Wira tidak langsung menjawab pertanyaan Gin. Ada selang beberapa detik pria itu merenung. Tampak memikirkan jawaban untuk menjelaskan pada putranya. "Ini bukan mauku," katanya. Pria itu menyesap rokoknya dan menyemburkan asapnya. Lalu, merapatkan cangkir berisi kopi pekat di hadapannya. Sedangkan Gin menatap Wira dengan penasaran. "Bukan kemauan Ayah?" Gin membeo sebelum menyesap cairan manis dari pipa rokok elektriknya. "Belakangan ini aku dan Martha sering berdebat. Terlebih sejak Sarah datang ke rumahmu dan kalian uring-uringan. Dia selalu cemas dan merasa bahwa apa yang terjadi dengan kau juga Yura itu semua karena kami, aku, Sarah, dan dia. Martha memintaku untuk pulang dan menemani ibumu beberapa waktu, siapa tahu ada keajaiban. Meski aku sendiri ragu, karena untuk mengembalikan kesadaran ibumu rasanya sulit sekali."Wira memadamkan bara pada puntung rokoknya yang telah habis. Ia lalu mengambil satu lagi dari dalam kotak berwarna putih dan menyulutnya dengan api.Gin menekuk
Wira segera bangkit berdiri dan mencari sumber suara teriakan. Khawatir telah terjadi sesuatu, ia segera berlari ke dalam rumah. Ketika sampai di dapur ia melihat kamar Sarah terbuka dan beberapa pembantu telah berkumpul di sana."Astaga! Sarah!" Wira mempercepat langkahnya dan membelah kerumunan asisten rumah tangganya. "Ada apa, Bi? Kenapa ini?" tanya Wira kepada salah satu pembantunya. "Kami tidak tahu, Pak, tadi saya sedang lewat kamar ibu dan mendengar ibu menangis, saat saya membuka pintu ternyata ibu masih dalam keadaan tidur."Wira lalu bergerak mendekat ke ranjang dan mendudukkan dirinya ke samping Sarah. Dengan mata terpejam, wanita itu menangis histeris, Wira berulang kali menepuk pipinya dengan pelan, berusaha menyadarkannya. Akan tetapi butuh waktu beberapa lama agar Sarah bisa tersadar dari igauannya."Wira!" Sarah terbangun pada tepukan terakhir sang suami. Ia terbangun dengan napas terengah-engah dan wajah banjir air mata. "Ada apa, Sarah?" tanya Wira kemudian. Sa
"A—aku tidak mencemaskan apa-apa, Gin, apalagi tentang Ibu. Tadi memang datang ke sini tetapi tidak terjadi apa-apa. Ibu hanya mencari mu saja dan bertanya apakah seminggu ini ada jadwal padat atau tidak."Dua mata Gin spontan menyipit. Ia merasa janggal dengan ucapan Yura. Apakah mungkin itu yang terjadi? Sementara pertama bertemu saja Sarah hampir mengancam nyawanya. Akan tetapi, Yura tak merubah ekspresinya sama sekali. Bahkan malah menyunggingkan bibirnya."Kau lihat ada brownies di dapur, kan? Itu ibu yang bawa untukmu," ujar Yura kembali. "Jadi, itu ibu yang bawa?" Gin mengingat makanan itu. Ia sempat mencomotnya beberapa potong sebelum pergi ke rumah sakit tadi. Yura mengangguk seraya menepuk lengan suaminya. Berusaha menenangkan Gin yang menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Waktu pertama dulu mungkin ibu terkejut. Lalu, pertemuan kedua kami mungkin membuat ibu berubah pikiran meskipun saat itu membuat kita bertengkar hebat setelahnya. Tetapi, hari ini ibu datang dengan si
"Kalau bunda juga tidak keberatan, aku akan mendengarkan." Martha meletakkan celana bayi yang telah ia lipat ke dalam tumpukan yang sama. Lalu menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pad kasur."Aku hanya seorang wanita yang meneruskan usaha restoran biasa milik orang tua. Suamiku seorang pengusaha konveksi lumayan besar. Kami bertemu tidak sengaja saat aku liburan dan ikut open trip ke Raja Ampat. Hanya dua tahun kami saling mengenal lalu menikah."Martha menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Sedangkan Yura menyimak baik-baik setiap kalimat yang meluncur dari sang bunda. "Suamiku bukan anak pertama, tetapi dia satu-satunya lelaki di antara tiga saudaranya. Mulanya, keluarganya, mertua menerimaku dengan baik. Mereka menganggap aku seperti anak sendiri. Beberapa waktu kemudian, semuanya berubah, Yura. Saat aku dinyatakan tak bisa mengandung dan memberikan mereka keturunan. Perlahan semua orang yang tadinya dekat denganku mulai menjauh. Tetapi ada satu ora
