"Buka pintunya, Amara. Aku ingin bicara sama kamu," ucap Athar memaksa istrinya membuka pintu.
"Sudah tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Mas. Bukankah kamu juga sudah menikahi perempuan itu, lantas ... kenapa harus ada penjelasan lagi?" ujar Amara sedikit berteriak. Athar menundukkan kepalanya, merasa kalah oleh kepedihan yang dirasakan Amara. Dia tahu betul bahwa semua ini adalah kesalahannya, namun dia tidak ingin menyerah begitu saja. "Amara, dengarkan aku, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan," katanya, suaranya mulai melembut, mencoba menembus dinding emosional yang Amara bangun di antara mereka. "Aku menikahi dia karena terpaksa, bukan karena cinta. Aku dijebak!" akunya. Amara menghela napas panjang, menahan air mata yang sudah menggumpal di sudut matanya. "Terpaksa? Kamu pikir itu bisa menghapus semua luka yang sudah kamu buat?" Dia menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya. "Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Kamu menghancurkan semuanya." Di balik pintu, Athar hanya bisa mendengar isakan tertahan istrinya. Hatinya tercabik, tetapi dia tetap teguh pada niatnya untuk berbicara dan menjelaskan semuanya. "Amara, tolong... berikan aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku mohon, buka pintunya," pinta Athar sekali lagi, suaranya penuh harap dan penyesalan. Amara diam sejenak, menimbang-nimbang. Ia lelah dengan semua kebohongan dan rasa sakit yang telah ditimbulkan, tapi ada bagian kecil di hatinya yang masih ingin mendengar kebenaran, walau betapa menyakitkannya. Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Amara memutar kunci pintu dan menarik gagangnya. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Athar yang penuh dengan penyesalan dan kesedihan. "Ayo, bicara," ucap Amara dingin. "Tapi ini terakhir kalinya. Setelah ini, kita lihat apakah masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan di antara kita." Athar melangkah masuk, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat Amara semakin merasa terpojok. Ruangan itu terasa dingin dan sepi, sama seperti hati Amara saat ini. Athar merasakan tekanan berat di dadanya, tapi dia tahu dia harus tetap berbicara. "Amara," katanya dengan suara yang serak, "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa salah. Aku tahu kamu berhak marah, dan aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi, aku ingin kamu tahu alasanku." Amara menatap Athar, matanya menyala penuh amarah dan luka. "Alasan?" tanyanya, suaranya bergetar. "Apa ada alasan yang bisa membenarkan pengkhianatan mu? Apa yang bisa kamu katakan untuk memperbaiki semua ini?" Athar menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Perempuan itu, Maya... dia datang dengan ancaman. Dia tahu sesuatu tentang perusahaan kita, sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya. Dia memeras aku, memaksa aku untuk menikahinya atau dia akan membocorkan rahasia yang bisa membuat kita bangkrut." Amara terdiam, terkejut dengan pengakuan Athar. Namun, kemarahan dalam hatinya belum mereda. "Jadi, kamu memilih untuk menikahinya daripada menghadapi masalah ini bersama-sama dengan aku? Kamu tidak percaya bahwa kita bisa menyelesaikan ini bersama?" Air mata mulai mengalir di pipi Amara, dan Athar merasa hatinya hancur melihat kesedihan yang begitu dalam di wajah istrinya. "Bukan begitu, Amara," kata Athar, berusaha menjelaskan. "Aku merasa terjebak. Aku takut kehilangan semuanya, termasuk kamu. Aku bodoh karena berpikir aku bisa melindungi kamu dengan cara ini, tapi aku malah menghancurkan kamu." Amara menggelengkan kepalanya, merasa semakin bingung dan sakit hati. "Kamu sudah menghancurkan kepercayaan kita, Athar. Kamu tidak hanya menyakiti aku, tapi juga hubungan kita. Apapun alasannya, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan." Athar jatuh berlutut di hadapan Amara, memohon pengampunan dengan air mata yang mulai menetes. "Amara, aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki ini. Aku hanya ingin kamu kembali percaya padaku. Berikan aku kesempatan untuk menebus kesalahanku." Amara memandang Athar yang bersimpuh di lantai, terombang-ambing antara keinginan untuk memaafkan dan rasa sakit yang begitu dalam. Waktu seakan berhenti, dan mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang penuh ketidakpastian. "Ini tidak akan mudah, Athar," ucap Amara akhirnya, suaranya pelan namun tegas. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi. Tapi jika kamu sungguh-sungguh ingin memperbaiki semuanya, kamu harus membuktikannya, dan bukan hanya dengan kata-kata. Kamu harus tinggalkan perempuan itu." "Aku tidak bisa melakukannya, Amara." Athar rupanya tidak mau melepaskan Maya. "Kenapa? Katanya kamu terpaksa?" cecar Amara tegas. "Iya, tapi ...," sahut Athar terlihat bingung. "Tapi apa?" tanya Amara kesal. Dia tidak menyangka bahwa pria yang selama ini dicintainya dengan tulus akan bersikap tidak tegas seperti ini. "Harusnya kamu tidak banyak berpikir, Mas. Jika memang karena terpaksa, atau jangan-jangan kamu cuma alasan saja?" cetus Amara memojokkan. Athar terdiam sejenak, menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. "Karena dia sedang hamil anakku."Kata-kata Athar itu seperti pukulan keras yang menghantam hati Amara. Seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Suasana ruangan itu tiba-tiba berubah semakin dingin, seakan-akan segala harapan yang baru saja terbit kini hancur berkeping-keping.Amara mundur beberapa langkah, memandang Athar dengan mata yang membesar karena syok dan ketidakpercayaan. "Apa... apa yang kamu katakan?" suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.Athar menggigit bibirnya, menundukkan kepala, merasa malu dan bersalah. "Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Itu adalah kesalahan besar. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu lebih dalam, Amara, tapi aku harus jujur."Amara merasa tubuhnya gemetar hebat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa dihentikan. "Jadi, kamu mengkhianati aku tidak hanya sekali, tapi juga berkali-kali dengan dia? Kamu tidak hanya menghancurkan hati dan kepercayaanku, tapi juga membawa anak dari wanita lain ke dalam hidup kita?"Athar mengg
Mega menatap anaknya dengan pandangan yang lembut, merasa simpati meski tetap tegas. "Kamu harus memikirkan yang terbaik, Nak. Kadang-kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan yang lebih besar. Amara mungkin bisa menemukan kebahagiaan tanpa kamu, dan kamu bisa membangun kehidupan yang baru dengan anakmu."Athar terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa situasinya tidak mudah dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berat. "Aku akan berbicara dengan Amara lagi," akhirnya Athar berkata, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan memberitahunya tentang anak itu dan melihat apa yang dia katakan. Tapi apapun yang terjadi, aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaannya."Mega menghela napas, menyadari betapa keras kepala anaknya dalam mempertahankan pernikahan ini. "Baiklah, Athar. Tapi ingatlah, waktu akan terus berjalan, dan semakin lama kamu menunda keputusan ini, semakin banyak yang akan terluka."Athar hanya bisa mengangguk per
Setelah Mega meninggalkan kamar, Maya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tidurnya. Meskipun Mega dan Athar telah meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, Maya tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, tidak mudah bagi Amara untuk merelakan kamar ini, apalagi dengan sejarah dan kenangan yang ada di dalamnya."Mari kita bersaing, Amara. Siapa yang akan mendapatkan posisi ratu di rumah ini pada akhirnya." Maya bermonolog dengan senyuman sinis. Maya kemudian membaringkan diri di atas ranjang, mencoba untuk rileks. Namun pikirannya terus berputar. Bagaimana rasanya menjadi Amara? Apa yang sebenarnya Amara rasakan tentang situasi ini? Dan bagaimana hubungan mereka akan terpengaruh oleh semua ini?Di luar pintu kamar, Mega berjalan menjauh dengan senyum yang menyiratkan kepuasan. Dia tahu bahwa situasi ini akan menciptakan dinamika baru di dalam keluarga, dan dia ingin meli
Amara menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan luka. "Aku tidak akan pernah bisa menerima ini," katanya tegas. Dengan tangan gemetar, dia mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia berbalik dan berkata, "Suatu hari, kalian semua akan menyesali apa yang telah kalian lakukan."Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan meninggalkan kamar yang pernah ia sebut sebagai tempat perlindungan, hatinya kini dipenuhi oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Dia mulai menata barang-barangnya di dalam kamar tamu. Hatinya memang sakit, tapi dia harus kuat dengan semua ini. Sambil berkemas, Amara merasakan beban yang menghimpit dadanya. Setiap barang yang ia keluarkan dari dalam tas seakan menjadi pengingat betapa cepat segala sesuatunya berubah. Foto-foto yang dulu penuh tawa dan kebahagiaan sekarang hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi ia kenali. Amara duduk sejenak di tepi ranjang, menatap kamar tamu yang terasa asing. Di
