Tiara membolak-balik kertas hasil ulangan muridnya. Matanya sesekali melirik pada Alena yang sedang mencorat-coret buku dengan crayon yang dia berikan. Sore ini memang sedikit tak biasa, ada senyum manis di bibirnya. Tentu saja alasan yang membuatnya tersenyum adalah dua orang anak manusia berbeda usia yang sedang berusaha keras untuk mengajari anak berusia lima tahun menaiki sepeda roda dua pertamanya. Hal yang sederhana memang, tapi apa lagi yang dapat membuat seorang ibu tersenyum kalau bukan karena melihat kebahagiaan putranya. "Ibu! aku bisa naik sepeda!" teriak Araz kesenangan, satu tangannya melambai pada sang ibu yang menatap mereka. Tapi... Brukk! Astaga! Tiara spontan berlari meninggalkan semua pekerjaannya di meja dan juga... Alena. "Kamu baik-baik saja, Nak, mana yang sakit?" tanya Tiara dengan panik, saat mendapati Araz terjungkal dari sepedanya. "Sakit, Bu!" rengek anak itu, tapi tangan Tiara yang akan membantu Araz bangun di tahan oleh Farhan. "Kamu jaga Alen
Udara dingin malam ini serasa membekukan seluruh tubuhnya, nafasnya begitu sesak seakan ada benda besar yang menghimpit tubuhnya. Tiara menoleh pada orang yang sedang tertidur lelap disampingnya. Tangan Farhan memelukanya dengan erat, tapi bukannya merasa hangat dan nyaman seperti sebelumnya, Tiara malah merasa seperti terlilit ular berbisa. Sepuluh tahun mereka me ngarungi rumah tangga bersama, ada suka dan duka yang telah mereka lalui. Farhan yang selalu menunjukkan rasa sayang dan cinta padanya ternyata telah mendua. Tiara mengingat-ingat lagi, apa selama ini ada keanehan dalam diri suaminya, nyatanya sejauh yang dia ingat semuanya berjalan seperti biasa, beberapa kali memang Farhan melakukan perjalanan ke luar kota atau lembur di kantor, tapi Tiara selalu memastikan kalau suaminya memang benar-benar bekerja, bukan sedang selingkuh. Tatapan mata Tiara menerawang pada langit-langit kamar, hatinya terlalu kalut untuk sekedar mengeluarkan air mata, rasa marah dan kecewa yang beg
Sudah tiga hari ini Farhan bekerja lembur. Jangankan untuk bertemu anak-anak, Tiara saja bahkan sudah tidur saat sang suami pulang. Keinginan untuk mencerca Farhan tentang hasil test itu juga tidak terlaksana, karena di pagi hari saat Tiara membuat Sarapan, tanpa diminta lagi Farhan langsung menyiapkan anak-anak, yang Tiara maksud anak-anak itu termasuk Arkan dan Araz juga. "Kamu itu aneh suamimu tidak memperhatikan anakmu kamu marah, dia perhatian kamu malah curiga," kata Keysa saat datang berkunjung ke rumah Tiara sore ini selepas bekerja, sedangkan anak-anak masih bermain bersama mbak Sri di halaman belakang."Dia sudah pernah berkhianat, dan setelah test DNA itu keluar kenapa dia kumat lagi pulang malam." Keysa menegakkan tubuhnya, tapi tangannya tak lepas memeluk keripik pisang buatan Tiara dan menatap Tiara dengan pandangan menyelidik. "Apa sih sebenarnya maumu?" Tiara mengehela napas. "Tentu saja hidup bahagia dengan suami yang setia dan perhatian pada anak." "Dan kamu
“Dia mengkhianatiku dan membuatku harus merawat anak hasil pengkhianatannya.” Tiara mengatakannya dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca, luka itu telah membuat hatinya membeku dan tidak merasakan sakit lagi dan dia masih tetap berada di rumah ini dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja tentu saja untuk... sebuah tujuan. “Apa menurutmu aku tidak sakit hati dan marah. Tentu aku marah, ingin mengamuk rasanya, apalagi saat melihat mas Farhan yang seolah dia tidak melakukan kesalahan apapun, bukankah itu artinya dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya.” Keysa masih diam, Tiara memang bukan wanita pendiam, tapi juga bukan orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya dengan gamblang seperti sekarang. “Bagiku hukuman terbesar seseorang yang salah bukan hukuman penjara atau denda, tapi rasa bersalah dan penyesalan itu sendiri, dan aku akan membuat mas Farhan merasakannya.” Kali ini Keysa menegakkan tubuhnya, dia meraih tangan Tiara yang mengepal dengan erat, udara panas memenuhi
