Kata-kata Athar itu seperti pukulan keras yang menghantam hati Amara. Seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Suasana ruangan itu tiba-tiba berubah semakin dingin, seakan-akan segala harapan yang baru saja terbit kini hancur berkeping-keping.
Amara mundur beberapa langkah, memandang Athar dengan mata yang membesar karena syok dan ketidakpercayaan. "Apa... apa yang kamu katakan?" suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Athar menggigit bibirnya, menundukkan kepala, merasa malu dan bersalah. "Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Itu adalah kesalahan besar. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu lebih dalam, Amara, tapi aku harus jujur." Amara merasa tubuhnya gemetar hebat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa dihentikan. "Jadi, kamu mengkhianati aku tidak hanya sekali, tapi juga berkali-kali dengan dia? Kamu tidak hanya menghancurkan hati dan kepercayaanku, tapi juga membawa anak dari wanita lain ke dalam hidup kita?" Athar menggelengkan kepala, matanya dipenuhi dengan rasa putus asa. "Amara, aku tidak bisa menjelaskan betapa menyesalnya aku. Aku benar-benar terjebak dalam situasi ini. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan, tapi aku tidak bisa meninggalkan anakku. Aku harus bertanggung jawab." Amara merasakan beban berat di dadanya, perasaan sakit dan marah bercampur menjadi satu. "Dan bagaimana dengan tanggung jawabmu padaku? Pada pernikahan kita? Apa semua itu tidak berarti apa-apa bagimu?" Athar mendekatkan diri, mencoba meraih tangan Amara, tapi dia segera menyingkir, tidak ingin disentuh. "Amara, tolong, berikan aku waktu. Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku masih mencintaimu dan bahwa aku bisa menjadi suami yang lebih baik." Amara memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan rasa sakit yang seakan-akan merobek jiwanya. "Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan atau lakukan untuk memperbaiki ini, Mas. Kamu sudah menghancurkan segalanya. Aku tidak bisa hidup dengan bayang-bayang pengkhianatanmu dan anak dari wanita lain. Aku butuh waktu untuk berpikir." Athar mengangguk dengan berat hati, tahu bahwa dia tidak bisa memaksa Amara untuk memaafkannya. "Aku mengerti, Amara. Aku akan memberimu ruang. Tapi aku akan tetap di sini, menunggu, berharap suatu hari kamu bisa menemukan dalam hatimu untuk memberiku kesempatan lagi." Amara menatap Athar untuk terakhir kalinya, matanya dipenuhi dengan rasa sakit yang dalam. "Aku tidak tahu apakah itu mungkin, Mas. Tapi untuk sekarang, aku butuh waktu sendiri." Dengan langkah berat, Athar meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Amara yang tersisa dengan hatinya yang hancur. Dia tahu bahwa ini mungkin adalah awal dari akhir, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya. Dan sementara Amara berdiri sendirian, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan baru ini, Athar pergi dengan beban kesalahan yang mungkin tidak pernah bisa dia tebus. Wanita cantik itu pun berdiri di depan cermin dan mengingat semuanya tentang masa lalu bersama sang suami yang dari awal begitu mencintainya. "Aku kira kamu akan bertahan dengan pernikahan kita tanpa berkhianat, Mas. Meskipun kita masih belum diberikan keturunan. Ternyata aku salah menilaimu," ujar Amara terisak sembari menatap ke arah cermin. Momen indah bersama sang suami masih berbekas dalam benaknya, tapi untuk saat ini kenangan itu semakin menyiksa setelah pengkhianatan yang diberikan Athar. Sedang di ruang keluarga, Athar duduk dengan wajah kebingungan. "Buat apa kamu masih mempertahankan wanita yang tidak berguna itu, Athar. Jika dia tidak mau meneruskan pernikahan ini, tinggal kamu ceraikan saja!" ujar Mega tegas. "Gak bisa begitu, Bu. Apa Ibu lupa kalau selama ini Amara yang selalu mendukung keluarga kita?" Athar mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang penuh kelelahan dan frustasi. Suasana ruang keluarga yang biasanya hangat kini dipenuhi dengan ketegangan yang tebal. Mega menatap balik dengan tatapan keras dan penuh ketidaksetujuan. "Athar, jangan bodoh," desak Mega, suaranya penuh dengan nada kekesalan. "Kita bicara soal realitas di sini. Amara tidak bisa memberikan apa yang kita butuhkan. Dia tidak bisa memberikan keturunan. Dan sekarang, setelah tahu kamu punya anak dengan wanita lain, dia lebih baik menyerah saja." Athar mengepalkan tangan di pangkuannya, mencoba mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Ibu, tolong pahami, Amara bukan hanya sekedar