“Apa mas mengenal Alena sebelumnya?”
Pertanyaan itu langsung keluar begitu saja dari mulut Tiara saat dia berhadapan dengan suaminya, sepuluh tahun mereka sudah mengarungi rumah tangga bersama, dengan dua orang anak yang menjadi anugerah untuk mereka. Meski sang suami tidak puas karena dia belum bisa memberikan anak perempuan.
Tiara melihat wajah suaminya sedikit pias saat dia mengucapkan kalimat itu, wajah Farhan yang tadi sesekali menoleh pada box tempat Alena berada langsung sempurna menghadapnya, membuat ular yang dari tadi menebarkan bisa diotaknya menggeliat bangun dan siap menerkam.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Bukankah mas seharusnya tinggal menjawab.”
Tiara masih menunggu jawaban dari suaminya, melihat gelagat suaminya yang gelisah membuat hati Tiara sakit.
Apa sepenting itu anak perempuan untuk suaminya? Tidak bisakah suaminya berbaik hati dengan melakukan usaha yang lain? Atau memang itu hanya alasan untuk membenarkan kekejaman ini?
“Aku menunggu,” kata Tiara dengan dingin, dia sebenarnya bukan wanita yang suka memaksakan kehendak, apalagi pada suami yang harusnya dia hormati, tapi rasa sakit tak yang ada di dadanya membuatnya tak bisa menahan diri untuk melakukannya.
Sejenak matanya terpejam, dia seolah kehilangan pengendalian dirinya, cinta untuk sang suami nyatanya telah membuat sebuah lubang yang begitu dalam, ingin rasanya dia menjerit dan menuntut sang suaminya mengatakan kalau dugaannya itu tidak benar, tapi entah mengapa hatinya merasa harapannya akan kandas.
Tiara wanita yang tidak pernah kehilangan harapan selama ini.
Harapan adalah salah satu pegangannya, seperti tali yang bisa menariknya ke atas saat dia sedang terpelosok ke dalam lubang, tapi sekarang harapan itu kandas saat melihat wajah suaminya.
“Sepertinya begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah wajah bayi itu sering berubah-ubah, seperti Arka dan Araz dulu.” Bahkan Tiara tak yakin Farhan pernah memperhatikan perubahan wajah itu saat anak mereka masih kecil.
“Baiklah aku ganti pertanyaanku, apa kamu mengenal orang tua anak itu?” tanya Tiara dengan nada lambat seolah memastikan Farhan mengerti benar dengan pertanyaannya.
“Kamu bicara apa, Bu, bukankah kamu yang menemukannya di rumah depan.”
Tiara menarik napas panjang dan kembali menatap suaminya dengan pandanagan penuh tekad. “Aku memang yang menemukan pertama kali, tapi aku sama sekali tidak tahu asal usulnya dan mas juga melarangku melaporkannya pada polisi.”
“Itu karena aku ingin anak perempuan, kamu tidak lupa itu kan.”
“Tapi bukan berarti memperlakukan anak itu dengan sangat istimewa bahkan melebihi anak kandungmu sendiri.”
“Aku tidak berlebihan, anak-anak kita sudah besar tidak mungkin aku menggendongnya seperti bayi, lagi pula mereka laki-laki jangan terlalu dimanja.”
“Apa tidak memberinya makan seharian padahal kamu sudah makan itu juga cara mendidik yang kamu yakini benar?”
Kali ini Tiara sekali lagi melihat wajah terkejut suaminya, entah dia memang tidak menyadari Araz yang belum makan sejak pagi, atau memang dia tak peduli, Tiara tak tahu. Yang jelas dia sudah muak dengan pertunjukan kasih sayang penuh ketimpangan yang dilakukan suaminya pada anak kandungnya.
“Aku mencintaimu dan aku juga peduli pada anak-anak.”
Tiara yang sudah melangkah meninggalkan suaminya hanya menoleh sebentar saat mendengar kalimat itu.
Benarkah? Kenapa dia mulai ragu?
***
Sore itu Tiara yang biasanya mengasuh anak-anak dibantu mbak sari yang akan pulang jam tujuh malam. Akan tetapi kali ini dia harus melakukannya sendiri. Farhan bilang memang tidak suka ada orang lain yang berkeliaran di rumahnya sepanjang hari, meski orang lain itu membantu pekerjaan mereka.
Lagi pula Tiara juga tidak mau waktunya bersama-sama anak-anak yang sudah berkurang di kala dia bekerja, semakin berkurang karena merasa ada orang lain yang menghandle anak-anaknya.
