Selamat membaca ada satu lagi malam hari ya 🤍
"Terima kasih, tetapi bagaimana dengan istri saya?"Pertanyaan Gin membuat Sarah menajamkan pendengaran. Mendadak ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Yura. Apakah wanita itu baik-baik saja?Sedangkan tenaga medis di hadapannya itu tidak langsung menjawab, seolah tertegun dengan pertanyaan Gin. Lehernya bahkan terlihat naik turun. Gin yang melihat perubahan raut wajah lantas memiringkan kepalanya. "Ada apa? Ada apa dengan istri saya?" Gin bertanya dengan nada lebih tegas menuntut penjelasan. "Bapak tidak perlu khawatir. Saat ini Ibu Yura baik dan masih dalam proses pemulihan. Setelah selesai observasi, kami akan mengantar beliau ke bangsal."Berbeda dengan Gin dan Wira yang mengucap syukur, Sarah justru sebaliknya. Kembali ia membuang pandangan dan menghempas napas pelan. Seharusnya ia tidak perlu datang ke tempat ini.***Usai mereka meninggalkan ruang operasi, tiga orang itu berpencar sendiri-sendiri. Gin diijinkan masuk ke dalam ruang pemulihan untuk bertemu dengan istrinya. T
"Sarah?"Wira menunggu beberapa detik sebelum memanggil istrinya. Sarah sebelumnya bersikukuh tak ingin melihat ke arah ruangan bayi dan memilih memberikan punggungnya.Entah mendapatkan dorongan dari mana, kini dua manik hitam wanita itu tertuju pada ruangan tersebut. Tatapan yang tadinya tajam, telah melunak. Ada binar kagum yang terpancar di kedua matanya. Bahkan, tangannya bergerak menyentuh bibirnya sendiri. "Sarah?"Wanita itu lantas menoleh ke arah Wira setelah sadar jika tubuh wira terlalu dekat, Sarah langsung menjauhkan tubuhnya. "Hei, kenapa?" Wira bertanya kembali usai tak mendapatkan jawaban. "Ti—tidak, aku .... Aku tidak salah lihat kan?" ujarnya menggantung kalimatnya.Dahi Wira berkerut dalam. "Memangnya apa yang kau lihat? Dia cucumu, anaknya Gin dan Yura.""Aku tahu, tapi aku merasa ada yang salah, Wira. Mengapa wajahnya seperti ...," Sarah menelan ludahnya kasar selanjutnya melempar tatapan tanya kepada Wira yang ada di sampingnya, "..., Anjani?"Mendengar kalima
"Aku ..., bolehkah aku menggendongnya?"Wira menahan napasnya beberapa detik. Ia lalu melemparkan pandangan kepada Gin dan Yura, seolah meminta persetujuan dari mereka. Ia tak bisa memberikan bayi mereka kepada Sarah dengan sembarangan, masih menghargai mereka sebagai orang tuanya sekali pun Sarah adalah istrinya. Gin yang terlihat tak yakin, tetapi Yura mengangguk setuju. Bahkan, anggukan itu terlihat mantap tanpa ragu. Usai mendapatkan persetujuan, Wira lantas memindahkan bayi perempuan itu ke dalam dekapan Sarah. "Ah, dia ... tersenyum padaku?" Wanita tua itu bergumam pelan. Matanya mengerjap pelan tak percaya.Semua orang di dalam ruangan itu tak percaya. Mereka kira, aura Sarah yang sinis membuatnya tak nyaman dan menangis kencang. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.Anaknya baik-baik saja. Dan sejak jarak mereka sedekat itu, entah mengapa Sarah merasa ada sesuatu yang hangat ketika memandang cucunya. Rasa senang, bahagia, dan lengkap semuanya menjadi satu.Seperti .... S
Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu, pagi ini, Sarah menyiapkan beberapa menu Sarapan di meja makan. Usai kejadian siang itu Sarah berusaha untuk bersikap biasa dan berpura-pura tidak pernah melihat kejadian di rumah Gin dan Yura. Wira sendiri juga sepertinya tidak tahu jika Sarah mengikutinya kemarin. Saat pulang pun pria itu tetap bersikap biasa tanpa curiga. Ketukan langkah sepatu membuat wanita itu membalikan badannya. Wira tengah berjalan ke arahnya. Penampilan pria itu berbeda dari biasanya. Tampak mengenakan kemeja lengan panjang dan setelan celana berwarna hitam. Entah ia akan kemana, tetapi Sarah tidak tahu-menahu soal jadwal dan agendanya selama seminggu ini. "Pagi," sapa lelaki itu seraya mendaratkan sebuah kecupan tipis di pelipisnya. Sekali pun ini membahagiakan, tetapi dati Sarah tetap berdenyut nyeri. Secara ia tahu, ada wanita lain yang mendapatkan kecupan serupa, bahkan lebih mesra. Ia masih sangat jelas. Lalu, kata manis yang selalu meluncur dari bibirny
