Tiara mengerjapkan matanya saat merasakan tangan mungil menepuk pipinya.
Alena tertawa senang memperlihatkan giginya saat Tiara membuka mata, refleks Tiara ikut tersenyum juga, dia memeluk anak itu sejenak.
Bohong kalau dibilang tidak menyayangi anak ini, lebih dari satu bulan dalam pengasuhannya, membuat rasa sayang itu tumbuh subur, tapi saat mengingat siapa anak ini hatinya tidak baik-baik saja.
Bagaimnapun dia hanya wanita biasa yang tidak ingin berbagi apapun dengan wanita lain, apalagi yang dikorbankan disini adalah kasih sayang seorang ayah untuk anak-anaknya.
Dia tidak bisa menerima semua ini.
“Ibu baik-baik saja, tumben bangunnya siang.”
Senyum yang terulas di bibir Tiara langsung memudar saat mendengar suara sang suami.
Tadi malam seingatnya Farhan yang meminum obat tidur tapii kenapa dia yang bangun kesiangan.
“Aku hanya capek,” kata Tiara datar. Yah capek hati dan pikiran. “Ini sudah jam berapa?”
Mata Tiara langsung membulat saat jarum jam sudah menunjukkan angka delapan. Seumur-umur baru kali ini dia bangun sesiang ini. Tiara langsung melompat bangun dari tidurnya , perubahan posisi yang tiba-tiba itu membuat kepalanya pusing bukan main. Untunglah sebuah tangan kekar memeluk tubuhnya sehingga dia tidak langsung mencium lantai.
“Hati-hati tidak ada yang akan memarahimu karena bangun kesiangan, kamu juga sedang halangan bukan.”
Bukan ini bukan soal Tiara yang memang hari ini kebetulan sedang tidak sholat, atau karena anak-anak yang sedang libur, ada hal yang harus dia lakukannya bersama Keysa dan sebelum itu dia juga harus melakukan kewajiban di rumah.
Hari libur mbak Sri tidak akan datang kecuali diminta, dan seingatnya Tiara kemarin sama sekali tidak meminta mbak Sri untuk datang.
Tiara tak mengindahkan ucapan suaminya dengantubuh sedikitterhuyung karena merasakan pusing dia keluar kamar, tapi begitu berada di luar kamar dia berdiri mematung sejenak, kemudiaan langkahnya menuju meja makan yang sudah terhidang makanan di sana.
“Kamu memanggil mbak Sri mas?” tanya Tiara pada sang suami yang keluar dari kamar mereka dengan menggendong Alena.
“Bukan aku yang mengerjakan semua.”
“Semua!! Menyapu, mengepel dan memasak?” tanya Tiara tak percaya dengan pendengarannya sendiri, suaminya yang bahkan tidak pernah menyentuh sapu dan teman-temannya malah membersihkan rumah. wah keajaiban ini.
“Iya, maksudku membersihkan rumah tapi kalau makanan itu aku membelinya,” kata Farhan dengan senyum lebar.
Tiara menatap suaminya sampai matanya menyipit. “Kenapa?” tanyanya, tak percaya begitu saja kalau perbuatan suaminya ini tulus.
“Apanya, tentu saja karena aku ingin membantumu, aku juga sudah memandikan Alena,” katanya dengan bangga pada bayi perempuan yang ada dalam gendongannya. “Atau kamu juga mau aku bantu mandi ?” tambahnya dengan menggoda.
Tiara hanya melototkan matanya yang disambut tawa Farhan yang berderai.
“Syukurlah kalau kamu sudah mengerjakan semuanya, aku ada janji dengan Keysa.”
“Lho ini hari libur, aku jarang bisa libur seperti ini, aku ingin menghabiskan waktu dengan keluargaku, kita bisa lebih mendekatkan diri betiga.”
“Bertiga?”
Kata itu langsung membangkitkan amarah Tiara yang susah payah dia redam. “Saiap bertiga?”
“Bukankah sekarang kita bertiga,” kata Farhan dengan tanpa rasa bersalah, sambil menurunkan Alena yang sudah ingin bermain di lantai.
Tiara menghela napasnya dalam, rasanya dia ingin menangis untuk anak-anaknya.
“Anaka-anak masih di rumah ibu,” kata Tiara pendek.
Dia lalu berjalan cepat ke memasuki kamar mandi, lebih baik dia segera pergi dari pada hatinya makin sakit melihat kelakukan suaminya. Anak-anak kandungnya sendiri bahkan tak dianggap oleh ayahnya, sebagai ibu yang melahirkan mereka tentunya dia tidak terima.
