Keesokan paginya.Sejak subuh, Yura berkutat dengan panci dan kompornya. Ia harus menyiapkan bekal untuk suaminya, juga semangkuk sup sayuran tanpa daging untuk Sarah. Ini bukan yang pertama kali, tetapi tetap saja ada sedikit rasa tak nyaman saat memasak di dapur yang bukan miliknya sendiri. Namun, apa boleh buat? Yura tak bisa menolak keinginan suaminya untuk tinggal di rumah utama sementara waktu. “Hari ini aku ada rapat sebentar jam enam. Jadi, aku tidak makan malam di rumah,” ujar Gin begitu tiba di hadapan istrinya. Seperti biasa, lelaki itu sudah rapi dengan setelan jas kerjanya yang berwarna hitam. Yura yang selesai memasukkan kotak bekal ke dalam tas lantas menoleh. Wanita itu kemudian mengambil segelas air hangat untuk diberikan kepada suaminya. “Ya. Tidak apa-apa, aku akan memasak untuk porsi kecil saja. Ibu bagaimana? Apa sudah mau ke rumah sakit? Kalau sudah aku akan bantu packing siang ini.”Sembari meneguk minuman, Gin melambaikan tangannya. Setelah airnya tandas ba
“Duduk, ada sesuatu yang ingin aku bahas.”Jantung Yura berdegup kencang mendengar perintah itu. Bagaimana tidak? Sangat jarang, Sarah mengatakan ingin membahas sesuatu bersamanya. Kecuali …. Beliau ingin mengutarakan sebuah keinginan—yang harus dipenuhi. Tentu Yura tidak lupa ingatan dengan perjanjian mereka pada waktu itu. Ia bahkan sadar ini sudah terlalu lama dari waktu yang seharusnya. Dan ia takut, Sarah menagih janji itu kepadanya hari ini. “Jangan pura-pura tidak dengar, Yura. Aku memintamu duduk, bukan malah melamun.” Titah Sarah kepadanya saat Yura terlihat ragu melaksanakan perintahnya.Ditegur demikian, Yura lantas segera menaruh kembali nampan yang dipegangnya ke tempat semula. Lalu, mendudukan dirinya ke tempat yang diperintahkan oleh Sarah. “Ada apa, Bu?”Sebuah senyum singkat terbit di bibir sang mertua. Wanita paruh baya itu membuang pandangan ke arah cucunya. “Berapa usia Raya sekarang?” Deg!Tenggorokan Yura mendadak kering. Ketakutannya semakin bertambah saat S
Wira menapaki lempengan andesit di halaman villa miliknya dengan tergesa-gesa. Pikirannya sejak semalam tak tenang. Bahkan, urusan rumah sakit ia selesaikan cepat-cepat demi bisa bertemu dengan Martha. Satu yang ada di dalam benaknya, bertemu dengan wanita itu dan meminta maaf. Lalu, melepas rindu barang hanya beberapa waktu. Sudah lama ia mengabaikan Martha. Meski ia tahu bahwa istri keduanya itu mampu memaklumi apa yang terjadi, tetapi hatinya tetap saja tak bisa rela jika meninggalkannya lama-lama. Saat melangkah ke dalam rumah, Wira menemukan bangunan itu dalam keadaan sepi. Biasanya saat ia datang, Martha akan langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi kali ini, tidak. Entah dimana wanita itu. “Ibu dimana, Bi?” tanya Wira kepada salah satu pembantu yang baru saja muncul. “Ibu sedang ada di kolam memberi makan ikan, Pak.”Mendengar itu, Wira lantas bergegas menuju sudut rumah tempat dimana kolam itu berada. Benar saja, ketika ia membuka pintu belakang, dua netranya
“Nona Raya sudah tidur, Nyonya?” Yura mendongak ke arah dua pembantu yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Rati, orang yang bertanya padanya sedang berkutat dengan sayuran segar bersama satu orang lagi yang lebih muda—yang Yura belum hafal namanya. Ia memang baru saja menidurkan putrinya. “Oh, iya, Bi, sudah habis asi satu botol langsung tidur,” jawab Yura lalu berjalan mendekat ke kitchen set bergabung dengan para asisten rumah tangga, hendak mencuci botol.Akan tetapi baru saja ia ingin menyalakan keran wastafel, sebuah suara pintu terbuka menggema serempak menjeda kegiatan mereka. Dari dapur itu, Yura bisa melihat Sarah keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, sang mertua menggunakan dinding sebagai bantuan.Tak ada satu pun orang yang menemaninya. Bahkan Wira yang selalu stand by di rumah tidak terlihat bersamanya kali ini. “Bi, aku titip ini sebentar, ibu keluar dari kamar,” pamitnya kepada sang binatu dan segera meninggalkan dapur menghampiri sang mertua. Mel