"Alena mandi dulu ya, Nak," k."
Tiara menatap bocah kecil menggemaskan itu, bocah yang sangat cantik memang, jika ditanya apa dia sakit hati saat dia berpikir kalau anak ini adalah anak kandung suaminya dengan wanita lain, jawabannya ya dan tidak.
Ya sakit hati, karena anak ini adalah bukti hidup pengkhianatan suaminya, tapi juga tidak saat dia berpikir anak ini sama sekali tidak bersalah, yang
membuat kesalahan adalah ayah dan ibunya.
Tiara menghela napas dalam, berusaha menetralkan gemuruh dalam hatinya, dia tidak ingin melampiaskan sakit hatinya pada anak yang tidak berdosa.
Tiba-tiba Alena tersenyum padanya, memperlihatkan giginya yang ompong. Tira langsung tertegun, seolah anak ini sedang berterima kasih karena tak menyalahkannya.
Anak itu tertawa senang saat Tiara mengelitiki tubuhnya.
"Ibu."
Tiara menoleh dengan membawa Alena yang masih berbalut handuk dalam pelukannya.
Araz yang sudah dia mandikan sedang berada pada gendongan Fariz, adik iparnya.
"Anak ini masih di sini, Mbak?" tanya Fariz sambil menatap Alena dengan tatapan tak suka.
"Stt, dia udah ngerti omongan orang, Riz," jawab Tiara yang sedikit terkejut dengan ucapan adik iparnya itu.
Fariz hanya melengos. "Ini Araz cariin mbak dari tadi."
Tiara menaatap anak keduanya itu dengan senyum di bibir anak itu mengantuk, mungkin karena seharian bermain dan tidak tidur siang.
"Sebentarnya sayang, ibu pakein baju adik dulu....nitip Araz bentar ya Riz atau bilang mas Farhan untuk tidurkan Araz."
Sejenak Tiara melihat Fariz hanya menatapnya dan Alenaa secara bergantian sampai dia harus menegurnya.
"Riz?"
"Ah... iya mbak tentu saja biar aku saja yang tidurkan Araz. Yuk jagoan kita bobok dulu sebentar."
"Sambil cerita ya, om."
"Tentu dong, kita mau baca cerita apa ini?"
Dan percakapan dua orang itu tak terdengar lagi begitu mereka menjauh. Tiara langsung menghembuskan napas lega.
Interaksi Fariz dan kedua anaknya terlihat lebih dekat dari pada dengan Farhan ayah kandungnya sendiri, membuatnya kadang dia tidak enak hati pada adik iparnya itu.
"I...ibu..."
Tiara langsung tersadar sadar saat suara itu memanggilnya. Alena sedang merengut karena Tiara yang dari tadi memakaikan kaus melewati kepala alena dan satu tangannya saja sehingga anak itu tak bisa bergerak.
"Oh maaf ya, Nak, sini ibu bantu."
Tiara perkirakan Alena berusia sekitar lebih dari satu tahun dan dalam lebih dari satu bulan dia tinggal di sini, anak itu sudah memanggilnya dengan ibu dan Farhan dengan ayah, seolah anak ini memang lahir dari rahimnya.
Ah andai saja.
Tak ingin terjebak dengan pemikiran konyolnya sendiri, Tiara segera menggendong Alena yang terlihat sangat senang dengan mainan di tangannya. "Ayo kita lihat kakak."
“Mas harus memberitahu mbak Tiara soal ini, dia berhak tahu.”
Tiara langsung menghentikan langkahnya. “Aku pasti akan mengatakannya tapi tidak sekarang.”
Tiara merapatkan gendongannya pada tubuh Alena, untung saja anak itu diam saja dan tidak bersuara.
“Kapan mas akan mengatakannya?” suara mendesak Fariz kembali terdengar.
“Sampai aku siap.”
“Dan kapan mas akan siap, jika sikap mas masih seperti ini.” Suara Fariz yang makin meninggi membuat Alena terkejut dan spontan langsung menangis keras, membuat dua orang itu menoleh dengan wajah terkejut.
“Apa yang perlu aku tahu....”