Tiara bukan perempuan tak punya hati yang ingin Farhan mengabaikan Alena dan lebih mementingkan anak-anaknya, tentu saja bukan, dia hanya ingin Farhan bersikap adil pada mereka.
“Tiara kamu akan tetap pergi dengan Keysa.”
“Yah, tapi sebelumnya aku akan menjemput anak-anak dulu, mas nikamati saja hari dengan Alena, bukankah mas sangat menginginkan anak perempuan.” Tiara menghentikan langkahnya dan menatap snag suami tepat di matanya.
“Aku tidak akan membuat anak-anak yang aku lahirkan mengemis kasih sayang dari orang lain, jika mas tidak mau menyyangi mereka maka aku yang akan memberikan, bukankah aku sudah katakan berkali-kali.”
“Tiara...” Farhan mencekal tangan Tiara dan membuat sang istri manatap matanya. “Maaf maksudku bukan seperti itu, aku hanya berpikr saat ini anak-anak tidak ada di rumah apa salahnya kalau kita menghabiskan waktu bertiga.”
“Sudahlah, aku tahu saat mereka lahir kamu sangat kecewa, aku bisa mengerti, tapi tolong jangan terlalu kamu perlihatkan,” Dengan halus Tiara membebaskan tangannya dari cengkeraman Farhan. “Aku akan menjemput anak-anak lalu pergi bersama Keysa, bukankah biasanya mas sering menghabiskan waktu diluar sekarang giliranku,” tambah Tiara dengan senyum semanis racun sebelum melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
“Jika kamu pergi dengan anak-anak bersama Keysa, kamu tidak boleh ngomel kalau aku mengajak Alena keluar juga.,” teriak Farhan, Tiara hanya melambaikan tangannya saja tak peduli.
Tiara masuk ke dalam mobil online yang dia pesan dengan wajah ditekuk. Dia tahu sangat tidak sopan membalas suaminya seperti itu tapi dia ingin Farhan tahu kalau dia tidak boleh memeprlakukan anaknya seolah mereka orang asing.
Bunyi ponsel yang berdering nyaring membuat Tiara tersadar dari lamunannya dan sejenak berbagai omelan dan gerutuan untuk Farhan berhenti, di layar ponsel tertera nama Fariz.
“Ada apa Riz?” tanya Tiara setelah mengucapkan salam.
“Mbak aku akan keluar bersama anak-anak.”
“Kemana?”
“Timezone, mungkin pulangnya agak lama, nanti biar aku yang antar mereka pulang.”
Tiara terdiam padahal dia sudah hampir sampai di rumah mertuanya. “Baiklah, tolong jaga mereka dengan baik.”
“Tentu saja, mbak jangan khawatir.”
Tiara menghembuskan napas panjang setelah menutup panggilan Fariz. “Kita putar balik ke kafe biru saja, pak,” katanya pada sang sopir.
Sebenarnya Tiara ada janji dengan Keysa jam sepuluh pagi, sekarang masih setengah sepuluh dia sudah sampai di sini.
Tiara mengedikkan bahunya dan bersiap menunggu Keys, semoga saja temannya yang tukang telat itu tidak sampai telat lebih dari... satu jam.
“Astaga aku tadi mau pamer kalau tidak akan telat tapi kamu sudah menunggu di sini, apa arlojiku perlu aku service lagi,” gerutu Keysa begitu melihat Tiara sudah duduk manis di dalam cafe.
Tiara langsung berdiri dan memeluk Keysa. “Aku memang sengaja datang lebih awal.”
“Ah kamu terburu-buru rupanya,” tebak Keysa.
“Tidak bukan begitu, aku hanya... ah duduklah aku akan memesankan segelas lemon tea untukmu, apa kamu makan sesuatu?”
“Tidak leman tea saja sudah cuku,” jawab Keysa.
Tiara mengangkat tangannya dan memesan untuk Keysa.
“Jadi apa yang bisa aku bantu?” tanya keysa begitu pelayan sudah pergi dari meja mereka.
Tiara menghela napas lalu memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya, begitu dan mengambil sebuah amplop yang tertutup rapat.
“Apa ini?”
“Rambut milik mas Farhan dan Alena, bisakan kamu memastikannya.”
“Ka...kamu yakin, Tiara aku kemarin hanya asal bicara aku minta maaf jika-“
“Kamu tidak bersalah, ini harus aku lakukan untuk membantuku mengambil sikap..”
“Oh Tiara.”
Tiara menunduk saat melihat tatapan penuh penyesalan Keysa.
