"Apanya aku? Kenapa nggak kamu katakan?"Alya kehabisan kata-kata.Dia merapatkan bibirnya. Bagaimana dia bisa mengatakannya dengan hubungan mereka yang canggung seperti ini?"Nggak berani mengatakannya?" Rizki agak menekannya.Alya menatap ke bawah, hatinya terasa berat.Rizki marah pada Alya, tetapi dia juga merasa terhibur. Kemudian dengan suara dinginnya dia berkata, "Aku nggak mati, hanya hampir digigit olehmu."Mendengar ini, Alya tiba-tiba mengangkat kepalanya."Apa separah itu?""Kamu lihat saja luka di mulutmu, apa kamu nggak bisa menebaknya?"Alya terdiam.Sepertinya begitu. Dia baru saja menggunakan cermin kecil untuk mengecek, dia bahkan menggigit dirinya separah itu, apalagi Rizki.Dia tidak bisa membantah. Alya hanya bisa menunduk dan meminta maaf sekali lagi."Maafkan aku. Kalau terjadi lagi, tolong jangan pedulikan aku."Perkataan Alya malah membuat Rizki mengerutkan kening."Apa maksudmu dengan terjadi lagi? Aci, apa kamu suka menyakiti dirimu sendiri? Di masa depan ha
Setelah mendengar ini, Alya tanpa sadar mendongak dan menatapnya.Bertemu dengan tatapan matanya yang hitam dan dalam, Alya merasa seperti ada rahasianya yang terbongkar. Alya mengalihkan pandangannya dan menjawab, "Ya.""Benarkah?"Rizki menyipitkan mata dan mengamati mata Alya yang ditutupi kacamata. "Kalau begitu kenapa ada lingkaran hitam di bawah matamu?"Seakan menyadari sesuatu, Rizki menambahkan, "Pantas saja hari ini kamu pakai kacamata."Alya terdiam.Alya menarik tangannya dan tampak tak acuh. "Sudah bersih, tapi di bibirmu ada luka. Sebaiknya nanti kita beli obat untuk mengobatinya. Ayo, kita cari Nenek."Alya berbalik dan melangkah pergi. Setelah merenung sesaat, Rizki pun mengikutinya."Matamu merah," ucap Rizki.Dia melanjutkan, "Itu artinya matamu lelah, memangnya semalam kamu nggak tidur?"Dua komentar itu membuat Alya tidak tahan lagi, dia pun berbalik dan berkata, "Rizki, sudah cukup."Setelah mengatakan itu, dia kembali melangkah dengan sepatu hak tingginya.Setelah
Jadi, mungkinkah Hana menelepon untuk bertanya apakah mereka sudah bercerai?...Di luar kamar.Rizki sengaja berjalan agak jauh sebelum mengangkat telepon tersebut."Rizki?"Suara Hana terdengar dari ujung telepon.Meskipun suasana hati Rizki sedang buruk, dia masih berusaha untuk mengatur emosinya saat berhadapan dengan Hana. "Ya, kenapa kamu menelepon pagi-pagi?"Dari ujung telepon, Hana dengan khawatir berkata, "Sebenarnya, aku sudah bangun dari tadi. Kemarin malam aku susah tidur dan sangat khawatir. Bagaimana dengan Nenek? Apa dia sudah masuk ruang operasi? Rizki, aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk membuat permintaan, tapi aku sangat mengkhawatirkan Nenek. Apa aku boleh ... ke sana untuk melihatnya? Tenang saja, aku pasti nggak akan membiarkan Nenek melihatku. Aku akan berada di luar dan segera pergi ketika Nenek bangun. Aku pasti nggak akan masuk."Penampilannya yang sangat rendah hati ini membuat Rizki mengerutkan kening.Jelas-jelas, Hana adalah penyelamat nyawanya
Hana sangat jarang marah.Di depan semua orang, dia selalu bersikap lembut dan ramah.Karena kecantikan dan kebaikannya, semua orang selalu memandangnya sebagai seorang dewi.Jadi, ketika Hana tiba-tiba marah, semua orang tercengang. Mereka menatapnya dengan berbagai ekspresi.Dalam sekejap suasana menjadi hening.Di bawah tatapan semua orang dan suasana yang hening, Hana tiba-tiba tersadar dan menyadari apa yang baru saja dia lakukan.Bibir merahnya bergerak. Namun pada akhirnya, dia hanya bisa berkata, "Maaf, barusan suasana hatiku buruk dan aku lepas kendali. Maafkan aku."Demi mempertahankan citra dewinya di hati semua orang, Hana hanya dapat terus-menerus meminta maaf pada mereka. Di saat yang sama, matanya memerah dan air matanya yang seperti mutiara pun menetes.Awalnya semua orang terkejut dengan ledakan amarahnya. Namun, setelah mendengarnya meminta maaf tanpa henti, mereka jadi merasa kasihan padanya."Hana, apa yang terjadi? Jangan menangis.""Kalau ada apa-apa, katakan saja
