Share

Bab 6

Amara menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan luka. "Aku tidak akan pernah bisa menerima ini," katanya tegas. Dengan tangan gemetar, dia mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia berbalik dan berkata, "Suatu hari, kalian semua akan menyesali apa yang telah kalian lakukan."

Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan meninggalkan kamar yang pernah ia sebut sebagai tempat perlindungan, hatinya kini dipenuhi oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Dia mulai menata barang-barangnya di dalam kamar tamu. Hatinya memang sakit, tapi dia harus kuat dengan semua ini.

Sambil berkemas, Amara merasakan beban yang menghimpit dadanya. Setiap barang yang ia keluarkan dari dalam tas seakan menjadi pengingat betapa cepat segala sesuatunya berubah. Foto-foto yang dulu penuh tawa dan kebahagiaan sekarang hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi ia kenali.

Amara duduk sejenak di tepi ranjang, menatap kamar tamu yang terasa asing. Di tempat ini, dia berharap bisa menemukan ketenangan dan menjauh dari semua kenangan yang menyakitkan. Tapi, bahkan dinding-dinding ini pun seolah menyimpan sisa-sisa perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.

Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Amara mendongak, berharap bukan dia yang datang. Namun, ternyata yang datang memang benar Athar suaminya.

"Maaf, Amara. Aku tidak bisa berbuat apa pun untuk membelamu." Athar berbicara dengan nada yang sedikit bergetar.

"Apa hanya kata Maaf yang bisa kamu katakan, Mas. Tidak bisakah kamu meninggalkan Maya? Apakah selama ini cintamu hanya pura-pura?" cecar Amara yang masih kesal. Dia tahu, ucapannya akan terasa sia-sia.

Athar terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. Dia menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap mata Amara yang penuh luka.

"Amara, bukan seperti itu," ujarnya pelan. "Aku tidak bisa meninggalkan Maya. Dia... dia sedang hamil, dan aku punya tanggung jawab yang besar terhadapnya."

Amara menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Jadi, karena dia sedang hamil, kamu merasa lebih bertanggung jawab padanya daripada pada kita? Bagaimana dengan semua janji yang pernah kamu buat padaku, Mas Athar?"

Athar menggigit bibirnya, merasakan sakit yang mendalam dari pertanyaan itu. "Ini bukan soal janji, Amara. Ini soal melakukan hal yang benar... untuk semua orang."

"Apa yang benar untuk semua orang?!" Amara membalas dengan suara yang naik satu oktaf. "Apa yang benar bagimu dan Maya jelas-jelas menghancurkan hidupku! Kamu pernah bilang akan selalu ada untukku. Tapi sekarang, kamu memilih dia dan membiarkan aku terpuruk sendirian."

Athar mencoba mendekat, tetapi Amara mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dia tetap di tempatnya. "Aku hanya ingin kamu tahu," katanya dengan suara yang lebih tenang namun penuh kepedihan, "Bahwa aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Tapi aku tidak bisa mengubah kenyataan ini."

Amara mengangguk pelan, air matanya mulai mengalir lagi. "Aku tahu, Mas. Tapi itu tidak mengurangi rasa sakit ini. Mungkin waktu akan menyembuhkan, tapi saat ini, aku hanya butuh waktu sendiri."

Athar tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya bisa menatap Amara dengan rasa bersalah yang mendalam sebelum perlahan melangkah mundur, meninggalkan ruangan dengan perasaan yang hancur.

Saat pintu tertutup di belakangnya, Amara terduduk di lantai, memeluk dirinya sendiri dan menangis dalam diam, mencoba memahami bagaimana cinta yang pernah terasa begitu kuat kini menjadi sumber luka yang begitu dalam.

Bahkan wanita itu juga tidak tahu bagaimana suaminya bisa tergoda pada Maya bahkan sampai hamil? Apakah Athar sebenarnya pura-pura menyesal? Akan tetapi, dia menatap netra sang suami terlihat jelas kalau sang suami tulus dengan penyesalannya.

"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Mas? Kenapa kamu tega?"

Foto pernikahan yang sedari tadi digenggaman tangannya kini dilempar ke segala tempat untuk melampiaskan kekesalan yang begitu mendalam dalam hatinya.

Amara terisak semakin keras ketika ingatan tentang pernikahan mereka membanjiri pikirannya. Sejak saat pertama kali Athar mengucapkan akad, hingga saat-saat bahagia yang mereka lalui bersama, semuanya kini terasa hancur. Bagaimana bisa seorang pria yang pernah begitu dia percayai dan cintai mengkhianati ikatan mereka?

Dia mulai menghapus air matanya dengan kasar, lalu sebuah rencana terbersit dalam benaknya. "Aku tidak bisa begini terus, membiarkan Maya, mertua dan mas Athar hidup bahagia setelah apa yang mereka lakukan padaku. Aku harus berbuat sesuatu yang akan membuat mereka malu. Aku tidak akan membiarkan mereka bersenang-senang di atas penderitaan yang kini aku rasakan." Kalimat itu keluar dan seolah menjadi penguat bagi Amara hari ini. Dia tidak bisa cuma diam saja dengan semuanya, dengan penuh tekad. Wanita cantik itu pun mulai meraih ponselnya dan segera menceritakan apa yang dirasakannya melalui salah satu akun sosial medianya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status