"Kalau bunda juga tidak keberatan, aku akan mendengarkan." Martha meletakkan celana bayi yang telah ia lipat ke dalam tumpukan yang sama. Lalu menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pad kasur."Aku hanya seorang wanita yang meneruskan usaha restoran biasa milik orang tua. Suamiku seorang pengusaha konveksi lumayan besar. Kami bertemu tidak sengaja saat aku liburan dan ikut open trip ke Raja Ampat. Hanya dua tahun kami saling mengenal lalu menikah."Martha menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Sedangkan Yura menyimak baik-baik setiap kalimat yang meluncur dari sang bunda. "Suamiku bukan anak pertama, tetapi dia satu-satunya lelaki di antara tiga saudaranya. Mulanya, keluarganya, mertua menerimaku dengan baik. Mereka menganggap aku seperti anak sendiri. Beberapa waktu kemudian, semuanya berubah, Yura. Saat aku dinyatakan tak bisa mengandung dan memberikan mereka keturunan. Perlahan semua orang yang tadinya dekat denganku mulai menjauh. Tetapi ada satu ora
Tinggal menghitung hari, Yura akan bertemu dengan buah hati yang selama ini ia tunggu. Kabar itu juga ia sebarkan kepada sahabat dekatnya seperti Erna yang sampai sekarang masih berhubungan baik sekali pun hanya melalui pesan. Semalam, Yura memberi kabar kepada Erna perihal operasi yang akan ia jalani esok hari. Awalnya, Yura ragu karena tahu jika dia sedang memiliki acara keluarga untuk liburan, ia pasti kecewa karena sejak dulu wanita itu sangat antusias menemaninya untuk melahirkan."Ada baiknya kau beritahu saja, Erna pasti mengerti alasannya. Kabar yang kau berikan juga kabar baik, daripada nanti setelah kau melahirkan, dia akan lebih kecewa," ujar Gin saat mereka berunding semalam. Alhasil, ia mengirim pesan kepada Erna, dan pagi ini, ia mendapatkan kicauan dari wanita itu.["Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Aku senang karena akhirnya sebentar lagi anakmu lahir tetapi aku juga sedih karena tak bisa menemanimu. Kenapa kau memberiku pesan mendadak sekali, sih? Kalau saja
Setelah kurang lebih lima belas menit mereka berkendara—sejak Sarah bertanya kemana tujuan mereka. Akhirnya, keempat roda mobil yang dikendarai oleh Wira terparkir rapi pada halaman sebuah taman yang yang berada di tepi danau. Mereka memilih sebuah bangunan kayu semacam saung yang teduh. Sarah duduk bersila sembari mengamati ikan-ikan yang berlalu lalang di bawahnya. Sedangkan Wira bersandar pada dinding kayu seraya memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya. Mereka sedang menunggu pesanan semangkuk bubur kacang hijau.“Bagaimana pemandangannya, indah?”Sarah melirik tanpa menjawab pertanyaan Wira. Kendati sebenarnya, tanpa Wira mengutarakan pendapat, ekspresi Sarah sudah menjawabnya dengan jelas. Wanita itu tampak lebih berseri dibandingkan saat mereka masih berada di dalam mobil. Seperti menemukan hiburannya sendiri. Ada senyum yang terkembang beberapa kali ketika melihat ikan-ikan yang ia beri pakan berkumpul seolah berebut makanan. "Biasa saja," jawab Sarah usai memasang wajah da
Ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Gin. Setelah melewati banyak hal yang terjadi dalam proses kehamilan istrinya, akhirnya hari ini lelaki itu akan resmi mengemban jabatan baru sebagai seorang ayah. Rasa bahagianya tak terkira. Hanya dalam hitungan jam ia akan bertemu dengan malaikat kecilnya. Meski di sisi lain, ia mencemaskan keadaan Yura. Mengingat riwayat yang pernah Yura alami. Apa pun bisa terjadi.Dan entah bagaimana sekarang, belum ada satu pun tenaga medis yang mengabarinya. Waktu sudah lebih sepuluh menit berlalu dan ia masih diselubungi harap cemas. Mereka bilang estimasi waktu yang mereka butuhkan sekitar satu jam, tentu seharusnya sekarang sudah selesai."Gin ...." Sebuah tepukan di pundak membuat pria itu menoleh. Gin lantas menegakkan tubuhnya, membuat jarak dengan sandaran kursi. Martha menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Minumlah."Gin mengurai lipatan tangannya di depan dada lalu menerima uluran sebotol air minum itu dari Martha. Napas panjang