“Ini bukan salahmu, jangan konyol.” “Tetap saja andai aku tidak mengatakannya kamu pasti tidak akan melakukan hal ini.” “Dan membuatku terus saja dibodohi, tidak terima kasih.” “Sepertinya kamu sudah menduga hasil dari test ini.” “Sebenarnya aku berharap dugaanku salah,” suara lirih Tiara yang penuh dengan kesakitan mengundang tatapan kasihan dari Keysa. Tiara berdecak kesal. “Jangan menatapku seperti itu, aku tidak suka dikasihani.” “Maafkan aku, tapi apa kamu tahu penampilanmu saat ini sungguh mengenaskan,” ejek Keysa. Tiara menatap kesal pada Keysa lalu mengambil ponselnya dan melihat pantulan wajahnya di ponsel itu. “Apa yang salah tidak ada noda di wajahku dan bajuku juga tidak aneh.” “Bukan itu maksudku, kurasa penampilanmu bahkan lebih pucat dari pada mayat, di mana temanku yang cantik dan membuat banyak laki-laki bertekuk lutut,” kata keysa dengan judes. Bersahabat sejak SMA membuat keduanya seperti saudara, bahkan Keysalah tempat satu-satunya bagi Tiara untuk bercer
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat Tiara menginjakkan kakinya di rumah mertuanya. “Mau jemput anak-anak ya mbak?’ sapa bi Tati, asisten rumah tangga di rumah ibu mertuanya ini. “iya, Bi. Di mana mereka?” tanya Tiara. “Di kamar mas Fariz, Mbak barusan pulang mereka mungkin sedang mandi.” Tiara mengangguk dan memberikan bungkusan pudding buah kesukaan mertuanya. Langkah kaki Tiara langsung terhenti begitu dia menginjakkan kaki di ruang tengah, anak-anaknya ada di sana dan tentu saja bersama Fariz. Fariz sedang duduk memangku Araz yang terlihat mengantuk tapi masih ingin bermain dengan kakak dan pamannya, tangan Fariz kadang menepuk pantat Araz, sambil sesekali mengoreksi Arkan yang sebuah mobil-mobilan dari kardus bekas. Arkan dan Araz tentu saja memiliki banyak mainan mobil-mobilan di rumah bahkan beberapa juga dibawa kerumah ini, tapi yang Tiara bicarakan bukan mainan itu, tapi kebersamaan mereka yang pernuh kasih sayang seolah Fariz adalah ayah kandungnya, bukan
“Karena kamu lebih memilih sibuk dengan orang lain dari pada menjemput anak dan istrimu,” kata Fariz dengan tak kalah sinis. “Apa kamu bilang.” Dengan suara rendah dan dingin Farhan melangkah maju dan mendekati adiknya dengan rasa marah yang berkobar, bahkan Alena yang terlelap dalam gendongan Farhan tak mampu menahan langkah laki-laki itu. “Tunggu.” Tiara langsung mengambil Alena dari gendongan Farhan, mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah. “Aku masuk dulu, silahkan lanjutkan percakapan penuh cinta kalian jika aku dan anak-anak sudah di dalam.” Sambil menggendong Alena yang sudah terlelap, Tiara memberi isyarat pada Araz untuk turun dari gendongan pamannya dan masuk ke dalam rumah. “Jangan ikut campur urusan keluargaku.” Sayup-sayup masih bisa Tiara dengan perkataan pedas Farhan pada adiknya. Dia menoleh pada kedua anaknya yang sesekali menoleh dengan penasaran pada paman dan ayahnya yang masih di luar. “Kalian segera bersihkan diri, sebentar lagi ibu menyusul setel
Tiara membolak-balik kertas hasil ulangan muridnya. Matanya sesekali melirik pada Alena yang sedang mencorat-coret buku dengan crayon yang dia berikan. Sore ini memang sedikit tak biasa, ada senyum manis di bibirnya. Tentu saja alasan yang membuatnya tersenyum adalah dua orang anak manusia berbeda usia yang sedang berusaha keras untuk mengajari anak berusia lima tahun menaiki sepeda roda dua pertamanya. Hal yang sederhana memang, tapi apa lagi yang dapat membuat seorang ibu tersenyum kalau bukan karena melihat kebahagiaan putranya. "Ibu! aku bisa naik sepeda!" teriak Araz kesenangan, satu tangannya melambai pada sang ibu yang menatap mereka. Tapi... Brukk! Astaga! Tiara spontan berlari meninggalkan semua pekerjaannya di meja dan juga... Alena. "Kamu baik-baik saja, Nak, mana yang sakit?" tanya Tiara dengan panik, saat mendapati Araz terjungkal dari sepedanya. "Sakit, Bu!" rengek anak itu, tapi tangan Tiara yang akan membantu Araz bangun di tahan oleh Farhan. "Kamu jaga Alen