Suasana ruangan yang memanas langsung membeku seketika, oh ini tidak ada hubungannya dengan pendingin ruangan yang sedang menyala. Ini tentang suasana hati yang tak bisa diterka.“Apa yang perlu aku tahu? Kenapa tidak sekarang saja?” “Bukan hal penting.” Farhan melangkah mendekati Tiara dan bermaksud mengambil Alena yang sedang menangis dari gendongannya, tapi dengan gesit Tiara menepis tangan suaminya itu. “Katakan apa yang harus aku tahu, aku bukan anak kecil yang mudah teralihkan.” Sejenak suasana kembali canggung. “Hari minggu ada arisan di rumah, Ibu ingin mbak datang membantu,” suara Fariz memecah ketegangan, tapi tentu saja Tiara tahu bukan itu permasalahan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi beberapa hari ini dia sudah terbiasa. Terbiasa untuk berpura-pura bahagia, terbiasa bahwa semua baik-baik saja, meski ada bom besar yang bisa saja meledak sewaktu-waktu tanpa dia sadari. Tiara tidak akan mengumpankan diri untuk menyalakan bom itu, tentu saja tidak, dia akan men
Tiara langsung mengusap air mata yang nekad jatuh di pipinya, dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Ini rumah mertuanya dan dia datang ke sini untuk membantu acara, bukan mendekam dalam kamar untuk menangis. Harum bau kue langsung menyebar begitu Tiara membuka pintu kamar, dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di meja panjang di ruang tengah dengan berbagai kotak kue yang sepertinya baru datang. “Apa yang bisa Tiara bantu, Bu?” “Kamu istirahat saja kalau masih lelah, farhan bilang kamu tidak enak badan.” Tiara menggeleng dengan pelan, bukan badannya yang sakit tapi hati dan jiwanya. “Tiara baik-baik saja, Bu.” Tiara langsung menundukkan kepalanya saat pandangan ibu mertuanya yang terkesan lembut tapi tegas seolah menelanjanginya. “Kamu pasti kesulitan dengan anak itu.” “Mas Farhan?” “Yah dia juga, tapi maksudku adalah anak yang kalian temukan itu.” “Alena maksud ibu, ehm... tidak sebenarnya dia anak yang manis.” “Benarkah? Tapi ibu tidak ingin membuat anak itu
Ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Buku-buku berserakan di mana-mana, baju, botol parfum semuanya sudah tak pada tempatnya, dan sepertinya keadaan ini belum cukup kacau karena dari lemari pakaian mash berhamburan baju-baju. “Aku yakin itu ada di sini kenapa sekarang tak ada?” Disekanya peluh yang telah membanjiri keningnya dengan tangan yang kotor terkena debu di tangannya, membuat wajahnya yang putih bersih ternoda. Tiara terduduk di ranjang kamarnya menatap nanar semua kekacauan yang telah dia buat.Kotak itu tak ada. Padahal dia sangat yakin beberapa hari yang lalu melihatnya di dalam almari. Apa Farhan memindahkannya? Tapi kenapa? Tiara menarik napas panjang, bertanya pada Farhan bukan opsi yang akan dia pilih, laki-laki itu sangat protektif pada kotak itu. Di mana lagi tempat yang bisa digunakan Farhan untuk menyembunyikan kotak itu? tidak mungkin dibawa ke kantor? Tiara sedikit terkejut saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dia harus berge
Tiara mengerjapkan matanya saat merasakan tangan mungil menepuk pipinya. Alena tertawa senang memperlihatkan giginya saat Tiara membuka mata, refleks Tiara ikut tersenyum juga, dia memeluk anak itu sejenak. Bohong kalau dibilang tidak menyayangi anak ini, lebih dari satu bulan dalam pengasuhannya, membuat rasa sayang itu tumbuh subur, tapi saat mengingat siapa anak ini hatinya tidak baik-baik saja. Bagaimnapun dia hanya wanita biasa yang tidak ingin berbagi apapun dengan wanita lain, apalagi yang dikorbankan disini adalah kasih sayang seorang ayah untuk anak-anaknya. Dia tidak bisa menerima semua ini. “Ibu baik-baik saja, tumben bangunnya siang.” Senyum yang terulas di bibir Tiara langsung memudar saat mendengar suara sang suami. Tadi malam seingatnya Farhan yang meminum obat tidur tapii kenapa dia yang bangun kesiangan. “Aku hanya capek,” kata Tiara datar. Yah capek hati dan pikiran. “Ini sudah jam berapa?” Mata Tiara langsung membulat saat jarum jam sudah menunjukkan angka