Bukan hanya Yura yang ketakutan dan panik. Gin yang baru saja meeting bersama para pemegang saham terpaksa pamit undur diri lebih awal dan menunda pertemuan itu di esok hari. Di tengah meeting yang cukup penting itu, ia mendapatkan kabar dari istrinya jika Sarah pingsan setelah muntah darah. Dengan segala kecepatan yang ia bisa, Gin akhirnya berhasil membawa mobilnya di rumah sakit tujuan. Pria itu segera mencari UGD tempat Sarah di rawat sementara. “Sayang!” Begitu melihat istrinya, Gin berlari ke arah yang sedang duduk di kursi tunggu. Wanita itu tampak melonggarkan pernapasannya ketika melihat Gin tiba di rumah sakit. “Gin! Akhirnya kau datang juga!” Yura memeluk erat tubuh suaminya. Bibirnya pucat dan kedua tangannya dingin ketika permukaan kulit mereka bersentuhan. Entah apa yang terjadi, tetapi melihat air muka istrinya , Gin sudah bisa meyimpulkkan separah apa kondisi Sarah saat ini. “Hei. Tidak apa-apa, tenanglah. Aku tak akan memarahimu.” Gin berkata pelan seraya melep
Ketika membuka mata, Sarah terkejut saat melihat seorang wanita sedang terlelap di sampingnya. Yura sedang duduk dan menggunakan kedua tangannya untuk menyangga kepala di sisi brankar yang kosong. Entah sejak kapan menantunya itu ada di tempat ini. Sarah tidak tahu. Semalam bahkan Wira tidak mengatakan jika pagi harinya akan digantikan oleh Yura.“Ah, ibu sudah bangun?” Yura sama terkejutnya. Ia segera menegakkan tubuh dan mengusap wajah. “Apa ibu perlu sesuatu?”Sarah tidak memberikan jawaban. Wanita berambut uban itu berusaha bangun dari tidurnya, tetapi Yura melarang.“Ibu tiduran saja, biar Yura atur brankarnya supaya ibu bisa duduk.” Yura lantas bangkit berdiri kemudian menekan beberapa tombol yang ada samping sehingga bagian kepala brankar terangkat menjadi empat puluh lima derajat.“Kenapa kau di sini? Dimana Ayah?” Untuk kali ini, Sarah melayangkan pertanyaan kepada Yura dengan nada rendah meski terkesan datar. Setidaknya bukan nada tinggi seperti yang sudah-sudah. “Ayah se
“Kau tahu tak bisa meninggalkan putra dan cucuku, dan kau tahu putraku akan gila jika kau meninggalkannya. Jika kau mengaku cinta mengapa kau tetap menyanggupi permintaanku? Cinta macam apa yang kau berikan untuk putraku?”Pertanyaan Sarah membuat Yura mematung. Ia bingung, harus menjawab apa? Rasanya semua hal yang ia lakukan tak pernah benar. Sarah merasa tersiksa dengan kehadirannya dan meminta Yura untuk pergi, ia menyanggupi bahkan mengabaikan perasaan putri dan suaminya. Namun, ketika Yura telah setuju, Sarah justru mempertanyakan ketulusan cintanya.Sebenarnya apa yang Sarah inginkan?“Aku yakin kau tak akan pernah pergi. Kau tidak akan pernah bisa sanggup memutuskan hubungan dengan putraku. Walau kau berjanji dan meminta waktu kepadaku selama apa pun.”Sampai detik ini Yura belum mampu bicara. Wanita itu hanya menunduk dalam. Sesekali mengusap air mata yang terjun bebas di pipinya.Sementara Sarah yang melihat itu lantas membuang napas panjang. Menyadari bahwa menantunya itu ke
Hari ini, Sarah diperbolehkan untuk pulang. Meski sebenarnya para medis tidak menganjurkan hal itu terjadi. Sebab, kondisinya masih lemah. Sarah butuh pengawasan khusus tetapi karena permintaan pasien mereka tak bisa memaksa. Entah apa yang dimau Sarah, Wira, Gin, bahkan Yura, tidak mengerti mengapa ia tak ingin mendapatkan pengobatan. Di saat semua orang menginginkan penyakitnya sembuh dan berlomba-lomba untuk mendapatkan dokter dan penanganan yang terbaik, Sarah tidak demikian. “Aku tidak habis pikir kenapa kau pulang secepat ini. Kau bahkan belum satu minggu di rumah sakit. Kalau hanya masalah biaya, bukankah kita sudah bicara sebelumnya?” Wira yang baru saja pulang karena urusan kantor menggerutu. Bagaimana tidak? Wira tidak tahu rencana itu. Sarah tak berunding dan meminta persetujuannya sama sekali. Hanya tiba-tiba, saat datang ke rumah sakit, ia tak menemukan Sarah di sana. Dan sekarang dia malah menemukan istrinya sedang duduk memangku cucu pertama mereka. “Aku bosan di ru
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth