Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu, pagi ini, Sarah menyiapkan beberapa menu Sarapan di meja makan. Usai kejadian siang itu Sarah berusaha untuk bersikap biasa dan berpura-pura tidak pernah melihat kejadian di rumah Gin dan Yura. Wira sendiri juga sepertinya tidak tahu jika Sarah mengikutinya kemarin. Saat pulang pun pria itu tetap bersikap biasa tanpa curiga. Ketukan langkah sepatu membuat wanita itu membalikan badannya. Wira tengah berjalan ke arahnya. Penampilan pria itu berbeda dari biasanya. Tampak mengenakan kemeja lengan panjang dan setelan celana berwarna hitam. Entah ia akan kemana, tetapi Sarah tidak tahu-menahu soal jadwal dan agendanya selama seminggu ini. "Pagi," sapa lelaki itu seraya mendaratkan sebuah kecupan tipis di pelipisnya. Sekali pun ini membahagiakan, tetapi dati Sarah tetap berdenyut nyeri. Secara ia tahu, ada wanita lain yang mendapatkan kecupan serupa, bahkan lebih mesra. Ia masih sangat jelas. Lalu, kata manis yang selalu meluncur dari bibirny
Jika Sarah sedang bertanya-tanya tentang kemana perginya Wira, juga apa yang akan dilakukan oleh suaminya itu, Gin justru sangat merindukan istri dan anaknya. Padahal, ia hanya meninggalkan mereka beberapa jam. Begitu mobilnya berhasil terparkir di halaman Rumah, Gin lantas menuju ke lantai dua dimana istri dan anaknya berada. Benar saja, ketika sampai di kamar putrinya, ia melihat Yura dan Martha sedang berada di sana. Entah topik apa yang sedang mereka rundingkan tetapi dua wanita itu terlihat berkelakar bersama. Namun, tawa mereka terhenti ketika melihat Gin muncul di ambang pintu. "Eh, Gin? Sudah selesai requiem-nya?" tanya Yura kemudian. Wanita itu bangkit berdiri meninggalkan Martha yang sedang menggendong putrinya. "Sudah. Aku hanya ikut misa saja tidak ikut ke makam." Pria itu melangkah masuk menyambut istrinya. "Aku merindukannya, sedang apa dia?""Kalau begitu ganti baju dulu dan bersihkan badanmu, setelah itu baru kau boleh menyentuh si kecil."Sebelah alis pria itu te
Di sisi lain, Wira tak sadar jika di amati oleh seseorang. Wira masih setia duduk di sana. Dengan telaten membersihkan pusaranya, mengelap setiap keramik yang terpasang dengan sebuah kain. Saat sedang asik membersihkan pusara, ponsel yang berada di dalam sakunya bergetar. Ada panggilan dari seseorang. Saat melihat nama pemanggil, pria itu langsung menghentikan aktivitasnya. Martha yang mrmanggilnya."Ya? Ada apa, Martha?"["Kamu dimana, Mas?"]"Aku di makam Anjani, mengirim bunga sebentar setelah itu aku ke rumah Gin, ada apa?"["Oh, maaf kalau aku menganggu waktumu. Aku hanya ingin memberitahu kalau aku ada meeting sebentar di resto."]"Tidak menganggu juga. Sampai jam berapa kau di sana?"["Mungkin setengah jam lagi aku pulang. Sore ini Yura harus cek jahitan jadi aku tak bisa meninggalkan mereka lama-lama.Aku juga hanya membahas booking tempat untuk acara temanku saja."]"Kalau begitu aku jemput, Martha."["Mas memangnya sedang buru-buru atau tidak? Dan jam berapa pulangnya? Kal
Sarah menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia tetap tak percaya, tetapi tanggal lahir dan foto yang terpampang nyata dalam batu nisan itu benar-benar identitas putrinya. "Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya sekali lagi.Ia hendak menyangkal tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Lalu ingatan-ingatan akan kejadian buruk waktu itu terputar lagi di kepalanya. Sarah akhirnya menemukan memori dimana ia hendak merayakan ulang tahun, tetapi mendapatkan kabar bahwa putrinya mengalami kecelakaan.Entah bagaimana caranya pula, Ia bisa mengingat kembali peti jenazah yang bersemayam dan Putrinya terbaring kaku di dalamnya.Tidak hanya itu, suara-suara tangisan pecah memenuhi gendang telinganya."Oh, tidak!"Seketika dunia Sarah terasa berputar. Kakinya terasa lemas dan bergetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menopang berat badannya. Tubuh wanita itu terhuyung ke depan hingga kakinya berlutut tepat di depan pusara Anjani. Dadanya bergemuruh dan napasnya berubah sesak."Anjani .... Anj