Jika Sarah sedang bertanya-tanya tentang kemana perginya Wira, juga apa yang akan dilakukan oleh suaminya itu, Gin justru sangat merindukan istri dan anaknya. Padahal, ia hanya meninggalkan mereka beberapa jam. Begitu mobilnya berhasil terparkir di halaman Rumah, Gin lantas menuju ke lantai dua dimana istri dan anaknya berada. Benar saja, ketika sampai di kamar putrinya, ia melihat Yura dan Martha sedang berada di sana. Entah topik apa yang sedang mereka rundingkan tetapi dua wanita itu terlihat berkelakar bersama. Namun, tawa mereka terhenti ketika melihat Gin muncul di ambang pintu. "Eh, Gin? Sudah selesai requiem-nya?" tanya Yura kemudian. Wanita itu bangkit berdiri meninggalkan Martha yang sedang menggendong putrinya. "Sudah. Aku hanya ikut misa saja tidak ikut ke makam." Pria itu melangkah masuk menyambut istrinya. "Aku merindukannya, sedang apa dia?""Kalau begitu ganti baju dulu dan bersihkan badanmu, setelah itu baru kau boleh menyentuh si kecil."Sebelah alis pria itu te
Di sisi lain, Wira tak sadar jika di amati oleh seseorang. Wira masih setia duduk di sana. Dengan telaten membersihkan pusaranya, mengelap setiap keramik yang terpasang dengan sebuah kain. Saat sedang asik membersihkan pusara, ponsel yang berada di dalam sakunya bergetar. Ada panggilan dari seseorang. Saat melihat nama pemanggil, pria itu langsung menghentikan aktivitasnya. Martha yang mrmanggilnya."Ya? Ada apa, Martha?"["Kamu dimana, Mas?"]"Aku di makam Anjani, mengirim bunga sebentar setelah itu aku ke rumah Gin, ada apa?"["Oh, maaf kalau aku menganggu waktumu. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku ada meeting sebentar di resto."]"Tidak menganggu juga. Sampai jam berapa kau di sana?"["Mungkin setengah jam lagi aku pulang. Sore ini Yura harus cek jahitan jadi aku tak bisa meninggalkan mereka lama-lama.Aku juga hanya membahas booking tempat untuk acara temanku saja."]"Kalau begitu aku jemput, Martha."["Mas memangnya sedang buru-buru atau tidak? Dan jam berapa pulangnya? Kal
Sarah menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tetap tak percaya, tetapi tanggal lahir dan foto yang terpampang nyata dalam batu nisan itu benar-benar identitas putrinya. "Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya sekali lagi.Ia hendak menyangkal tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Lalu ingatan-ingatan akan kejadian buruk waktu itu terputar lagi di kepalanya. Sarah akhirnya menemukan memori dimana ia hendak merayakan ulang tahun, tetapi mendapatkan kabar bahwa putrinya mengalami kecelakaan.Entah bagaimana caranya pula, Ia bisa mengingat kembali peti jenazah yang bersemayam dan Putrinya terbaring kaku di dalamnya.Tidak hanya itu, suara-suara tangisan pecah memenuhi gendang telinganya."Oh, tidak!"Seketika dunia Sarah terasa berputar. Kakinya terasa lemas dan bergetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menopang berat badannya. Tubuh wanita itu terhuyung ke depan hingga kakinya berlutut tepat di depan pusara Anjani. Dadanya bergemuruh dan napasnya berubah sesak."Anjani .... Anj
Sarah jatuh sakit setelah hari itu. Keadaannya menjadi tidak baik, ia sering demam akibat stress yang berlebihan. Dia telah kembali mengingat kenyataan jika Anjani telah tiada. Rasa sedih dan kehilangan kembali menyelimuti hidupnya meski Anjani sudah pergi bertahun-tahun yang lalu.Memang benar pepatah yang selama ini kita dengar, terkadang rasa ingin tahu bisa membunuhmu.Terbukti saat Sarah selalu merasa ingin tahu tentang Wira, tetapi justru berdampak buruk untuknya. Wira yang tadinya sempat berjuang optimis bisa mengobati Sarah dengan terus berada di sampingnya, kembali lesu dan putus harap. Memangnya siapa yang bisa terus optimis dalam keadaan seperti ini?Sarah seperti menceburkan diri dalam lingkaran setan yang ia buat sendiri. "Apa yang sedang kau buat di dapur ini, Sayang?" Wira menyapa seraya membuka pintu kulkas untuk mengambil air mineral dingin. Sementara Martha yang berkutat dengan kompornya hanya menoleh sekilas ke arah sang suami. Wanita itu sesekali membantu me
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth