Share

Bab 2

"Buka pintunya, Amara. Aku ingin bicara sama kamu," ucap Athar memaksa istrinya membuka pintu.

"Sudah tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Mas. Bukankah kamu juga sudah menikahi perempuan itu, lantas ... kenapa harus ada penjelasan lagi?" ujar Amara sedikit berteriak.

Athar menundukkan kepalanya, merasa kalah oleh kepedihan yang dirasakan Amara. Dia tahu betul bahwa semua ini adalah kesalahannya, namun dia tidak ingin menyerah begitu saja.

"Amara, dengarkan aku, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan," katanya, suaranya mulai melembut, mencoba menembus dinding emosional yang Amara bangun di antara mereka. "Aku menikahi dia karena terpaksa, bukan karena cinta. Aku dijebak!" akunya.

Amara menghela napas panjang, menahan air mata yang sudah menggumpal di sudut matanya. "Terpaksa? Kamu pikir itu bisa menghapus semua luka yang sudah kamu buat?" Dia menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya. "Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Kamu menghancurkan semuanya."

Di balik pintu, Athar hanya bisa mendengar isakan tertahan istrinya. Hatinya tercabik, tetapi dia tetap teguh pada niatnya untuk berbicara dan menjelaskan semuanya.

"Amara, tolong... berikan aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku mohon, buka pintunya," pinta Athar sekali lagi, suaranya penuh harap dan penyesalan.

Amara diam sejenak, menimbang-nimbang. Ia lelah dengan semua kebohongan dan rasa sakit yang telah ditimbulkan, tapi ada bagian kecil di hatinya yang masih ingin mendengar kebenaran, walau betapa menyakitkannya.

Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Amara memutar kunci pintu dan menarik gagangnya. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Athar yang penuh dengan penyesalan dan kesedihan.

"Ayo, bicara," ucap Amara dingin. "Tapi ini terakhir kalinya. Setelah ini, kita lihat apakah masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan di antara kita."

Athar melangkah masuk, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat Amara semakin merasa terpojok. Ruangan itu terasa dingin dan sepi, sama seperti hati Amara saat ini. Athar merasakan tekanan berat di dadanya, tapi dia tahu dia harus tetap berbicara.

"Amara," katanya dengan suara yang serak, "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa salah. Aku tahu kamu berhak marah, dan aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi, aku ingin kamu tahu alasanku."

Amara menatap Athar, matanya menyala penuh amarah dan luka. "Alasan?" tanyanya, suaranya bergetar. "Apa ada alasan yang bisa membenarkan pengkhianatan mu? Apa yang bisa kamu katakan untuk memperbaiki semua ini?"

Athar menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Perempuan itu, Maya... dia datang dengan ancaman. Dia tahu sesuatu tentang perusahaan kita, sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya. Dia memeras aku, memaksa aku untuk menikahinya atau dia akan membocorkan rahasia yang bisa membuat kita bangkrut."

Amara terdiam, terkejut dengan pengakuan Athar. Namun, kemarahan dalam hatinya belum mereda. "Jadi, kamu memilih untuk menikahinya daripada menghadapi masalah ini bersama-sama dengan aku? Kamu tidak percaya bahwa kita bisa menyelesaikan ini bersama?"

Air mata mulai mengalir di pipi Amara, dan Athar merasa hatinya hancur melihat kesedihan yang begitu dalam di wajah istrinya.

"Bukan begitu, Amara," kata Athar, berusaha menjelaskan. "Aku merasa terjebak. Aku takut kehilangan semuanya, termasuk kamu. Aku bodoh karena berpikir aku bisa melindungi kamu dengan cara ini, tapi aku malah menghancurkan kamu."

Amara menggelengkan kepalanya, merasa semakin bingung dan sakit hati. "Kamu sudah menghancurkan kepercayaan kita, Athar. Kamu tidak hanya menyakiti aku, tapi juga hubungan kita. Apapun alasannya, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan."

Athar jatuh berlutut di hadapan Amara, memohon pengampunan dengan air mata yang mulai menetes. "Amara, aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki ini. Aku hanya ingin kamu kembali percaya padaku. Berikan aku kesempatan untuk menebus kesalahanku."

Amara memandang Athar yang bersimpuh di lantai, terombang-ambing antara keinginan untuk memaafkan dan rasa sakit yang begitu dalam. Waktu seakan berhenti, dan mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang penuh ketidakpastian.

"Ini tidak akan mudah, Athar," ucap Amara akhirnya, suaranya pelan namun tegas. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi. Tapi jika kamu sungguh-sungguh ingin memperbaiki semuanya, kamu harus membuktikannya, dan bukan hanya dengan kata-kata. Kamu harus tinggalkan perempuan itu."

"Aku tidak bisa melakukannya, Amara." Athar rupanya tidak mau melepaskan Maya.

"Kenapa? Katanya kamu terpaksa?" cecar Amara tegas.

"Iya, tapi ...," sahut Athar terlihat bingung.

"Tapi apa?" tanya Amara kesal. Dia tidak menyangka bahwa pria yang selama ini dicintainya dengan tulus akan bersikap tidak tegas seperti ini. "Harusnya kamu tidak banyak berpikir, Mas. Jika memang karena terpaksa, atau jangan-jangan kamu cuma alasan saja?" cetus Amara memojokkan.

Athar terdiam sejenak, menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. "Karena dia sedang hamil anakku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status