"Hana, tenang saja. Kami pasti akan membantumu mencari keadilan dalam masalah ini.""Kalian jangan seperti ini ...." Hana menatap teman-temannya dengan mata memerah, lalu dia berkata, "Aku tahu kalian melakukannya demi kebaikanku, tapi kini Alya sedang mengurus neneknya Rizki di rumah sakit, dia cukup perhatian."Semua orang mendengarkannya."Benarkah? Kalau begitu, kita tunggu sampai wanita itu selesai mengurus urusannya saat ini. Ketika waktunya tiba, kami pasti akan memberinya pelajaran dan melampiaskan amarahmu."Hana sama sekali tidak berdaya. "Kalian jangan melakukan hal memalukan itu untukku, sebaiknya tunggu setelah aku bertemu dan berbicara dengannya."Setelah mengatakan itu, Hana mengelap air matanya dan memaksakan sebuah senyum yang agak canggung."Baiklah, ayo kita urus makan malam hari ini. Untungnya aku sudah menyiapkan banyak. Kalau nggak cukup, aku akan menyuruh seseorang untuk mengantarnya lagi.""Hana ....""Jangan bicarakan masalah tadi lagi. Malam ini kita nggak aka
Mengenai perhatian Rizki padanya, mungkin karena pertemanan mereka sejak kecil atau hubungan keluarga mereka yang sudah lama berjalan, Rizki menganggap Alya seperti adiknya sendiri.Jadi, tidak peduli apakah mereka menikah atau tidak, Rizki akan memperlakukan Alya seperti ini.Lucunya di bawah interaksi seperti ini, Alya malah jadi memiliki perasaan pada Rizki.Alya mencemooh dirinya sendiri dan memejamkan mata, dia tidak lagi menatap Rizki.Wulan terbangun pada pukul 8 malam.Saat dia bangun, Alya sudah membungkuk di depan tempat tidurnya. Wajah Wulan berhadapan langsung dengan wajah gadis yang tampak amat gelisah itu."Nenek, kamu sudah bangun. Bagaimana rasanya? Apa ada bagian tubuhmu yang sakit? Apa kamu lapar?"Wulan menatap wajah kecil di depannya. Karena mengkhawatirkannya, wajah Alya begitu tegang hingga matanya melebar. Wulan tak bisa menahan diri dan tersenyum, lalu perlahan dia menggelengkan kepalanya.Gadis kecil ini benar-benar tahu cara membuatnya senang.Melihat sang nen
"Pulanglah, bawa Alya pulang dan beristirahat. Di sini ada perawat yang menemaniku."Dia baru saja bangun, lalu tiba-tiba menolak mereka berdua menemaninya. Alya tidak mengerti. Setelah mendengar perkataannya, Rizki juga tidak bergerak. Pria itu hanya duduk di sana sambil mengatupkan bibir tipisnya, ekspresi suram menghiasi wajah tampannya."Rizki, apa kamu nggak mendengarkan Nenek?"Rizki mengerutkan kening.Alya cepat-cepat melangkah maju ke depannya dan berkata, "Nenek, kalau ada yang kamu khawatirkan, bagaimana kalau membicarakannya dengan kami?"Wulan yang mengatakan hal seperti ini setelah pingsan membuat Alya tambah khawatir."Nggak ada yang kukhawatirkan. Aku hanya merasa sudah tua, mentalku sudah nggak seperti dulu lagi. Aku nggak mau merepotkan anak muda seperti kalian untuk terus bolak-balik demi diriku." Wulan menghela napas, dia masih bersikap sangat lembut pada Alya. "Alya, sebenarnya menurut Nenek, mau dioperasi atau nggak, itu sudah nggak terlalu penting."Mendengar ini
Setelah keluar dari kamar, Rizki membawanya menjauh. Alya sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari genggamannya."Rizki, apa yang kamu lakukan?"Rizki menatapnya dalam-dalam."Hari ini kita pulang dulu."Alya mengerutkan kening. "Apa kamu nggak lihat wajah Nenek tadi? Dia ingin pergi dari sanatorium, dia nggak mau tinggal di sini."Setelah kejadian barusan, Alya menebak bahwa Wulan khawatir akan merepotkan keluarganya sendiri bila dia pulang ke rumah, jadi dia hanya bisa tinggal di sanatorium.Dia ingin pulang, tetapi tidak berani.Alya merasa frustrasi. Tiap minggu dia selalu datang berkunjung, tetapi dia tidak pernah menyadari perasaan sang nenek. Seandainya dia tahu lebih cepat, lalu segera membawa Wulan pulang dan merawatnya di rumah, apakah hari ini Wulan tetap akan pingsan sebelum dioperasi?"Aku tahu." Rizki berkata dengan suara rendah, "Tapi kamu juga lihat, saat ini dia keras kepala dan marah denganku."Rizki teringat sesuatu dan menambahkan, "Tapi nggak denganmu."Mendenga