Tinggal menghitung hari, Yura akan bertemu dengan buah hati yang selama ini ia tunggu. Kabar itu juga ia sebarkan kepada sahabat dekatnya seperti Erna yang sampai sekarang masih berhubungan baik sekali pun hanya melalui pesan. Semalam, Yura memberi kabar kepada Erna perihal operasi yang akan ia jalani esok hari. Awalnya, Yura ragu karena tahu jika dia sedang memiliki acara keluarga untuk liburan, ia pasti kecewa karena sejak dulu wanita itu sangat antusias menemaninya untuk melahirkan."Ada baiknya kau beritahu saja, Erna pasti mengerti alasannya. Kabar yang kau berikan juga kabar baik, daripada nanti setelah kau melahirkan, dia akan lebih kecewa," ujar Gin saat mereka berunding semalam. Alhasil, ia mengirim pesan kepada Erna, dan pagi ini, ia mendapatkan kicauan dari wanita itu.["Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Aku senang karena akhirnya sebentar lagi anakmu lahir tetapi aku juga sedih karena tak bisa menemanimu. Kenapa kau memberiku pesan mendadak sekali, sih? Kalau saja
Setelah kurang lebih lima belas menit mereka berkendara—sejak Sarah bertanya kemana tujuan mereka. Akhirnya, keempat roda mobil yang dikendarai oleh Wira terparkir rapi pada halaman sebuah taman yang yang berada di tepi danau. Mereka memilih sebuah bangunan kayu semacam saung yang teduh. Sarah duduk bersila sembari mengamati ikan-ikan yang berlalu lalang di bawahnya. Sedangkan Wira bersandar pada dinding kayu seraya memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya. Mereka sedang menunggu pesanan semangkuk bubur kacang hijau.“Bagaimana pemandangannya, indah?”Sarah melirik tanpa menjawab pertanyaan Wira. Kendati sebenarnya, tanpa Wira mengutarakan pendapat, ekspresi Sarah sudah menjawabnya dengan jelas. Wanita itu tampak lebih berseri dibandingkan saat mereka masih berada di dalam mobil. Seperti menemukan hiburannya sendiri. Ada senyum yang terkembang beberapa kali ketika melihat ikan-ikan yang ia beri pakan berkumpul seolah berebut makanan. "Biasa saja," jawab Sarah usai memasang wajah da
Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Gin. Setelah melewati banyak hal yang terjadi dalam proses kehamilan istrinya, akhirnya hari ini lelaki itu akan resmi mengemban jabatan baru sebagai seorang ayah. Rasa bahagianya tak terkira. Hanya dalam hitungan jam ia akan bertemu dengan malaikat kecilnya. Meski di sisi lain, ia mencemaskan keadaan Yura. Mengingat riwayat yang pernah Yura alami. Apa pun bisa terjadi.Dan entah bagaimana sekarang, belum ada satu pun tenaga medis yang mengabarinya. Waktu sudah lebih sepuluh menit berlalu dan ia masih diselubungi harap cemas. Mereka bilang estimasi waktu yang mereka butuhkan sekitar satu jam, tentu seharusnya sekarang sudah selesai."Gin ...." Sebuah tepukan di pundak membuat pria itu menoleh. Gin lantas menegakkan tubuhnya, membuat jarak dengan sandaran kursi. Martha menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Minumlah."Gin mengurai lipatan tangannya di depan dada lalu menerima uluran sebotol air minum itu dari Martha. Napas panjang
"Terima kasih, tetapi bagaimana dengan istri saya?"Pertanyaan Gin membuat Sarah menajamkan pendengaran. Mendadak ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Yura. Apakah wanita itu baik-baik saja?Sedangkan tenaga medis di hadapannya itu tidak langsung menjawab, seolah tertegun dengan pertanyaan Gin. Lehernya bahkan terlihat naik turun. Gin yang melihat perubahan raut wajah lantas memiringkan kepalanya. "Ada apa? Ada apa dengan istri saya?" Gin bertanya dengan nada lebih tegas menuntut penjelasan. "Bapak tidak perlu khawatir. Saat ini Ibu Yura baik dan masih dalam proses pemulihan. Setelah selesai observasi, kami akan mengantar beliau ke bangsal."Berbeda dengan Gin dan Wira yang mengucap syukur, Sarah justru sebaliknya. Kembali ia membuang pandangan dan menghempas napas pelan. Seharusnya ia tidak perlu datang ke tempat ini.***Usai mereka meninggalkan ruang operasi, tiga orang itu berpencar sendiri-sendiri. Gin diijinkan masuk ke dalam ruang pemulihan untuk bertemu dengan istrinya. T