Amara membuka aplikasi media sosial favoritnya dan menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Dia tahu bahwa langkah ini akan mengubah segalanya. Dalam benaknya, berbagai skenario bermain—bagaimana orang akan bereaksi, bagaimana Maya, mertua, dan Athar akan menanggapi. Namun, rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan lebih besar daripada ketakutannya.Dengan napas panjang, dia mulai membuat vidio tentang dirinya serta sebuah ketikan tertulis di sana untuk memperjelas semua yang dirasakannya:---"Selama ini aku diam. Aku mencoba menerima semua perlakuan tidak adil yang diberikan kepadaku. Tapi aku sudah mencapai batas. Kalian, Maya, mertua, dan terutama kamu, Mas Athar, telah membuat hidupku seperti neraka. Maya, kamu merebut suamiku, dan kamu, mertua, mendukung semua kebohongan dan pengkhianatan ini. Mas Athar, kamu mengkhianati janji suci kita. Apa yang kalian lakukan padaku adalah sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupakan atau maafkan.Aku hanya ingin semua orang tahu kebena
Athar mencoba memberi pengertian kepada Amara, bahwa Amara harus menerima keputusan nya. keputusan yang tidak gampang, untuk dijalani saat ini. Tapi sungguh, dia tidak tega akan hal itu. Amara istri yang sangat baik, di dasar hatinya paling dalam, dia masih mencintai Amara. "Ayolah, Mas. Kenapa kamu diam begitu? Apa kamu masih mencintai Amara? Sehingga kamu tidak berani untuk membicarakan ini?" Rasanya Maya sangat jengkel dengan sikap suaminya kali ini. Dia ingin Athar dan Amara berpisah, dan dia harus menjadi istri satu-satunya di hati Athar. Terlebih Maya mengincar harta Athar. Maya sedang mengandung bayi Athar, pewaris tunggal di keluarga Athar. Athar diam cukup lama, mana berani dia bercerai dengan Amara, sedang Amara sudah menemani nya mulai dari nol.Mega melirik tajam kearah Athar, semenjak kemarin pikiran anaknya menjadi plin-plan untuk menceraikan istri yang mandul itu.Ketiganya sedang duduk di ruang tamu yang sangat megah, semenjak tinggal dengan Athar, Mega selalu memper
kali ini Amara tergopoh-gopoh ketika Mega dengan lantang memanggil namanya, Amara menantu penurut. meskipun tertindas, dia masih bersabar agar rumah tangganya dengan Athar baik-baik saja. karena dulu, sebelum menikah dengan Athar ibu Amara menentang akan hal itu. karena menurut ibunya, Athar beserta keluarganya bukan dari kalangan sepadan dengan nya. demi cinta yang dia kejar, akhirnya Amara berani menentang restu kedua orang tuanya. awal-awal menikah Mega terlihat seperti orang mertua yang baik. yang menyayangi Amara dan menganggap Amara sebagai anaknya, tapi setelah Amara sudah di keluarkan dari kartu keluarga dan tidak dianggap sebagai anaknya lagi, kehidupan Amara berubah total. karena Mega menikah kan putranya, hanya untuk menguras harta keluarga Amara. karena Mega tahu, Amara tergolong dari keluarga yang sangat kaya Raya. "Bikini ibu sup daging" suara lantang itu berasal dari Mega, yang duduk dengan melipat kakinya dan menyeruput secangkir teh hangat. Amara berdiri penuh horm
" kenapa mas, kok murung begitu?" sesosok wanita muda, cantik bertubuh semampai dan putih sedang bergelayut manja di pangkuan Athar. Sedang Athar dengan terbuka memeluk gadis tersebut, wajah Athar di tekuk saja, dengan beraninya gadis itu mencubit dengan mesra pipi Athar yang putih mulus. "pasti deh, masalah pada istri mas mandul itu!"ucap gadis, yang sedang memanasi suasana hati Athar. "sudah lah mas, jangan di pikirin lagi masalah istri mas yang mandul itu! mendingan kita senang-senang"genitnya. mata Athar mulai jelalatan, dia dengan mesra mencubit hidung mancung milik gadis tersebut. "jangan pancing, aku sudah tidak tahan! lagian, kamu lebih cantik dari istriku yang tidak pandai berdandan"ucap Athar dengan mencemooh Amara di depan gadis simpanan nya tersebut. "baumu harum, sedang Amara bau dapur! mana jelek lagi, mimpi apa aku nikah dengan dia"cemooh nya lagi, mungkin cinta Athar sudah terkikis dengan kebencian dengan kemandulan Amara. Maya dengan leluasa tertawa penuh