang tak menggema di telinganya."Wi—wira ...."Wanita itu kelabakan. Dia ingin menyembunyikan buku yang sedang dibawanya tetapi kalah cepat dengan mata elang Wira."Buku siapa itu?" tanyanya seraya mendekat ke arah Sarah yang berkali-kali menelan ludah."Bukan buku siapa-siapa. Ini buku baruku!
Tengah malam, Sarah membangunkan seisi rumah karena keadaannya terus menurun. Ia mengeluh sakit di bagian perut hingga membuat Wira panik dan harus memanggil medis ke rumahnya. Awalnya, Sarah diminta untuk menjalani rawat inap di rumah sakit, tetapi wanita itu bersikeras untuk tetap menjalani pengobatan di rumah saja. "Maaf, aku membangunkan kalian tengah malam begini. Kalian beristirahatlah, biar aku saja yang menjaga ibumu." Wira berkata kepada Gin dan Yura yang turut terbangun dan turun ke lantai satu. "Tidak. Tidak. Kami tidak terganggu, hanya bagaimana dengan ibu? Mengapa sampai menelpon Grace tengah malam?" tanya Gin seraya menutup pintu utama. Dengan kantung mata yang memberat lelaki itu berusaha menatap sang ayah."Perut Sarah sakit dan keras. Dia merasa sesak napas juga, jadi aku tak punya pilihan untuk menelpon Grace." Wira mengusap wajahnya dengan pelan. "Besuk pagi coba kau rayu ibumu, Gin. Barang kali dia mau rawat inap di rumah sakit. Tadi Grace menyarankan supaya mas
Keesokan paginya.Sejak subuh, Yura berkutat dengan panci dan kompornya. Ia harus menyiapkan bekal untuk suaminya, juga semangkuk sup sayuran tanpa daging untuk Sarah. Ini bukan yang pertama kali, tetapi tetap saja ada sedikit rasa tak nyaman saat memasak di dapur yang bukan miliknya sendiri. Namun, apa boleh buat? Yura tak bisa menolak keinginan suaminya untuk tinggal di rumah utama sementara waktu. “Hari ini aku ada rapat sebentar jam enam. Jadi, aku tidak makan malam di rumah,” ujar Gin begitu tiba di hadapan istrinya. Seperti biasa, lelaki itu sudah rapi dengan setelan jas kerjanya yang berwarna hitam. Yura yang selesai memasukkan kotak bekal ke dalam tas lantas menoleh. Wanita itu kemudian mengambil segelas air hangat untuk diberikan kepada suaminya. “Ya. Tidak apa-apa, aku akan memasak untuk porsi kecil saja. Ibu bagaimana? Apa sudah mau ke rumah sakit? Kalau sudah aku akan bantu packing siang ini.”Sembari meneguk minuman, Gin melambaikan tangannya. Setelah airnya tandas ba
“Duduk, ada sesuatu yang ingin aku bahas.”Jantung Yura berdegup kencang mendengar perintah itu. Bagaimana tidak? Sangat jarang, Sarah mengatakan ingin membahas sesuatu bersamanya. Kecuali …. Beliau ingin mengutarakan sebuah keinginan—yang harus dipenuhi. Tentu Yura tidak lupa ingatan dengan perjanjian mereka pada waktu itu. Ia bahkan sadar ini sudah terlalu lama dari waktu yang seharusnya. Dan ia takut, Sarah menagih janji itu kepadanya hari ini. “Jangan pura-pura tidak dengar, Yura. Aku memintamu duduk, bukan malah melamun.” Titah Sarah kepadanya saat Yura terlihat ragu melaksanakan perintahnya.Ditegur demikian, Yura lantas segera menaruh kembali nampan yang dipegangnya ke tempat semula. Lalu, mendudukan dirinya ke tempat yang diperintahkan oleh Sarah. “Ada apa, Bu?”Sebuah senyum singkat terbit di bibir sang mertua. Wanita paruh baya itu membuang pandangan ke arah cucunya. “Berapa usia Raya sekarang?” Deg!Tenggorokan Yura mendadak kering. Ketakutannya semakin bertambah saat S
Wira menapaki lempengan andesit di halaman villa miliknya dengan tergesa-gesa. Pikirannya sejak semalam tak tenang. Bahkan, urusan rumah sakit ia selesaikan cepat-cepat demi bisa bertemu dengan Martha. Satu yang ada di dalam benaknya, bertemu dengan wanita itu dan meminta maaf. Lalu, melepas rindu barang hanya beberapa waktu. Sudah lama ia mengabaikan Martha. Meski ia tahu bahwa istri keduanya itu mampu memaklumi apa yang terjadi, tetapi hatinya tetap saja tak bisa rela jika meninggalkannya lama-lama. Saat melangkah ke dalam rumah, Wira menemukan bangunan itu dalam keadaan sepi. Biasanya saat ia datang, Martha akan langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi kali ini, tidak. Entah dimana wanita itu. “Ibu dimana, Bi?” tanya Wira kepada salah satu pembantu yang baru saja muncul. “Ibu sedang ada di kolam memberi makan ikan, Pak.”Mendengar itu, Wira lantas bergegas menuju sudut rumah tempat dimana kolam itu berada. Benar saja, ketika ia membuka pintu belakang, dua netranya