Sarah jatuh sakit setelah hari itu. Keadaannya menjadi tidak baik, ia sering demam akibat stress yang berlebihan. Dia telah kembali mengingat kenyataan jika Anjani telah tiada. Rasa sedih dan kehilangan kembali menyelimuti hidupnya meski Anjani sudah pergi bertahun-tahun yang lalu.Memang benar pepatah yang selama ini kita dengar, terkadang rasa ingin tahu bisa membunuhmu.Terbukti saat Sarah selalu merasa ingin tahu tentang Wira, tetapi justru berdampak buruk untuknya. Wira yang tadinya sempat berjuang optimis bisa mengobati Sarah dengan terus berada di sampingnya, kembali lesu dan putus harap. Memangnya siapa yang bisa terus optimis dalam keadaan seperti ini?Sarah seperti menceburkan diri dalam lingkaran setan yang ia buat sendiri. "Apa yang sedang kau buat di dapur ini, Sayang?" Wira menyapa seraya membuka pintu kulkas untuk mengambil air mineral dingin. Sementara Martha yang berkutat dengan kompornya hanya menoleh sekilas ke arah sang suami. Wanita itu sesekali membantu me
Gin, Yura, dan juga bayi mereka kompak menggunakan baju serba biru dan telah berdiri di ambang pintu.Raut masam Wira lantas berubah drastis menyambut kedatangan mereka."Aku pikir kalian datang sore hari," ujar Wira seraya melebarkan pintunya. "Tadinya kami berencana begitu, tetapi kami pikir datang sejak pagi saja dan bisa membantu banyak hal.""Bagaimana dengan keadaan ibu? Maaf, aku baru sempat berkunjung, pekerjaanku sedang padat, dan beberapa hari ini setiap malam Raya sering rewel," ujar Gin setelah menyalami ayahnya sendiri. Diikuti dengan Yura yang sedang menggendong putrinya."Tidak apa, Gin, aku mengerti," jawab Wira seraya menghempas napas panjang, "seperti itu keadaan ibumu. Sepanjang hari waktunya hanya habis untuk melamun dan menangis.""Hasil pemeriksaan dari Arum sudah dikirimkan?""Belum. Nanti sore setelah praktek dia akan ke sini dan menjelaskan. Dia hanya bilang ada sesuatu yang harus di sampaikan. Ku harap kalian bisa menunggu sampai Arum datang, agar kita bisa b
"Apa maksud ibu?"Sarah gelagapan ditanya seperti itu. Wajahnya terlihat menegang. Ia segera membuang pandangan dan menghindar dari tatapan sang putra. Tak sadar, ia telah mengungkap sebuah hal yang seharusnya tak pernah diketahui oleh Gin. Dalam hati ia merutuk, mengapa bibirnya itu terlalu cepat bergerak untuk menanyakan keberadaan Yura. Sarah yang masih bergeming membuat Gin semakin penasaran. "Bu? Ada apa? Janji apa yang Yura buat dengan ibu?""Tidak. Lupakan. Kau mungkin salah dengar.""Salah dengar? Aku bahkan mendengar ucapan ibu dengan jelas kalau Yura seharusnya sudah pergi. Dia berjanji sesuatu pada ibu?"Gin tak melepaskan pandangannya dari wanita tua itu, sengaja pergerakan Sarah dan menuntut jawab. Ia tak ingin kecolongan lagi kali ini. Sudah beberapa kali Yura selalu mampu mengelabuinya. Jangan-jangan, kecurigaannya beberapa waktu lalu berkaitan dengan apa yang dikatakan ibunya hari ini?"Tidak. Aku bahkan tak punya waktu peduli dengannya.""Aku tidak tahu mengapa be
Sore hari setelah menguping pembicaraan putra dan menantunya, Sarah telah mendengar kabar jika Arum datang. Meski ia tak tahu pasti perihal apa yang akan mereka bahas, tetapi jika psikiater itu hadir, maka sudah pasti akan membahas masalah serius.Mungkin saja, penyakit yang sedang dideritanya. "Wira, aku ingin keluar! Aku harus bertemu Arum!"Sarah bangkit berdiri sebelum Wira menutup pintu kamarnya. Lelaki itu pun berbalik badan dengan cepat dan melayangkan kerutan dahinya."Ada perlu apa? Arum datang hanya ingin berdiskusi denganku, bukan memeriksamu."Sarah semakin gelisah. Ia tak ingin semua keluarganya tahu, terutama Wira tentang apa yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Sebuah penyakit yang perlahan mengikis tubuh juga usianya."Ada hal yang ingin bicarakan dengan Arum dulu tentang jadwal check up dan obatku.""Nanti aku yang aturkan." Wira ingin kembali melangkah, tetapi Sarah tetap memperjuangkan keinginannya. "Aku bertemu sendiri saja.""Biasanya aku juga yang menga