istri. Dia adalah partner hidupku. Selama ini dia selalu ada untuk kita, untuk keluarga ini. Dia mencintai kita tanpa syarat. Aku tidak bisa begitu saja menceraikannya." Mega menghela napas panjang, mencoba menahan rasa frustrasi. "Aku tahu dia selalu ada untuk kita, tapi sekarang keadaan sudah berubah. Kamu harus berpikir tentang masa depanmu, tentang masa depan anakmu dengan Ayu. Apa kamu akan meninggalkan darah dagingmu sendiri?" Athar menundukkan kepala, merasakan beban yang begitu besar di pundaknya. "Aku tahu, Bu. Aku harus bertanggung jawab atas anak itu. Tapi itu tidak berarti aku harus meninggalkan Amara. Aku mencintainya, dan aku ingin mencoba memperbaiki semuanya." Mega menggelengkan kepala, tampak tidak setuju. "Athar, cinta itu tidak cukup. Lihatlah kenyataan ini. Jika kamu terus mencoba untuk mempertahankan pernikahan ini, kamu hanya akan menyakiti semua orang, termasuk dirimu sendiri." Athar merasakan air mata mulai membasahi sudut matanya. "Ibu, aku hanya ingin mencoba. Aku ingin memberikan kesempatan pada pernikahan kami, pada cinta kami."Mega menatap anaknya dengan pandangan yang lembut, merasa simpati meski tetap tegas. "Kamu harus memikirkan yang terbaik, Nak. Kadang-kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan yang lebih besar. Amara mungkin bisa menemukan kebahagiaan tanpa kamu, dan kamu bisa membangun kehidupan yang baru dengan anakmu."Athar terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Dia tahu bahwa situasinya tidak mudah dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berat. "Aku akan berbicara dengan Amara lagi," akhirnya Athar berkata, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan memberitahunya tentang anak itu dan melihat apa yang dia katakan. Tapi apapun yang terjadi, aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaannya."Mega menghela napas, menyadari betapa keras kepala anaknya dalam mempertahankan pernikahan ini. "Baiklah, Athar. Tapi ingatlah, waktu akan terus berjalan, dan semakin lama kamu menunda keputusan ini, semakin banyak yang akan terluka."Athar hanya bisa mengangguk per
Setelah Mega meninggalkan kamar, Maya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tidurnya. Meskipun Mega dan Athar telah meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, Maya tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, tidak mudah bagi Amara untuk merelakan kamar ini, apalagi dengan sejarah dan kenangan yang ada di dalamnya."Mari kita bersaing, Amara. Siapa yang akan mendapatkan posisi ratu di rumah ini pada akhirnya." Maya bermonolog dengan senyuman sinis. Maya kemudian membaringkan diri di atas ranjang, mencoba untuk rileks. Namun pikirannya terus berputar. Bagaimana rasanya menjadi Amara? Apa yang sebenarnya Amara rasakan tentang situasi ini? Dan bagaimana hubungan mereka akan terpengaruh oleh semua ini?Di luar pintu kamar, Mega berjalan menjauh dengan senyum yang menyiratkan kepuasan. Dia tahu bahwa situasi ini akan menciptakan dinamika baru di dalam keluarga, dan dia ingin meli
Amara menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan luka. "Aku tidak akan pernah bisa menerima ini," katanya tegas. Dengan tangan gemetar, dia mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia berbalik dan berkata, "Suatu hari, kalian semua akan menyesali apa yang telah kalian lakukan."Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan meninggalkan kamar yang pernah ia sebut sebagai tempat perlindungan, hatinya kini dipenuhi oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Dia mulai menata barang-barangnya di dalam kamar tamu. Hatinya memang sakit, tapi dia harus kuat dengan semua ini. Sambil berkemas, Amara merasakan beban yang menghimpit dadanya. Setiap barang yang ia keluarkan dari dalam tas seakan menjadi pengingat betapa cepat segala sesuatunya berubah. Foto-foto yang dulu penuh tawa dan kebahagiaan sekarang hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi ia kenali. Amara duduk sejenak di tepi ranjang, menatap kamar tamu yang terasa asing. Di
Amara membuka aplikasi media sosial favoritnya dan menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Dia tahu bahwa langkah ini akan mengubah segalanya. Dalam benaknya, berbagai skenario bermain—bagaimana orang akan bereaksi, bagaimana Maya, mertua, dan Athar akan menanggapi. Namun, rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan lebih besar daripada ketakutannya.Dengan napas panjang, dia mulai membuat vidio tentang dirinya serta sebuah ketikan tertulis di sana untuk memperjelas semua yang dirasakannya:---"Selama ini aku diam. Aku mencoba menerima semua perlakuan tidak adil yang diberikan kepadaku. Tapi aku sudah mencapai batas. Kalian, Maya, mertua, dan terutama kamu, Mas Athar, telah membuat hidupku seperti neraka. Maya, kamu merebut suamiku, dan kamu, mertua, mendukung semua kebohongan dan pengkhianatan ini. Mas Athar, kamu mengkhianati janji suci kita. Apa yang kalian lakukan padaku adalah sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupakan atau maafkan.Aku hanya ingin semua orang tahu kebena
Athar mencoba memberi pengertian kepada Amara, bahwa Amara harus menerima keputusan nya. keputusan yang tidak gampang, untuk dijalani saat ini. Tapi sungguh, dia tidak tega akan hal itu. Amara istri yang sangat baik, di dasar hatinya paling dalam, dia masih mencintai Amara. "Ayolah, Mas. Kenapa kamu diam begitu? Apa kamu masih mencintai Amara? Sehingga kamu tidak berani untuk membicarakan ini?" Rasanya Maya sangat jengkel dengan sikap suaminya kali ini. Dia ingin Athar dan Amara berpisah, dan dia harus menjadi istri satu-satunya di hati Athar. Terlebih Maya mengincar harta Athar. Maya sedang mengandung bayi Athar, pewaris tunggal di keluarga Athar. Athar diam cukup lama, mana berani dia bercerai dengan Amara, sedang Amara sudah menemani nya mulai dari nol.Mega melirik tajam kearah Athar, semenjak kemarin pikiran anaknya menjadi plin-plan untuk menceraikan istri yang mandul itu.Ketiganya sedang duduk di ruang tamu yang sangat megah, semenjak tinggal dengan Athar, Mega selalu memper
kali ini Amara tergopoh-gopoh ketika Mega dengan lantang memanggil namanya, Amara menantu penurut. meskipun tertindas, dia masih bersabar agar rumah tangganya dengan Athar baik-baik saja. karena dulu, sebelum menikah dengan Athar ibu Amara menentang akan hal itu. karena menurut ibunya, Athar beserta keluarganya bukan dari kalangan sepadan dengan nya. demi cinta yang dia kejar, akhirnya Amara berani menentang restu kedua orang tuanya. awal-awal menikah Mega terlihat seperti orang mertua yang baik. yang menyayangi Amara dan menganggap Amara sebagai anaknya, tapi setelah Amara sudah di keluarkan dari kartu keluarga dan tidak dianggap sebagai anaknya lagi, kehidupan Amara berubah total. karena Mega menikah kan putranya, hanya untuk menguras harta keluarga Amara. karena Mega tahu, Amara tergolong dari keluarga yang sangat kaya Raya. "Bikini ibu sup daging" suara lantang itu berasal dari Mega, yang duduk dengan melipat kakinya dan menyeruput secangkir teh hangat. Amara berdiri penuh horm
" kenapa mas, kok murung begitu?" sesosok wanita muda, cantik bertubuh semampai dan putih sedang bergelayut manja di pangkuan Athar. Sedang Athar dengan terbuka memeluk gadis tersebut, wajah Athar di tekuk saja, dengan beraninya gadis itu mencubit dengan mesra pipi Athar yang putih mulus. "pasti deh, masalah pada istri mas mandul itu!"ucap gadis, yang sedang memanasi suasana hati Athar. "sudah lah mas, jangan di pikirin lagi masalah istri mas yang mandul itu! mendingan kita senang-senang"genitnya. mata Athar mulai jelalatan, dia dengan mesra mencubit hidung mancung milik gadis tersebut. "jangan pancing, aku sudah tidak tahan! lagian, kamu lebih cantik dari istriku yang tidak pandai berdandan"ucap Athar dengan mencemooh Amara di depan gadis simpanan nya tersebut. "baumu harum, sedang Amara bau dapur! mana jelek lagi, mimpi apa aku nikah dengan dia"cemooh nya lagi, mungkin cinta Athar sudah terkikis dengan kebencian dengan kemandulan Amara. Maya dengan leluasa tertawa penuh
Amara termangu sendiri di depan kamar besar miliknya, semenjak menikah dengan Athar kedua orang tuanya tidak pernah merestui hubungan keduanya. Karena kedua orang tua Amara tahu, Athar dan ibunya bukan lah orang baik. Dan kedua orang tua Athar menerima Amara kembali, ketika Amara pergi dari rumah Athar dan orang tua Amara mendukung sepenuhnya keinginan Amara untuk bercerai dengan Athar. Amara menangis ketika mengingat semuanya, sungguh sesak yang dia rasakan. Bagaimana bisa caranya Athar berselingkuh dengan Maya di belakang nya. Pantas saja sikap Athar berubah ketika dia berselingkuh dengan Maya. dia selalu dingin dan kurang perhatian kepada Amara. cukup sakit sangat lah sakit, ketika Amara mengingat kejadian masa lalu bersama Athar. dan Amara di kagetkan dengan suara ponsel miliknya, ketika dia masih mengingat semua masa lalu nya dengan Athar. Tapi sekarang rumah tangganya di ujuk tanduk, dan dia harus bisa untuk melupakan Athar selamanya. Unggahan nya waktu itu menjadi viral da