Share

Bab 4

Mega menatap anaknya dengan pandangan yang lembut, merasa simpati meski tetap tegas. "Kamu harus memikirkan yang terbaik, Nak. Kadang-kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan yang lebih besar. Amara mungkin bisa menemukan kebahagiaan tanpa kamu, dan kamu bisa membangun kehidupan yang baru dengan anakmu."

Athar terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa situasinya tidak mudah dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berat. "Aku akan berbicara dengan Amara lagi," akhirnya Athar berkata, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan memberitahunya tentang anak itu dan melihat apa yang dia katakan. Tapi apapun yang terjadi, aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaannya."

Mega menghela napas, menyadari betapa keras kepala anaknya dalam mempertahankan pernikahan ini. "Baiklah, Athar. Tapi ingatlah, waktu akan terus berjalan, dan semakin lama kamu menunda keputusan ini, semakin banyak yang akan terluka."

Athar hanya bisa mengangguk perlahan, merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa dia pecahkan sendiri. Dia tahu bahwa apa pun keputusan yang dia ambil, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan dengan hati yang berat, dia tahu bahwa pembicaraan berikutnya dengan Amara akan menentukan arah masa depan mereka.

Di dalam kamar Amara sudah kelelahan, perutnya sedari tadi menahan lapar. Akhirnya wanita cantik itu pun ke luar dan menuju ke dapur untuk mengambil nasi serta lauk.

"Kamu kira di rumah ini hanya kamu yang memiliki perasaan? Harusnya kamu sadar diri, tidak egois seperti ini." Mega menyindir Amara yang saat ini tengah mengambil nasi dari magicom.

Amara tertegun sejenak mendengar sindiran tajam dari ibu mertuanya. Ia menatap piring di tangannya, lalu menghela napas dalam-dalam sebelum menoleh ke arah Mega yang berdiri di dekat meja makan, tangan bersilang di dada dengan ekspresi tak senang.

"Bu, aku tidak bermaksud egois," Amara mencoba berbicara tenang meski nada suaranya sedikit bergetar. "Aku hanya lapar dan..."

"Lapar? Seperti hanya kamu yang lapar di sini?" potong Mega, suaranya semakin meninggi. "Kamu tahu kan, ada masalah di rumah ini yang harus kita selesaikan bersama? Tapi kamu malah mengurung diri di kamar dan sekarang muncul hanya untuk makan."

Amara menggigit bibirnya, merasakan tangannya mulai gemetar. "Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Bu. Semua ini terlalu berat untukku."

Mega menghela napas keras, pandangannya masih tajam. "Dan menurutmu, itu tidak berat untuk kita semua? Kamu pikir kita semua tidak merasakan tekanan yang sama?"

Amara menunduk, tidak bisa menjawab. Piring di tangannya terasa semakin berat, dan ia mulai merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Ia tahu, Mega benar. Semua orang di rumah ini sedang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Namun, kadang kala, beban yang dirasakan terlalu besar untuk ditanggung sendiri.

Suasana di dapur menjadi semakin tegang. Suara ketukan sendok ke piring dari Amara dan suara napas Mega yang berat mendominasi ruangan. Amara berusaha untuk menenangkan pikirannya, namun sindiran Mega terus terngiang di telinganya.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Maya yang merupakan istri sah dari Athar datang menghampiri.

"Bu!" sapanya sembari mencium tangan Mega.

"Wah, kamu sudah datang. Lebih baik kamu langsung ke kamar saja," ujar Mega sembari merangkul pundak menantu barunya. Dengan nada sinis wanita setengah paruh baya itu pun memerintah pada Amara agar membantu Maya membawa barang bawaannya.

Sontak saja hal itu membuat Amara kesal, dia pun mengabaikan perintah dari ibu mertuanya.

"Kamu jangan sungkan di sini, anggap rumah sendiri." Mega justru mengantarkan Maya ke kamar utama. Di mana kamar tersebut biasa ditempati oleh Athar dan Amara.

Maya terlihat senang dalam hatinya, tapi di depan mertuanya dia berpura-pura. "Kalau aku tidur di sini, lantas mbak Amara akan tidur di mana?" tanyanya pelan.

"Kamu tidak usah khawatir, tenang saja. Dia juga pasti tidak keberatan kamu tinggal di kamar utama. Bagaimanapun, kamu 'kan lagi hamil calon cucuku." Mega mulai berbicara begitu manis.

Maya terdiam sejenak, merasakan rasa senang dan cemas yang campur aduk di dalam hatinya. Dia menatap kamar yang luas dan mewah, tempat tidur yang besar dengan selimut tebal, serta foto pernikahan Athar dan Amara yang masih tergantung di dinding. "Apa mbak Amara benar-benar tidak keberatan?" Maya mencoba menutupi keraguannya dengan senyum tipis.

Mega mengangguk mantap, "Tentu saja. Lagipula, Amara sudah aku atur untuk sementara tinggal di kamar tamu di lantai bawah. Dia paham kok situasi kamu yang sedang hamil. Ini semua demi kebaikanmu dan calon cucuku." Lagi-lagi Mega berdusta.

Maya tersenyum, dalam hatinya juga sangat bergembira. "Terima kasih, Bu," ucapnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Mega menepuk bahu Maya dengan lembut. "Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Jangan pikirkan hal lain. Kamu harus jaga kesehatan, itu yang terpenting sekarang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status