Tiara berusaha terus menjejalkan makanan ke dalam mulutnya, meski rasanya dia sudah ingin melemparnya jauh-jauh. Dia tidak boleh melewatkan sarapan pagi, setidaknya itulah yang selalu diajarkan ibunya sejak dulu juga murid-muridnya terlalu mungil untuk mengerti kalau dia sedang kelaparan. Hal itu dia terapkan sampai sekarang juga pada anak dan suaminya, tapi tidur pada jam maling sedang akan bertugas membuatnya bangun sangat terlambat pagi ini, apalagi dengan pengaruh rasa hati yang hancur lebur seperti ini membuat paginya begitu kacau. Tiara harus berlari ke ujung jalan untuk membeli bubur ayam untuk sarapan seluruh keluarganya.Untunglah saat sampai di rumah Farhan masih rajin untuk memandikan anak-anak dan membantu mereka bersiap ke sekolah, jadi Tiara mempersilahkan mereka sarapan pagi terlebih dahulu, sedangkan dirinya harus bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. “Wah tumben ibu makan lagi jam segini, jangan-jangan sedang isi ya.” Tiara hampir saja tersedak kacang goreng yang b
Farhan maulana, bukan laki-laki luar biasa tampan yang akan menjadi idola para wanita, tapi sikapnya yang dingin dan karismatik membuat orang yang berhadapan dengannya sangat segan. Dia sosok suami dan ayah yang bertanggung jawab. Meski berpikir kalau memberikan bunga dan coklat pada sang istri adalah sebuah hal yang konyol, tapi Farhan bisa romantis dengan caranya sendiri. Bekerja di salah satu perusahaan kontruksi membuat kehidupan mereka sangat terjamin, apalagi Farhan bukan sosok yang pelit pada anak dan istrinya. Farhan selalu bilang bahwa Tiara boleh saja bekerja semaunya tapi tidak boleh menggunakan uang gajinya untuk memenuhi kebutuhan rumah juga anak-anaknya. Bagi Tiara, dia adalah sosok ayah dan suami yang sempurna, andai saja... tidak memperlihatkan wajah masam pada anak-anaknya hanya karena Farhan begitu menginginkan anak perempuan dan dua anak yang Tiara lahirkan adalah laki-laki.Dan keinginannya itu membuat semua nilai posotif dalam diri Farhan terhempas. Dia bersel
Suara bising televisi atau pun suara tawa anak-anak di halaman depan, nyatanya tak mampu memecah lamunan Fariz, pandangan laki-laki itu terarah pada televisi yang masih menyala, tapi Tiara yakin fariz bukan sedang menikmati siaran televisi. “Riz?” panggil Tiara lirih, sedikit aneh dengan reaksi Fariz, kenapa adik iparnya ini yang terlihat sangat merasa bersalah, padahal kesalahan itu di lakukan oleh kakaknya. “Aku minta maaf, Mbak.” Tiara langsung mengerutkan keningnya bingung, apalagi pandangan Fariz yang menunduk penuh penyesalan. “Memangnya apa yang kamu lakukan?” Hening lagi, Fariz seolah tengelam dalam lamunannya sendiri dan sekali lagi Tiara harus memanggil adik iparnya itu. “Apa kamu kenal dengan wanita yang menjadi selingkuhan kakakmu? Atau ....” Tiara membelalakkan matanya dan menutup mulutnya. “Apa memang kamu yang mengenalkan wanita itu pada kakakmu?” Kepala Fariz yang mengangguk pelan membuat Tiara seperti dijatuhi bom atom.”Jawab yang jelas, Riz. Jangan hanya menga
Nyatanya ketidakpulanganya farhan ke rumah hari ini tidak membuat perasaan Tiara membaik. Dia bahkan masih ingat dengan wajah kesal dan kemarahan yang ditunjukkan oleh Fariz padanya, dan Tiara sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan kenapa adik iparnya itu sebegitu marahnya. Bodoh? Ya mungkin sebagian besar orang akan berpikiran sama dengan Fariz, dia seperti memberi peluang pada wanita itu untuk mendapatkan suaminya. Akan tetapi bagi Tiara seerat apapun dia mengikat Farhan untuk tetap berada di sisinya, jika laki-laki itu tidak mau melakukannya, tentu dia hanya membuang-buang tenaga saja, Jadi dia memutuskan Farhan untuk memilih dan dia juga harus menenangkan diri untuk memikirkan masa depannya dan anak-anak jika hal paling buruk yang diakibatkan karena pengkhianatan suaminya benar-benar terjadi. “Bu, ayah belum pulang ya?” tanya Araz yang malam ini entah mengapa tidak juga tertidur padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam.“Adek kok belum bobok, i
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah