Share

bab 8

Athar mencoba memberi pengertian kepada Amara, bahwa Amara harus menerima keputusan nya. keputusan yang tidak gampang, untuk dijalani saat ini. Tapi sungguh, dia tidak tega akan hal itu. Amara istri yang sangat baik, di dasar hatinya paling dalam, dia masih mencintai Amara.

"Ayolah, Mas. Kenapa kamu diam begitu? Apa kamu masih mencintai Amara? Sehingga kamu tidak berani untuk membicarakan ini?" Rasanya Maya sangat jengkel dengan sikap suaminya kali ini. Dia ingin Athar dan Amara berpisah, dan dia harus menjadi istri satu-satunya di hati Athar. Terlebih Maya mengincar harta Athar.

Maya sedang mengandung bayi Athar, pewaris tunggal di keluarga Athar. Athar diam cukup lama, mana berani dia bercerai dengan Amara, sedang Amara sudah menemani nya mulai dari nol.

Mega melirik tajam kearah Athar, semenjak kemarin pikiran anaknya menjadi plin-plan untuk menceraikan istri yang mandul itu.

Ketiganya sedang duduk di ruang tamu yang sangat megah, semenjak tinggal dengan Athar, Mega selalu memperlakukan Amara seperti pembantu di rumah megahnya. Sengaja Mega tidak memperkerjakan orang, agar uangnya tidak habis untuk membayar orang. Toh, dari pada uangnya habis bayar pembantu. Lebih baik Amara yang melakukan semua pekerjaan rumah.

Tiba-tiba Amara keluar dari kamarnya, dengan menggeret sebuah koper besar. Sudah cukup dia merasakan sengsara di rumah megah itu. Sudah cukup Amara sering makan hati, ketika diperlakukan tidak baik oleh Mega dan Athar.

"Mau ke mana kamu, Amara?" Athar dalam seketika bangkit dari duduknya, dan menghentikan langkah Amara kali ini.

Amara berhenti melangkah, dan melihat ketiganya dengan tatapan yang sangat sinis.

"Ini yang kamu mau kan'? aku sudah ikhlas kamu dengan cewek murahan itu?" Amara menatap tidak suka kepada Maya, dan sesekali melirik kearah Mega mertuanya yang sangat kejam itu.

Mega dan Maya tertawa penuh kegirangan menatap Amara. "Aku tidak menginginkan kamu keluar dari rumah ini Amara, aku ingin kita tinggal serumah." Athar dengan tegas melarang Amara keluar dari rumah ini, sesekali dia memegang tangan Amara. Dengan buru-buru Amara menarik tangannya dengan cepat.

Amara menatap Athar dengan tatapan sinis dan tidak , Athar menatap dirinya dengan raut wajah yang suka sangat sedih. Athar berharap rumah tangganya dengan Amara baik-baik saja, tapi tidak dengan Amara. Dia sudah muak dengan semua ini, mereka tidak tahu, dengan siapa dia berhadapan saat ini. Amara berdiri membelakangi tubuh Athar, dan melipat kedua tangannya. Wanita cantik itu, sudah mulai ilfil dengan pernyataan dari suami yang telah mengkhianatinya.

"Mas, apa yang kamu katakan itu? Aku tidak sudi hidup serumah dengannya!" timpal Maya gelagapan.

Athar masih dengan tenang, dan menunggu balasan ucapan dari Amara kali ini. Dia tidak peduli terhadap ucapan Maya, terlebih lagi, ibunya yang membuat suasana kali ini menjadi runyam.

"Untuk apa Athar? biarkan saja dia keluar, dia sudah tidak layak tinggal dengan kita! Dia mandul, Athar! Apa lagi dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Setiap hari dia selalu menghabiskan seluruh uangmu saja, dasar wanita miskin!" tegas Mega, yang membuat hati Amara menjadi sakit.

Amara masih ingat betul, rumah besar ini, Amara yang mengurusnya sendiri. Menyapu dan mengepel, bahkan masak keperluan Mega yang selalu meminta makanan yang enak. Sehingga dia lupa untuk mengurus dirinya sendiri, tapi tidak hari ini. Tugasnya telah usai semenjak Athar dengan berani membawa wanita lain yang sedang mengandung ke rumah tangga yang telah di binanya dengan susah payah.

Penampilan Amara kali ini sangat cantik, sengaja dia berdandan sangat glamor sebelum pergi dari rumah Athar. Mereka kira Amara tidak bisa merawat dirinya sendiri, sungguh mereka salah besar.

"Dapat uang dari mana kamu Amara? pasti pakai uang Athar bukan?" cecar Mega, dengan memegang baju Amara dengan mengejek.

Amara tertawa sangat renyah, ketika mendengar ucapan Mega.

"Kalian tidak tahu, dengan siapa kalian berhadapan kali ini. Tunggu saja pembalasan ku, aku yakin kalian bakalan merasakan apa yang aku rasakan!" tegas Amara.

Tanpa di komandoi, Amara pergi dari hadapan Athar dan ke dua wanita licik itu.

"Tunggu, Amara! Jangan pergi!" cegah Athar berulang.

Athar mencoba mengejar Amara, agar Amara tidak pergi dari rumah ini. Terlebih lagi meninggalkan dirinya.

"Sudah lah, Mas! Jangan berlagak gila kamu. ini keputusan yang kamu mau bukan? Aku sudah mengiyakan semuanya!" tegas Amara, dan masih berjalan ketika Athar menarik tangan Amara dengan kuat.

"Aku mau kamu, Amara! Kita bisa tinggal bersama."

Mungkin Athar gila kali ini, dia mulai tamak untuk memeluk kedua istrinya.

"Jangan tamak, Mas. Aku tidak sebodoh itu. Aku segera selesaikan berkas perceraian kita," tegas Amara membuat Athar melongo dengan pernyataan dari istrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status