Udara dingin malam ini serasa membekukan seluruh tubuhnya, nafasnya begitu sesak seakan ada benda besar yang menghimpit tubuhnya. Tiara menoleh pada orang yang sedang tertidur lelap disampingnya. Tangan Farhan memelukanya dengan erat, tapi bukannya merasa hangat dan nyaman seperti sebelumnya, Tiara malah merasa seperti terlilit ular berbisa. Sepuluh tahun mereka me ngarungi rumah tangga bersama, ada suka dan duka yang telah mereka lalui. Farhan yang selalu menunjukkan rasa sayang dan cinta padanya ternyata telah mendua. Tiara mengingat-ingat lagi, apa selama ini ada keanehan dalam diri suaminya, nyatanya sejauh yang dia ingat semuanya berjalan seperti biasa, beberapa kali memang Farhan melakukan perjalanan ke luar kota atau lembur di kantor, tapi Tiara selalu memastikan kalau suaminya memang benar-benar bekerja, bukan sedang selingkuh. Tatapan mata Tiara menerawang pada langit-langit kamar, hatinya terlalu kalut untuk sekedar mengeluarkan air mata, rasa marah dan kecewa yang beg
Sudah tiga hari ini Farhan bekerja lembur. Jangankan untuk bertemu anak-anak, Tiara saja bahkan sudah tidur saat sang suami pulang. Keinginan untuk mencerca Farhan tentang hasil test itu juga tidak terlaksana, karena di pagi hari saat Tiara membuat Sarapan, tanpa diminta lagi Farhan langsung menyiapkan anak-anak, yang Tiara maksud anak-anak itu termasuk Arkan dan Araz juga. "Kamu itu aneh suamimu tidak memperhatikan anakmu kamu marah, dia perhatian kamu malah curiga," kata Keysa saat datang berkunjung ke rumah Tiara sore ini selepas bekerja, sedangkan anak-anak masih bermain bersama mbak Sri di halaman belakang."Dia sudah pernah berkhianat, dan setelah test DNA itu keluar kenapa dia kumat lagi pulang malam." Keysa menegakkan tubuhnya, tapi tangannya tak lepas memeluk keripik pisang buatan Tiara dan menatap Tiara dengan pandangan menyelidik. "Apa sih sebenarnya maumu?" Tiara mengehela napas. "Tentu saja hidup bahagia dengan suami yang setia dan perhatian pada anak." "Dan kamu
“Dia mengkhianatiku dan membuatku harus merawat anak hasil pengkhianatannya.” Tiara mengatakannya dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca, luka itu telah membuat hatinya membeku dan tidak merasakan sakit lagi dan dia masih tetap berada di rumah ini dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja tentu saja untuk... sebuah tujuan. “Apa menurutmu aku tidak sakit hati dan marah. Tentu aku marah, ingin mengamuk rasanya, apalagi saat melihat mas Farhan yang seolah dia tidak melakukan kesalahan apapun, bukankah itu artinya dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya.” Keysa masih diam, Tiara memang bukan wanita pendiam, tapi juga bukan orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya dengan gamblang seperti sekarang. “Bagiku hukuman terbesar seseorang yang salah bukan hukuman penjara atau denda, tapi rasa bersalah dan penyesalan itu sendiri, dan aku akan membuat mas Farhan merasakannya.” Kali ini Keysa menegakkan tubuhnya, dia meraih tangan Tiara yang mengepal dengan erat, udara panas memenuhi
Tiara berusaha terus menjejalkan makanan ke dalam mulutnya, meski rasanya dia sudah ingin melemparnya jauh-jauh. Dia tidak boleh melewatkan sarapan pagi, setidaknya itulah yang selalu diajarkan ibunya sejak dulu juga murid-muridnya terlalu mungil untuk mengerti kalau dia sedang kelaparan. Hal itu dia terapkan sampai sekarang juga pada anak dan suaminya, tapi tidur pada jam maling sedang akan bertugas membuatnya bangun sangat terlambat pagi ini, apalagi dengan pengaruh rasa hati yang hancur lebur seperti ini membuat paginya begitu kacau. Tiara harus berlari ke ujung jalan untuk membeli bubur ayam untuk sarapan seluruh keluarganya.Untunglah saat sampai di rumah Farhan masih rajin untuk memandikan anak-anak dan membantu mereka bersiap ke sekolah, jadi Tiara mempersilahkan mereka sarapan pagi terlebih dahulu, sedangkan dirinya harus bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. “Wah tumben ibu makan lagi jam segini, jangan-jangan sedang isi ya.” Tiara hampir saja tersedak kacang goreng yang b
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah