Share

Bab 7

Amara membuka aplikasi media sosial favoritnya dan menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Dia tahu bahwa langkah ini akan mengubah segalanya. Dalam benaknya, berbagai skenario bermain—bagaimana orang akan bereaksi, bagaimana Maya, mertua, dan Athar akan menanggapi. Namun, rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan lebih besar daripada ketakutannya.

Dengan napas panjang, dia mulai membuat vidio tentang dirinya serta sebuah ketikan tertulis di sana untuk memperjelas semua yang dirasakannya:

---

"Selama ini aku diam. Aku mencoba menerima semua perlakuan tidak adil yang diberikan kepadaku. Tapi aku sudah mencapai batas. Kalian, Maya, mertua, dan terutama kamu, Mas Athar, telah membuat hidupku seperti neraka.

Maya, kamu merebut suamiku, dan kamu, mertua, mendukung semua kebohongan dan pengkhianatan ini. Mas Athar, kamu mengkhianati janji suci kita. Apa yang kalian lakukan padaku adalah sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupakan atau maafkan.

Aku hanya ingin semua orang tahu kebenarannya. Aku tidak akan diam lagi. Aku akan berjuang untuk diriku sendiri. Ini belum berakhir."

---

Setelah mengetik kata-kata tersebut, Amara memeriksa kembali setiap kalimat. Dia merasakan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelegaan yang aneh. Ini adalah pertama kalinya dia membiarkan dirinya menjadi rentan di depan umum, mengungkapkan semua luka yang dia rasakan selama ini.

Amara menekan tombol "Kirim" dan segera merasakan gelombang kecemasan menyapu dirinya. Dia menunggu dengan penuh ketegangan, membayangkan reaksi yang akan datang. Komentar dan pesan mulai masuk satu per satu. Beberapa teman memberikan dukungan, sementara yang lain terkejut dengan pengungkapan tersebut.

Wanita cantik itu sengaja tidak membalas setiap komentar yang diterima, melainkan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja. Dia belum siap untuk menceritakan semuanya, lebih tepatnya menunggu hatinya kembali tenang seperti semula.

Sedangkan di kamar utama, terlihat Maya begitu santai setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Kamu jangan pernah khawatir, Maya. Aku akan terus mendukungmu hingga wanita mandul itu pergi dari rumah ini." Mega memberikan dukungan penuh pada menantunya.

"Iya, Bu. Selama ada Ibu di sini mendukungku, pasti semuanya akan baik-baik saja." Maya tersenyum puas.

Mega tidak tahu menahu tentang Maya yang memiliki hati busuk lebih dari yang dipikirkannya. Dia mengira, bahwa menantu yang dibanggakan kali ini akan selalu baik padanya. Di saat mereka berdua merayakan kemenangan karena sudah berhasil mengusir Amara ke kamar tamu, tiba-tiba saja Athar datang dengan wajah memerah.

"Kenapa kalian melakukan ini semua?" tanya Athar sembari mengernyitkan dahi.

"Harusnya kamu bersyukur, Athar. Dengan bantuan Ibu dan Maya, kamu juga tidak perlu repot-repot mengusir Amara dari kamar ini?" Mega langsung memberikan suara.

"Tapi jangan mendadak begini, Bu. Kita harus menunggu waktu yang tepat." Athar memberikan nasihat.

"Mau nunggu sampai kapan, Athar. Lebih cepat lebih baik, dari pada harus menunggu sampai dia berani menentang!" pekik Mega kesal karena sikap anaknya yang masih labil.

"Apa kamu lupa, Mas. Kita berhubungan tanpa ada rasa keterpaksaan, kenapa sekarang Mas seakan tidak rela jika aku tinggal di kamar utama menggantikan Amara? Apa sekarang Mas Athar sudah berubah pikiran?" Maya mulai merajuk.

Athar merasa kepalanya berdenyut hebat. Perdebatan yang tidak ada ujung ini membuat pikirannya semakin kacau. Di satu sisi, dia merasa Mega dan Maya benar. Amara sudah terlalu lama menghuni kamar utama itu, meski hubungan mereka sudah lama membeku. Di sisi lain, dia tidak ingin terlihat kejam atau tergesa-gesa.

"Sudahlah, Mas. Aku sudah lelah dengan semua drama ini. Kita harus bertindak sekarang," desak Mega dengan nada tajam, matanya menyiratkan ketegasan yang tidak bisa ditolak.

Athar menarik napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya tidak ingin membuat keputusan yang tergesa-gesa dan nanti malah menyesal. Amara masih berguna untukku, kita harus mempertimbangkan perasaannya juga," katanya akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.

Maya yang duduk di sebelah Mega, menatap Athar dengan pandangan memohon. "Mas, aku juga tidak ingin ini menjadi rumit. Tapi aku ingin kita bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Apa itu terlalu banyak diminta?"

Kata-kata Maya menusuk hati Athar. Dia tahu Maya punya hak untuk merasa demikian, tetapi ada perasaan bersalah yang tak bisa dia abaikan. Dia menatap Mega dan Maya bergantian, merasa terjepit di antara harapan dan kenyataan yang tidak bisa dihindari.

Mega mendesah, sedikit melunak. "Kita bisa melakukannya dengan cara yang baik, Athar. Tapi tetap saja, kita harus bertindak sekarang. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."

Athar akhirnya mengangguk perlahan, meski hatinya masih bimbang. "Baiklah. Tapi kita harus memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita akan bicara dengan Amara besok agar dia bisa menerima semua ini dengan lapang dada."

Maya tersenyum, meskipun samar. Mega pun mengangguk, merasa sedikit lega. Keputusan sudah diambil, dan meski ada banyak ketidakpastian di depannya, Athar tahu dia harus melangkah maju.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status