Share

Kebangkitan Sang Istri yang Terkhianati
Kebangkitan Sang Istri yang Terkhianati
Penulis: Niniz Cutez

Bab 1

Amara, seorang wanita muda yang penuh harapan, menikah dengan Athar lima tahun yang lalu. Hubungan mereka diuji oleh kenyataan pahit bahwa mereka belum dikaruniai anak. Mega, ibu mertua Amara, semakin hari semakin menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Amara. Di satu hari yang tenang di rumah keluarga besar Athar, percakapan yang memecah kesunyian itu terjadi.

Di ruang tamu, Mega duduk dengan raut wajah serius, sementara Amara duduk di seberangnya dengan wajah tegang. Athar berdiri di dekat jendela, terlihat cemas.

"Amara, sudah lima tahun kamu menikah dengan Athar dan belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Apa kamu tahu betapa pentingnya penerus dalam keluarga ini?" tanya Mega dengan netra menatap tajam ke arah sang Menantu.

Amara tertunduk, berbicara dengan nada gemetar. "Saya... saya paham, Bu. Saya dan Athar sudah mencoba segala cara...," ucapnya, tapi ucapannya dipotong begitu saja oleh Mega dengan nada merendahkan.

"Mencoba? Berapa lama lagi kamu mau 'mencoba'? Waktu terus berjalan. Kami butuh cucu, penerus keluarga. Kalau kamu tidak bisa memberikannya, mungkin Athar perlu memikirkan untuk menikah lagi."

Amara terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Athar yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Ibu, tenanglah. Ini bukan hal yang mudah bagi kami," ucapnya lemah lembut.

"Tenang? Apa kamu pikir ini waktu untuk bersantai? Sudah cukup! Aku tidak bisa lagi menunggu. Amara, aku ingin kamu mempertimbangkan untuk mengizinkan Athar menikah lagi. Maura adalah pilihan yang baik." Mega terus mendesak dan menyalahkan.

Amara terkejut, wajahnya berubah pucat. Ia memandang Athar dengan tatapan memohon. Tanpa disadari dia juga mulai terisak. "Athar... ini... ini tidak benar. Bagaimana bisa kamu setuju dengan ini?"

Pria tampan itu menghela napas dalam, menghindari tatapan Amara. "Amara, Maura dan aku sudah lama bersama. Dia memahami situasinya. Ini bukan soal perasaan, ini tentang keluarga kita."

Amara merasa dunia seolah runtuh. Ia tidak pernah menyangka Athar akan mengatakan hal seperti itu.

"Athar, aku mencintaimu. Tapi bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku?" Suara Amara terdengar begitu putus asa.

"Amara, ini sulit bagi kita semua. Aku harus memikirkan masa depan keluarga." Athar tetap menghindari tatapan mata istrinya.

"Lihatlah, ini demi kebaikan bersama. Kamu bisa tetap di sini, tapi Maura akan menjadi istri Athar yang sah. Ini keputusan terbaik," ujar Mega sembari tersenyum tipis.

Amara bangkit dari tempat duduknya, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa dikhianati oleh orang yang paling dipercayainya.

"Aku tidak percaya ini... Aku harus pergi," ucapnya dengan suara serak.

Amara berlari keluar dari ruangan, meninggalkan Athar dan Mega dalam keheningan yang tegang.

Hatinya begitu hancur, dia tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupnya setelah pengkhianatan ini. Mega melihat kepergian Amara dengan puas, sementara Athar hanya bisa terdiam, merasakan beban keputusan yang telah diambilnya.

Athar duduk diam di kursinya, pandangan matanya terpaku pada pintu yang baru saja ditinggalkan Amara. Hatinya bergejolak antara penyesalan dan kebingungan. Mega di sebelahnya tersenyum tipis, merasa kemenangan telah diraih. Ia merasa seolah beban yang mengganjal selama ini telah terangkat.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Mega dengan nada dingin, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.

Athar menarik napas dalam-dalam, matanya yang biasanya penuh kehangatan kini suram. "Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya... aku tidak pernah berpikir ini akan berakhir seperti ini."

Mega mengangkat alisnya, wajahnya menunjukkan sedikit kejengkelan. "Kau tidak bisa terus-menerus terjebak dalam keraguan, Athar. Pilihan sudah diambil. Kita sudah sampai sejauh ini, tidak ada jalan untuk kembali."

Athar memejamkan matanya sejenak, mencoba meredakan rasa sakit yang membuncah di dadanya. "Aku tahu, tapi ini Amara. Dia... dia tidak pantas menerima ini."

Mega mendengus, seolah tak peduli. "Setiap orang membuat keputusan, Athar. Amara harus belajar menerima kenyataan. Kita semua harus."

Kata-kata Mega menampar Athar, membawa kembali realitas yang keras ke hadapannya. Ia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya, meski rasanya berat. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kejujuran dan keberanian adalah satu-satunya jalan untuk maju, meskipun itu berarti harus melewati masa-masa yang sangat sulit.

Dengan tatapan penuh tekad yang mulai terbentuk di matanya, Athar akhirnya berkata, "Aku akan berbicara dengan Amara. Aku berhutang penjelasan padanya, setidaknya."

Mega menatap Athar dengan tajam, matanya penuh kekecewaan. "Jangan bodoh, Athar. Kau bisa kehilangan segalanya. Setidaknya dia harus mau dipoligami, jika tidak pemasukan keluarga kita akan berkurang. Apa kamu lupa, kalau selama ini kita bergantung padanya? Hah! Meskipun Ibu sendiri sudah muak dan ingin segera mengusir dia dari rumah ini."

Athar menggeleng, tekadnya tak tergoyahkan. "Aku sudah kehilangan cukup banyak. Aku tidak akan membiarkan rasa bersalah ini menghancurkan semuanya."

Ia berdiri dengan tegas, meninggalkan Mega yang terdiam, dan berjalan menuju pintu kamar. Wanita cantik itu sengaja mengurung diri di dalam kamar dan mulai menangis tersedu-sedu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status