“Ini bukan salahmu, jangan konyol.” “Tetap saja andai aku tidak mengatakannya kamu pasti tidak akan melakukan hal ini.” “Dan membuatku terus saja dibodohi, tidak terima kasih.” “Sepertinya kamu sudah menduga hasil dari test ini.” “Sebenarnya aku berharap dugaanku salah,” suara lirih Tiara yang penuh dengan kesakitan mengundang tatapan kasihan dari Keysa. Tiara berdecak kesal. “Jangan menatapku seperti itu, aku tidak suka dikasihani.” “Maafkan aku, tapi apa kamu tahu penampilanmu saat ini sungguh mengenaskan,” ejek Keysa. Tiara menatap kesal pada Keysa lalu mengambil ponselnya dan melihat pantulan wajahnya di ponsel itu. “Apa yang salah tidak ada noda di wajahku dan bajuku juga tidak aneh.” “Bukan itu maksudku, kurasa penampilanmu bahkan lebih pucat dari pada mayat, di mana temanku yang cantik dan membuat banyak laki-laki bertekuk lutut,” kata keysa dengan judes. Bersahabat sejak SMA membuat keduanya seperti saudara, bahkan Keysalah tempat satu-satunya bagi Tiara untuk bercer
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat Tiara menginjakkan kakinya di rumah mertuanya. “Mau jemput anak-anak ya mbak?’ sapa bi Tati, asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya ini. “iya, Bi. Di mana mereka?” tanya Tiara. “Di kamar mas Fariz, Mbak barusan pulang mereka mungkin sedang mandi.” Tiara mengangguk dan memberikan bungkusan pudding buah kesukaan mertuanya. Langkah kaki Tiara langsung terhenti begitu dia menginjakkan kaki di ruang tengah, anak-anaknya ada di sana dan tentu saja bersama Fariz. Fariz sedang duduk memangku Araz yang terlihat mengantuk tapi masih ingin bermain dengan kakak dan pamannya, tangan Fariz kadang menepuk pantat Araz, sambil sesekali mengoreksi Arkan yang sebuah mobil-mobilan dari kardus bekas. Arkan dan Araz tentu saja memiliki banyak mainan mobil-mobilan di rumah bahkan beberapa juga dibawa kerumah ini, tapi yang Tiara bicarakan bukan mainan itu, tapi kebersamaan mereka yang pernuh kasih sayang seolah Fariz adalah ayah kandungnya, bukan
“Karena kamu lebih memilih sibuk dengan orang lain dari pada menjemput anak dan istrimu,” kata Fariz dengan tak kalah sinis. “Apa kamu bilang.” Dengan suara rendah dan dingin Farhan melangkah maju dan mendekati adiknya dengan rasa marah yang berkobar, bahkan Alena yang terlelap dalam gendongan Farhan tak mampu menahan langkah laki-laki itu. “Tunggu.” Tiara langsung mengambil Alena dari gendongan Farhan, mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah. “Aku masuk dulu, silahkan lanjutkan percakapan penuh cinta kalian jika aku dan anak-anak sudah di dalam.” Sambil menggendong Alena yang sudah terlelap, Tiara memberi isyarat pada Araz untuk turun dari gendongan pamannya dan masuk ke dalam rumah. “Jangan ikut campur urusan keluargaku.” Sayup-sayup masih bisa Tiara dengan perkataan pedas Farhan pada adiknya. Dia menoleh pada kedua anaknya yang sesekali menoleh dengan penasaran pada paman dan ayahnya yang masih di luar. “Kalian segera bersihkan diri, sebentar lagi ibu menyusul setel
Tiara membolak-balik kertas hasil ulangan muridnya. Matanya sesekali melirik pada Alena yang sedang mencorat-coret buku dengan crayon yang dia berikan. Sore ini memang sedikit tak biasa, ada senyum manis di bibirnya. Tentu saja alasan yang membuatnya tersenyum adalah dua orang anak manusia berbeda usia yang sedang berusaha keras untuk mengajari anak berusia lima tahun menaiki sepeda roda dua pertamanya. Hal yang sederhana memang, tapi apa lagi yang dapat membuat seorang ibu tersenyum kalau bukan karena melihat kebahagiaan putranya. "Ibu! aku bisa naik sepeda!" teriak Araz kesenangan, satu tangannya melambai pada sang ibu yang menatap mereka. Tapi... Brukk! Astaga! Tiara spontan berlari meninggalkan semua pekerjaannya di meja dan juga... Alena. "Kamu baik-baik saja, Nak, mana yang sakit?" tanya Tiara dengan panik, saat mendapati Araz terjungkal dari sepedanya. "Sakit, Bu!" rengek anak itu, tapi tangan Tiara yang akan membantu Araz bangun di tahan oleh Farhan. "Kamu jaga Alen
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah