Share

Bab 3

Kata-kata Athar itu seperti pukulan keras yang menghantam hati Amara. Seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Suasana ruangan itu tiba-tiba berubah semakin dingin, seakan-akan segala harapan yang baru saja terbit kini hancur berkeping-keping.

Amara mundur beberapa langkah, memandang Athar dengan mata yang membesar karena syok dan ketidakpercayaan. "Apa... apa yang kamu katakan?" suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

Athar menggigit bibirnya, menundukkan kepala, merasa malu dan bersalah. "Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Itu adalah kesalahan besar. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu lebih dalam, Amara, tapi aku harus jujur."

Amara merasa tubuhnya gemetar hebat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa dihentikan. "Jadi, kamu mengkhianati aku tidak hanya sekali, tapi juga berkali-kali dengan dia? Kamu tidak hanya menghancurkan hati dan kepercayaanku, tapi juga membawa anak dari wanita lain ke dalam hidup kita?"

Athar menggelengkan kepala, matanya dipenuhi dengan rasa putus asa. "Amara, aku tidak bisa menjelaskan betapa menyesalnya aku. Aku benar-benar terjebak dalam situasi ini. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan, tapi aku tidak bisa meninggalkan anakku. Aku harus bertanggung jawab."

Amara merasakan beban berat di dadanya, perasaan sakit dan marah bercampur menjadi satu. "Dan bagaimana dengan tanggung jawabmu padaku? Pada pernikahan kita? Apa semua itu tidak berarti apa-apa bagimu?"

Athar mendekatkan diri, mencoba meraih tangan Amara, tapi dia segera menyingkir, tidak ingin disentuh. "Amara, tolong, berikan aku waktu. Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku masih mencintaimu dan bahwa aku bisa menjadi suami yang lebih baik."

Amara memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan rasa sakit yang seakan-akan merobek jiwanya. "Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan atau lakukan untuk memperbaiki ini, Mas. Kamu sudah menghancurkan segalanya. Aku tidak bisa hidup dengan bayang-bayang pengkhianatanmu dan anak dari wanita lain. Aku butuh waktu untuk berpikir."

Athar mengangguk dengan berat hati, tahu bahwa dia tidak bisa memaksa Amara untuk memaafkannya. "Aku mengerti, Amara. Aku akan memberimu ruang. Tapi aku akan tetap di sini, menunggu, berharap suatu hari kamu bisa menemukan dalam hatimu untuk memberiku kesempatan lagi."

Amara menatap Athar untuk terakhir kalinya, matanya dipenuhi dengan rasa sakit yang dalam. "Aku tidak tahu apakah itu mungkin, Mas. Tapi untuk sekarang, aku butuh waktu sendiri."

Dengan langkah berat, Athar meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Amara yang tersisa dengan hatinya yang hancur. Dia tahu bahwa ini mungkin adalah awal dari akhir, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Dan sementara Amara berdiri sendirian, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan baru ini, Athar pergi dengan beban kesalahan yang mungkin tidak pernah bisa dia tebus.

Wanita cantik itu pun berdiri di depan cermin dan mengingat semuanya tentang masa lalu bersama sang suami yang dari awal begitu mencintainya.

"Aku kira kamu akan bertahan dengan pernikahan kita tanpa berkhianat, Mas. Meskipun kita masih belum diberikan keturunan. Ternyata aku salah menilaimu," ujar Amara terisak sembari menatap ke arah cermin.

Momen indah bersama sang suami masih berbekas dalam benaknya, tapi untuk saat ini kenangan itu semakin menyiksa setelah pengkhianatan yang diberikan Athar.

Sedang di ruang keluarga, Athar duduk dengan wajah kebingungan.

"Buat apa kamu masih mempertahankan wanita yang tidak berguna itu, Athar. Jika dia tidak mau meneruskan pernikahan ini, tinggal kamu ceraikan saja!" ujar Mega tegas.

"Gak bisa begitu, Bu. Apa Ibu lupa kalau selama ini Amara yang selalu mendukung keluarga kita?"

Athar mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang penuh kelelahan dan frustasi. Suasana ruang keluarga yang biasanya hangat kini dipenuhi dengan ketegangan yang tebal. Mega menatap balik dengan tatapan keras dan penuh ketidaksetujuan.

"Athar, jangan bodoh," desak Mega, suaranya penuh dengan nada kekesalan. "Kita bicara soal realitas di sini. Amara tidak bisa memberikan apa yang kita butuhkan. Dia tidak bisa memberikan keturunan. Dan sekarang, setelah tahu kamu punya anak dengan wanita lain, dia lebih baik menyerah saja."

Athar mengepalkan tangan di pangkuannya, mencoba mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Ibu, tolong pahami, Amara bukan hanya sekedar istri. Dia adalah partner hidupku. Selama ini dia selalu ada untuk kita, untuk keluarga ini. Dia mencintai kita tanpa syarat. Aku tidak bisa begitu saja menceraikannya."

Mega menghela napas panjang, mencoba menahan rasa frustrasi. "Aku tahu dia selalu ada untuk kita, tapi sekarang keadaan sudah berubah. Kamu harus berpikir tentang masa depanmu, tentang masa depan anakmu dengan Ayu. Apa kamu akan meninggalkan darah dagingmu sendiri?"

Athar menundukkan kepala, merasakan beban yang begitu besar di pundaknya. "Aku tahu, Bu. Aku harus bertanggung jawab atas anak itu. Tapi itu tidak berarti aku harus meninggalkan Amara. Aku mencintainya, dan aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."

Mega menggelengkan kepala, tampak tidak setuju. "Athar, cinta itu tidak cukup. Lihatlah kenyataan ini. Jika kamu terus mencoba untuk mempertahankan pernikahan ini, kamu hanya akan menyakiti semua orang, termasuk dirimu sendiri."

Athar merasakan air mata mulai membasahi sudut matanya. "Ibu, aku hanya ingin mencoba. Aku ingin memberikan kesempatan pada pernikahan kami, pada cinta kami."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status