Tiara merasa hidupnya sudah sempurna. Suami yang sangat sayang padanya dan dua anak laki-laki menggemaskan yang melengkapi harinya. Satu hal yang mengusik kehidupan rumah tangganya adalah keinginan sang suami untuk memiliki anak perempuan yang belum dapat dia wujudkan. Saat membuka pintu di pagi hari Tiara menemukan bayi perempuan di teras rumahnya. Dia merasa inilah jawaban Tuhan untuk do'a-do'anya. Akan tetapi lambat laun dia menyadari kasih sayang sang suami lebih condong pada anak angkat mereka dari pada anak kandungnya sendiri. Bayi yang dia anggap sebagai anugerah ternyata...
View More“Apa kamu yakin dia bukan anak suamimu? Kok wajahnya mirip.”
Waktu Keysa mengatakannya, Tiara langsung tertawa. Konyol sekali pemikiran itu, mana mungkin anak yang dia temukan di depan pintu rumahnya adalah anak suaminya.
Akan tetapi hari ini Tiara sama sekali tidak berpikir hal itu konyol.
Perhatian dan kasih sayang suaminya, bahkan melebihi pada dua orang anak yang telah dia lahirkan.
Sejak awal suaminya memang menginginkan anak perempuan, kelahiran Araz si bungsu yang berjenis kelamin laki-laki membuat Farhan begitu kecewa dan mendesak Tiara untuk memberinya anak perempuan, tapi sampai si bungsu berusia lima tahun, Tiara tak juga hamil lagi padahal mereka sudah mengupayakan segala cara.
Akhir-akhir ini memang suaminya sama sekali, tidak menyinggung tentang anak perempuan yang dia inginkan, dan itu sedikit membuat Tiara lega, awalnya.
Penemuan bayi perempuan di depan rumahnya waktu itu seperti jawaban do’a yang dia panjatkan selama ini, yah disaat suaminya begitu menginginkan anak perempuan ada seseorang yang meletakkan bayi perempuan di depan pintu rumahnya.
“Kenapa tidak masuk, Bu?”
Tiara menoleh dan si sulung Arka, menatapnya dengan bibir cemberut. “Maaf, kakak mau lewat ya.”
Anak itu hanya mengangguk lalu mengucap salam, dan berjalan ke arah sang ayah yang sedang menimang bayi perempuan yang mereka angkat menjadi anak.
Tiara sedikit kesal saat Arka menyodorkan tangannya ke arah sang ayah, tapi laki-laki yang sudah sepuluh tahun menemaninya itu lebih memilih acuh karena masih sibuk dengan Alena, bayi kecil itu.
Tak ingin melihat wajah kecewa anak sulungnya, Tiara langsung melangkah menghampiri mereka. “Alena tidurkan dulu, itu Kak Arka mau salim sama ayah,” katanya lembut dan mengambil Alena dari tangan suaminya.
Tiara hanya mengawasi saat Arka mencium tangan ayahnya takzim, lalu berlari ke kamarnya sedangkan Farhan seolah tak peduli dan sudah bermain kembali dengan Alena.
Jangankan bertanya kegiatannya di sekolah hari ini, menyapanya saja suaminya enggan.
Sejenak Tiara termangu melihat hal itu, apakah seorang anak laki-laki tak pantas untuk disayangi ayahnya?
Obrolannya dengan Keysa waktu itu kembali mengusiknya, apa benar anak ini anak suaminya dengan wanita lain?
Tiara menggelengkan kepalanya berusaha mengusir semua pikiran buruk tentang suaminya, mungkin saja suaminya memang sangat menyayangi adiknya yang telah meninggal karena itu sangat menginginkan anak perempuan yang mirip adiknya.
Tiara meletakkan tas di atas meja dan menguncir rambutnya lalu berkata pada Farhan, “Aku mau ganti baju dulu, Mas, setelah itu gantian jagain Alena mas bisa istirahat. Oh ya di mana Araz?”
Tanpa menoleh pada sang istri Farhan menjawab.”Di kamarnya mungkin, dari tadi dia tidak keluar kamar,” jawabnya acuh.
Tiara langsung membelalakkan matanya, hari ini pengasuh yang mengasuh Araz dan Alena ijin tidak datang karena ada kepentingan, dan kebetulan sekolah anak itu juga sedang libur. Karena Farhan sedang libur kerja dan berjanji menjaga anak-anak di rumah, dia tidak mengajak Araz dan Alena ke sekolah.
“Tapi dia sudah makan kan?”
Tapi Tiara tidak membutuhkan jawaban karena terdengar langkah kaki kecil dari dalam rumah.
“ibu..”
Wajah kecil itu terlihat kuyu dan tak seceria biasanya. “Araz...” tanpa bisa dicegah Tiara langsung memeluk tubuh anak bungsunya dengan erat, berushaa keras menahan tangisnya melihat sang anak yang tak seceria biasanya.
“Kamu sudah makan?” itu kata pertama yang Tiara ucapkan begitu dia berhasil menguasai dirinya.
