Share

Bab 5

Setelah Mega meninggalkan kamar, Maya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tidurnya. Meskipun Mega dan Athar telah meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, Maya tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, tidak mudah bagi Amara untuk merelakan kamar ini, apalagi dengan sejarah dan kenangan yang ada di dalamnya.

"Mari kita bersaing, Amara. Siapa yang akan mendapatkan posisi ratu di rumah ini pada akhirnya." Maya bermonolog dengan senyuman sinis.

Maya kemudian membaringkan diri di atas ranjang, mencoba untuk rileks. Namun pikirannya terus berputar. Bagaimana rasanya menjadi Amara? Apa yang sebenarnya Amara rasakan tentang situasi ini? Dan bagaimana hubungan mereka akan terpengaruh oleh semua ini?

Di luar pintu kamar, Mega berjalan menjauh dengan senyum yang menyiratkan kepuasan. Dia tahu bahwa situasi ini akan menciptakan dinamika baru di dalam keluarga, dan dia ingin melihat bagaimana semuanya akan berkembang. Bagi Mega, masa depan cucunya adalah yang paling utama, dan dia akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa anak itu dilahirkan dalam kondisi terbaik.

Amara yang baru saja selesai makan pun ingin kembali masuk ke kamar. Akan tetapi, langkah kakinya terhenti saat melihat barang-barangnya sudah ada di depan pintu.

"Apa-apaan ini?" pekiknya kesal. "Kenapa barang-barang ku ada di luar semua?" tanyanya.

Maya menoleh ke arah sumber suara, di mana Amara membuka pintu kamar dan meminta penjelasan atas semuanya.

"Mulai sekarang, kamar ini akan menjadi kamarku." Maya berbicara dengan nada jumawa.

Amara menatap Maya dengan mata membelalak, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu? Ini kamarku! Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengambilnya?" suara Amara terdengar penuh kemarahan dan kebingungan.

Maya melipat tangannya di depan dada dan mengangkat dagunya, menunjukkan sikap tidak peduli. "Ayah dan Ibu sudah setuju. Mulai sekarang, kamu pindah ke kamar tamu. Kamar ini terlalu besar untukmu yang tidak bisa memberikan keturunan," katanya dengan nada mengejek.

Amara merasakan panas di pipinya. Dia tahu Maya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. "Ini tidak adil!" protesnya. "Aku sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun! Kenapa aku harus pindah begitu saja?"

Maya mendekat dengan senyum tipis di bibirnya. "Yah, mungkin mereka berpikir sudah waktunya kamu belajar berbagi. Lagipula, kamar tamu itu cukup nyaman, kan?" Dia berkata dengan nada manis namun sinis, membuat Amara semakin marah.

Amara berbalik untuk mencari suami dan mertuanya. "Aku akan bicara dengan Ayah dan Ibu," katanya tegas. "Ini tidak bisa dibiarkan."

Namun, sebelum Amara sempat melangkah lebih jauh, pintu kamar di sebelah terbuka dan ibu mertuanya muncul, wajahnya tampak tersenyum dengan nada mengejek. "Amara," katanya lembut namun tegas, "Kita sudah memutuskan ini bersama. Maya membutuhkan ruangan lebih besar agar anak dalam kandungannya merasa nyaman dan aman."

Amara merasa hatinya mencelos. "Tapi, Bu..." suaranya mengecil, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Ibunya menggeleng pelan. "Ini bukan tentang keadilan, Amara. Ini tentang kebutuhan. Kami harap kamu bisa memahami. Apalagi Maya juga istri sah dari suamimu."

Amara terhenyak mendengar kata-kata Mega. Sejenak, dunia di sekitarnya terasa berputar, sulit baginya memahami apa yang barusan didengarnya. Rasa kesal kembali mencuat saat mengingat sang suami menikah tanpa sepengetahuannya, jelas-jelas pengkhianatan yang nyata.

Mega menghela napas panjang, "Kami tahu ini berat untukmu, Amara. Tapi, jika kamu memang tidak mau berbagi, silakan saja kamu yang pergi dari rumah ini. Biarkan Athar hidup bahagia dengan keluarga barunya."

Kata-kata itu menghantam Amara seperti pukulan keras di perut. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini!" cetusnya. Amara bukan wanita bodoh yang mau begitu saja memberikan kebebasan pada setiap orang yang telah menyakitinya.

Mega tersenyum sinis. "Mau sampai kapan kamu akan bertahan? Sedangkan suamimu... dia butuh anak, dan Maya bisa memberinya itu."

Amara merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh. Semua kejadian selama beberapa bulan terakhir kini terasa masuk akal. Perubahan sikap suaminya, ketidakjelasan dalam setiap percakapan, dan pertemuan-pertemuan rahasia di belakangnya. Namun, mengetahui pengkhianatan ini masih terlalu menyakitkan untuk diterima.

"Dan aku?" suara Amara hampir seperti bisikan. "Apa yang terjadi denganku?"

Mega akhirnya memberikan pilihan. "Kamu bisa tinggal di rumah ini, tapi kamu harus bersikap baik pada Maya dan anaknya. Jangan karena kamu istri pertama bisa melakukan seenaknya."

Namun, kata-kata itu hanya memperparah rasa sakit di hati Amara. Dia melangkah mundur, menjauh dari mertuanya, merasa tercekik oleh pengkhianatan yang begitu dalam. "Kalian sudah mengambil segalanya dariku," ucapnya pelan, suaranya dipenuhi dengan kesedihan dan kepahitan. "Rumahku, kamarku, suamiku...."

Maya, yang sedari tadi mendengarkan di ambang pintu dengan tatapan tak bersalah, kini melangkah maju. "Amara," katanya dengan nada lembut namun menusuk, "Kamu akan selalu menjadi bagian dari keluarga ini. Hanya saja, sekarang kamu harus menerima perubahan ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status