"Terima kasih, tetapi bagaimana dengan istri saya?"Pertanyaan Gin membuat Sarah menajamkan pendengaran. Mendadak ia juga ingin tahu bagaimana keadaan Yura. Apakah wanita itu baik-baik saja?Sedangkan tenaga medis di hadapannya itu tidak langsung menjawab, seolah tertegun dengan pertanyaan Gin. Lehernya bahkan terlihat naik turun. Gin yang melihat perubahan raut wajah lantas memiringkan kepalanya. "Ada apa? Ada apa dengan istri saya?" Gin bertanya dengan nada lebih tegas menuntut penjelasan. "Bapak tidak perlu khawatir. Saat ini Ibu Yura baik dan masih dalam proses pemulihan. Setelah selesai observasi, kami akan mengantar beliau ke bangsal."Berbeda dengan Gin dan Wira yang mengucap syukur, Sarah justru sebaliknya. Kembali ia membuang pandangan dan menghempas napas pelan. Seharusnya ia tidak perlu datang ke tempat ini.***Usai mereka meninggalkan ruang operasi, tiga orang itu berpencar sendiri-sendiri. Gin diijinkan masuk ke dalam ruang pemulihan untuk bertemu dengan istrinya. T
"Sarah?"Wira menunggu beberapa detik sebelum memanggil istrinya. Sarah sebelumnya bersikukuh tak ingin melihat ke arah ruangan bayi dan memilih memberikan punggungnya.Entah mendapatkan dorongan dari mana, kini dua manik hitam wanita itu tertuju pada ruangan tersebut. Tatapan yang tadinya tajam, telah melunak. Ada binar kagum yang terpancar di kedua matanya. Bahkan, tangannya bergerak menyentuh bibirnya sendiri. "Sarah?"Wanita itu lantas menoleh ke arah Wira setelah sadar jika tubuh wira terlalu dekat, Sarah langsung menjauhkan tubuhnya. "Hei, kenapa?" Wira bertanya kembali usai tak mendapatkan jawaban. "Ti—tidak, aku .... Aku tidak salah lihat kan?" ujarnya menggantung kalimatnya.Dahi Wira berkerut dalam. "Memangnya apa yang kau lihat? Dia cucumu, anaknya Gin dan Yura.""Aku tahu, tapi aku merasa ada yang salah, Wira. Mengapa wajahnya seperti ...," Sarah menelan ludahnya kasar selanjutnya melempar tatapan tanya kepada Wira yang ada di sampingnya, "..., Anjani?"Mendengar kalima
"Aku ..., bolehkah aku menggendongnya?"Wira menahan napasnya beberapa detik. Ia lalu melemparkan pandangan kepada Gin dan Yura, seolah meminta persetujuan dari mereka. Ia tak bisa memberikan bayi mereka kepada Sarah dengan sembarangan, masih menghargai mereka sebagai orang tuanya sekali pun Sarah adalah istrinya. Gin yang terlihat tak yakin, tetapi Yura mengangguk setuju. Bahkan, anggukan itu terlihat mantap tanpa ragu. Usai mendapatkan persetujuan, Wira lantas memindahkan bayi perempuan itu ke dalam dekapan Sarah. "Ah, dia ... tersenyum padaku?" Wanita tua itu bergumam pelan. Matanya mengerjap pelan tak percaya.Semua orang di dalam ruangan itu tak percaya. Mereka kira, aura Sarah yang sinis membuatnya tak nyaman dan menangis kencang. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.Anaknya baik-baik saja. Dan sejak jarak mereka sedekat itu, entah mengapa Sarah merasa ada sesuatu yang hangat ketika memandang cucunya. Rasa senang, bahagia, dan lengkap semuanya menjadi satu.Seperti .... S
Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu, pagi ini, Sarah menyiapkan beberapa menu Sarapan di meja makan. Usai kejadian siang itu Sarah berusaha untuk bersikap biasa dan berpura-pura tidak pernah melihat kejadian di rumah Gin dan Yura. Wira sendiri juga sepertinya tidak tahu jika Sarah mengikutinya kemarin. Saat pulang pun pria itu tetap bersikap biasa tanpa curiga. Ketukan langkah sepatu membuat wanita itu membalikan badannya. Wira tengah berjalan ke arahnya. Penampilan pria itu berbeda dari biasanya. Tampak mengenakan kemeja lengan panjang dan setelan celana berwarna hitam. Entah ia akan kemana, tetapi Sarah tidak tahu-menahu soal jadwal dan agendanya selama seminggu ini. "Pagi," sapa lelaki itu seraya mendaratkan sebuah kecupan tipis di pelipisnya. Sekali pun ini membahagiakan, tetapi dati Sarah tetap berdenyut nyeri. Secara ia tahu, ada wanita lain yang mendapatkan kecupan serupa, bahkan lebih mesra. Ia masih sangat jelas. Lalu, kata manis yang selalu meluncur dari bibirny