“Ibu menangis?” tanya anak itu dengan wajah polosnya.
Tiara langsung menggeleng. “Kamu terlalu berlebihan baru juga tadi pagi kalian bertemu,” komentar sang suami yang membuatnya makin kesal.
Tiara sama sekali tidak mengindahkan perkataan sang suami, dia kembali menatap anaknya dengan pandangan bertanya dan anak itu hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Ayah belum memberi Araz makan?” tanya Tiara dengan nada menuntut. Sejenak dia menatap suaminya yang salah tingkah, lalu beranjak meraih Araz dalam gendongannya.
“Adek pasti lapar, biar ibu ambilkan makanan.”
Tiara bisa merasakan kalau anak itu menganggukkan kepala di ceruk lehernya. Salahnya memang yang mempercayakan anak-anak pada suaminya yang memang dari dulu tidak terlalu peduli pada mereka.
Sudah sering Tiara menegur suaminya untuk lebih memperhatikan kedua putra mereka, paling tidak bermain bersama pada hari libur, tapi suaminya terlihat enggan. Kedua putranya entah mengapa juga enggan sekali untuk dekat dengan ayahnya.
Dasar bapak-bapak tidak peka, gerutu Tiara kesal sendiri.
Dia meraih piring makan kesayangan Araz dan mengisinya dengan nasi dan sup yang tadi pagi dia buat.
Tiara mendongakkan kepalanya berusaha meghalau air matanya yang hendak turun, pasti Araz kelaparan sekali.
Ah dia kenapa jadi cengeng seperti ini?
“Pelan-pean makannya, Sayang,” gumamnya parau.
Tiara yang bekerja sebagai guru SD di sekolah yang sama tempat Arka belajar, Tadi pagi harus menghadiri rapat dewan guru.
Tiara berangkat terburu-buru, hanya memandikan Araz dan Alena setelah menyiapkan makanan untuk mereka, dengan pesan pada sang suami untuk menyuapi mereka makan, tanpa berpikir suaminya akan lalai.
“Maaf ya ibu tadi berangkat terlalu pagi, sampai nggak sempat ambilkan makanan adek.”
Lagi-kagi anak itu hanya mengangguk dengan mulut penuh. Tiara mengelus kepala putranya dengan sayang dan saat teringat mungkin saja Alena juga belum diberi makan dia langsung berdiri.
“Ibu tinggal sebentar adek bisa makan sendiri?”
“Bisa dong bu, adekkan udah besar.”
Tiara tersenyum, anaknya memang sudah dia ajari untuk makan sendiri sejak berusia dua tahun.
“Ibu mau lihat Alena dulu, ayah mungkin lupa memberinya makan.”
“Adek Alena sudah makan...”
“Eh?”
“Bersama ayah tadi adek lihat,” kata Araz dengan wajah cemberut.
Tiara menghela napas, Araz memang suka cemburu pada Alena terutama karena perhatian ayahnya yang selalu tertuju pada bayi mungil itu dan sebagai ibu, Tiara berusaha bersikap adil pada anak-anaknya, meski Alena bukan anak kandungnya.
“Kok Adek nggak minta makan ayah sekalian?” tanya Tiara penasaran.
“Adek takut ayah marah.”
Lagi-lagi Tiara hanya bisa menghela napas panjang, inilah yang sangat tidak dia sukai dari suaminya, membedakan anak-anaknya, jadi wajar kalau Tiara juga berpikir kalau Alena adalah anak kandung suaminya.
“Lain kali minta saja, ayah pasti tidak akan marah, dek Araz kan sudah jadi anak baik,” hibur Tiara.
Dan benar saja muka cemberut anaknya berubah cerah kembali membuat Tiara tersenyum lebar.
Pikiran negatif itu memang sudah beberapa saat yang lalu menghampirinya, padahal baru tiga bulan Alena tinggal di sini dan tentu saja Tiara tak bisa tinggal diam begitu saja.
Oh dia tidak membenci Alena.... sungguh, dia menyayangi anak itu seperti kedua anak kandungnya, tapi bukan berarti dia mau dipecundangi seperti ini.
“Alena sudah makan yah?” tanya Tiara begitu dia sudah berada di ruang tengah, tempat suamiya sedang menimang Alena dengan sayang, yah begitulah kegiatan suaminya setelah ada Alena di rumah ini, seolah dia tidak bisa lepas dari bayi mungil itu.
“Sudah, ayah memberikan makanan yang ibu siapkan tadi,” jawab sang suami.
Tiara sedikit kesal karena sang suami menjawab dengan acuh, tanpa kata dia mengambil Alena dari tangan sang suami, memeriksa diapersnya , setelah memastikan anak itu baik-baik saja dia menaruh Alena pada boxnya.
“Aku ingin bicara sekarang,” katanya tegas tanpa mau dibantah.
Sang suami terlihat keberatan dan ingin membantah, tapi Tiara langsung menarik tangannya sedikit menjauh.
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments