Mega menatap anaknya dengan pandangan yang lembut, merasa simpati meski tetap tegas. "Kamu harus memikirkan yang terbaik, Nak. Kadang-kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan yang lebih besar. Amara mungkin bisa menemukan kebahagiaan tanpa kamu, dan kamu bisa membangun kehidupan yang baru dengan anakmu."
Athar terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa situasinya tidak mudah dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berat. "Aku akan berbicara dengan Amara lagi," akhirnya Athar berkata, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan memberitahunya tentang anak itu dan melihat apa yang dia katakan. Tapi apapun yang terjadi, aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaannya." Mega menghela napas, menyadari betapa keras kepala anaknya dalam mempertahankan pernikahan ini. "Baiklah, Athar. Tapi ingatlah, waktu akan terus berjalan, dan semakin lama kamu menunda keputusan ini, semakin banyak yang akan terluka." Athar hanya bisa mengangguk perlahan, merasa terjebak dalam dilema yang tidak bisa dia pecahkan sendiri. Dia tahu bahwa apa pun keputusan yang dia ambil, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan dengan hati yang berat, dia tahu bahwa pembicaraan berikutnya dengan Amara akan menentukan arah masa depan mereka. Di dalam kamar Amara sudah kelelahan, perutnya sedari tadi menahan lapar. Akhirnya wanita cantik itu pun ke luar dan menuju ke dapur untuk mengambil nasi serta lauk. "Kamu kira di rumah ini hanya kamu yang memiliki perasaan? Harusnya kamu sadar diri, tidak egois seperti ini." Mega menyindir Amara yang saat ini tengah mengambil nasi dari magicom. Amara tertegun sejenak mendengar sindiran tajam dari ibu mertuanya. Ia menatap piring di tangannya, lalu menghela napas dalam-dalam sebelum menoleh ke arah Mega yang berdiri di dekat meja makan, tangan bersilang di dada dengan ekspresi tak senang. "Bu, aku tidak bermaksud egois," Amara mencoba berbicara tenang meski nada suaranya sedikit bergetar. "Aku hanya lapar dan..." "Lapar? Seperti hanya kamu yang lapar di sini?" potong Mega, suaranya semakin meninggi. "Kamu tahu kan, ada masalah di rumah ini yang harus kita selesaikan bersama? Tapi kamu malah mengurung diri di kamar dan sekarang muncul hanya untuk makan." Amara menggigit bibirnya, merasakan tangannya mulai gemetar. "Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, Bu. Semua ini terlalu berat untukku." Mega menghela napas keras, pandangannya masih tajam. "Dan menurutmu, itu tidak berat untuk kita semua? Kamu pikir kita semua tidak merasakan tekanan yang sama?" Amara menunduk, tidak bisa menjawab. Piring di tangannya terasa semakin berat, dan ia mulai merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Ia tahu, Mega benar. Semua orang di rumah ini sedang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Namun, kadang kala, beban yang dirasakan terlalu besar untuk ditanggung sendiri. Suasana di dapur menjadi semakin tegang. Suara ketukan sendok ke piring dari Amara dan suara napas Mega yang berat mendominasi ruangan. Amara berusaha untuk menenangkan pikirannya, namun sindiran Mega terus terngiang di telinganya. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Maya yang merupakan istri sah dari Athar datang menghampiri. "Bu!" sapanya sembari mencium tangan Mega. "Wah, kamu sudah datang. Lebih baik kamu langsung ke kamar saja," ujar Mega sembari merangkul pundak menantu barunya. Dengan nada sinis wanita setengah paruh baya itu pun memerintah pada Amara agar membantu Maya membawa barang bawaannya. Sontak saja hal itu membuat Amara kesal, dia pun mengabaikan perintah dari ibu mertuanya. "Kamu jangan sungkan di sini, anggap rumah sendiri." Mega justru mengantarkan Maya ke kamar utama. Di mana kamar tersebut biasa ditempati oleh Athar dan Amara. Maya terlihat senang dalam hatinya, tapi di depan mertuanya dia berpura-pura. "Kalau aku tidur di sini, lantas mbak Amara akan tidur di mana?" tanyanya pelan. "Kamu tidak usah khawatir, tenang saja. Dia juga pasti tidak keberatan kamu tinggal di kamar utama. Bagaimanapun, kamu 'kan lagi hamil calon cucuku." Mega mulai berbicara begitu manis. Maya terdiam sejenak, merasakan rasa senang dan cemas yang campur aduk di dalam hatinya. Dia menatap kamar yang luas dan mewah, tempat tidur yang besar dengan selimut tebal, serta foto pernikahan Athar dan Amara yang masih tergantung di dinding. "Apa mbak Amara benar-benar tidak keberatan?" Maya mencoba menutupi keraguannya dengan senyum tipis. Mega mengangguk mantap, "Tentu saja. Lagipula, Amara sudah aku atur untuk sementara tinggal di kamar tamu di lantai bawah. Dia paham kok situasi kamu yang sedang hamil. Ini semua demi kebaikanmu dan calon cucuku." Lagi-lagi Mega berdusta. Maya tersenyum, dalam hatinya juga sangat bergembira. "Terima kasih, Bu," ucapnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mega menepuk bahu Maya dengan lembut. "Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Jangan pikirkan hal lain. Kamu harus jaga kesehatan, itu yang terpenting sekarang."Setelah Mega meninggalkan kamar, Maya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tidurnya. Meskipun Mega dan Athar telah meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, Maya tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, tidak mudah bagi Amara untuk merelakan kamar ini, apalagi dengan sejarah dan kenangan yang ada di dalamnya."Mari kita bersaing, Amara. Siapa yang akan mendapatkan posisi ratu di rumah ini pada akhirnya." Maya bermonolog dengan senyuman sinis. Maya kemudian membaringkan diri di atas ranjang, mencoba untuk rileks. Namun pikirannya terus berputar. Bagaimana rasanya menjadi Amara? Apa yang sebenarnya Amara rasakan tentang situasi ini? Dan bagaimana hubungan mereka akan terpengaruh oleh semua ini?Di luar pintu kamar, Mega berjalan menjauh dengan senyum yang menyiratkan kepuasan. Dia tahu bahwa situasi ini akan menciptakan dinamika baru di dalam keluarga, dan dia ingin meli
Amara menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan luka. "Aku tidak akan pernah bisa menerima ini," katanya tegas. Dengan tangan gemetar, dia mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia berbalik dan berkata, "Suatu hari, kalian semua akan menyesali apa yang telah kalian lakukan."Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan meninggalkan kamar yang pernah ia sebut sebagai tempat perlindungan, hatinya kini dipenuhi oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Dia mulai menata barang-barangnya di dalam kamar tamu. Hatinya memang sakit, tapi dia harus kuat dengan semua ini. Sambil berkemas, Amara merasakan beban yang menghimpit dadanya. Setiap barang yang ia keluarkan dari dalam tas seakan menjadi pengingat betapa cepat segala sesuatunya berubah. Foto-foto yang dulu penuh tawa dan kebahagiaan sekarang hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi ia kenali. Amara duduk sejenak di tepi ranjang, menatap kamar tamu yang terasa asing. Di
Amara membuka aplikasi media sosial favoritnya dan menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Dia tahu bahwa langkah ini akan mengubah segalanya. Dalam benaknya, berbagai skenario bermain—bagaimana orang akan bereaksi, bagaimana Maya, mertua, dan Athar akan menanggapi. Namun, rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan lebih besar daripada ketakutannya.Dengan napas panjang, dia mulai membuat vidio tentang dirinya serta sebuah ketikan tertulis di sana untuk memperjelas semua yang dirasakannya:---"Selama ini aku diam. Aku mencoba menerima semua perlakuan tidak adil yang diberikan kepadaku. Tapi aku sudah mencapai batas. Kalian, Maya, mertua, dan terutama kamu, Mas Athar, telah membuat hidupku seperti neraka. Maya, kamu merebut suamiku, dan kamu, mertua, mendukung semua kebohongan dan pengkhianatan ini. Mas Athar, kamu mengkhianati janji suci kita. Apa yang kalian lakukan padaku adalah sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupakan atau maafkan.Aku hanya ingin semua orang tahu kebena
Athar mencoba memberi pengertian kepada Amara, bahwa Amara harus menerima keputusan nya. keputusan yang tidak gampang, untuk dijalani saat ini. Tapi sungguh, dia tidak tega akan hal itu. Amara istri yang sangat baik, di dasar hatinya paling dalam, dia masih mencintai Amara. "Ayolah, Mas. Kenapa kamu diam begitu? Apa kamu masih mencintai Amara? Sehingga kamu tidak berani untuk membicarakan ini?" Rasanya Maya sangat jengkel dengan sikap suaminya kali ini. Dia ingin Athar dan Amara berpisah, dan dia harus menjadi istri satu-satunya di hati Athar. Terlebih Maya mengincar harta Athar. Maya sedang mengandung bayi Athar, pewaris tunggal di keluarga Athar. Athar diam cukup lama, mana berani dia bercerai dengan Amara, sedang Amara sudah menemani nya mulai dari nol.Mega melirik tajam kearah Athar, semenjak kemarin pikiran anaknya menjadi plin-plan untuk menceraikan istri yang mandul itu.Ketiganya sedang duduk di ruang tamu yang sangat megah, semenjak tinggal dengan Athar, Mega selalu memper
kali ini Amara tergopoh-gopoh ketika Mega dengan lantang memanggil namanya, Amara menantu penurut. meskipun tertindas, dia masih bersabar agar rumah tangganya dengan Athar baik-baik saja. karena dulu, sebelum menikah dengan Athar ibu Amara menentang akan hal itu. karena menurut ibunya, Athar beserta keluarganya bukan dari kalangan sepadan dengan nya. demi cinta yang dia kejar, akhirnya Amara berani menentang restu kedua orang tuanya. awal-awal menikah Mega terlihat seperti orang mertua yang baik. yang menyayangi Amara dan menganggap Amara sebagai anaknya, tapi setelah Amara sudah di keluarkan dari kartu keluarga dan tidak dianggap sebagai anaknya lagi, kehidupan Amara berubah total. karena Mega menikah kan putranya, hanya untuk menguras harta keluarga Amara. karena Mega tahu, Amara tergolong dari keluarga yang sangat kaya Raya. "Bikini ibu sup daging" suara lantang itu berasal dari Mega, yang duduk dengan melipat kakinya dan menyeruput secangkir teh hangat. Amara berdiri penuh horm
" kenapa mas, kok murung begitu?" sesosok wanita muda, cantik bertubuh semampai dan putih sedang bergelayut manja di pangkuan Athar. Sedang Athar dengan terbuka memeluk gadis tersebut, wajah Athar di tekuk saja, dengan beraninya gadis itu mencubit dengan mesra pipi Athar yang putih mulus. "pasti deh, masalah pada istri mas mandul itu!"ucap gadis, yang sedang memanasi suasana hati Athar. "sudah lah mas, jangan di pikirin lagi masalah istri mas yang mandul itu! mendingan kita senang-senang"genitnya. mata Athar mulai jelalatan, dia dengan mesra mencubit hidung mancung milik gadis tersebut. "jangan pancing, aku sudah tidak tahan! lagian, kamu lebih cantik dari istriku yang tidak pandai berdandan"ucap Athar dengan mencemooh Amara di depan gadis simpanan nya tersebut. "baumu harum, sedang Amara bau dapur! mana jelek lagi, mimpi apa aku nikah dengan dia"cemooh nya lagi, mungkin cinta Athar sudah terkikis dengan kebencian dengan kemandulan Amara. Maya dengan leluasa tertawa penuh
Amara termangu sendiri di depan kamar besar miliknya, semenjak menikah dengan Athar kedua orang tuanya tidak pernah merestui hubungan keduanya. Karena kedua orang tua Amara tahu, Athar dan ibunya bukan lah orang baik. Dan kedua orang tua Athar menerima Amara kembali, ketika Amara pergi dari rumah Athar dan orang tua Amara mendukung sepenuhnya keinginan Amara untuk bercerai dengan Athar. Amara menangis ketika mengingat semuanya, sungguh sesak yang dia rasakan. Bagaimana bisa caranya Athar berselingkuh dengan Maya di belakang nya. Pantas saja sikap Athar berubah ketika dia berselingkuh dengan Maya. dia selalu dingin dan kurang perhatian kepada Amara. cukup sakit sangat lah sakit, ketika Amara mengingat kejadian masa lalu bersama Athar. dan Amara di kagetkan dengan suara ponsel miliknya, ketika dia masih mengingat semua masa lalu nya dengan Athar. Tapi sekarang rumah tangganya di ujuk tanduk, dan dia harus bisa untuk melupakan Athar selamanya. Unggahan nya waktu itu menjadi viral da
Maya mendengus kesal, ketika dia datang ke rumah Amara bersama Athar waktu itu. Dia tidak ingin Athar bangkrut, gara-gara kelakuan Amara yang memposting kisah cintanya dengan Athar menjadi viral. Rasanya untuk saat ini, Amara sedang diatas angin. dampak dari viral nya postingan yang di unggah Amara, membuat client yang bekerjasama dengan Athar memutuskan kontrak nya sepihak. "mas, kamu kok diam saja! ayo dong, nyari solusi!" Maya nampak kesal, ketika suaminya duduk dengan memejamkan kedua matanya. "kamu mau? anak kita lahir kamu dalam keadaan miskin? aku sih enggak mau mas!" Maya mendengus dingin dengan sikap suaminya kali ini. Mega nampak duduk di samping Athar, Mega tahu bahwa anaknya sedang banyak pikiran. Maya istri kedua yang di sayangnya, jangan kan menenangkan suaminya. Malah dia memperumit masalah. Mega sangat sadar, sikap Maya berbeda jauh dengan Amara yang penyabar. "suamimu lagi banyak pikiran Maya, jadi tolong jangan ngomel-ngomel begitu!" Mega menjadi penengah ant